Chapter 1

397K 10.3K 353
                                    

Author's note
Guys, Sebelum kalian baper saya peringatkan dulu kalau cerita ini hanya preview. Saya pingin banget repost sampai habis tapi berhubung naskahnya masih terikat kontrak jadi paling banter 40- 50% nya aja. Nanti kalau kontraknya sudah habis, saya repost ulang lagi ya. Atau kalau mau baca cerita yang lengkap saya masih punya cerita Chasing Memories yang bisa kalian cek. Terima kasih :)x


***

Kau tidak tahu apa yang kau miliki sampai kehilangan hal itu. Kurasa itu adalah kalimat yang pas untukku, setelah kehilang­an Fiona. Sudah hampir sebulan Fiona meninggal. Duka masih memenuhi hati keluarga yang ditinggalkannya. Pemakaman Fio­na waktu itu juga dihadiri kerabat Liam dan teman­-teman Fiona yang asing bagiku. Aku juga berdiri di sana ketika peti jasad­ nya ditutup dan mulai ditimbun tanah. Memperhatikan dengan cemburu semua orang yang meneteskan air mata untuk Fiona, sementara aku tetap tidak bisa menangis.

Tyler berada di gendonganku saat itu, melihat ke makam ibunya, lalu menyurukkan wajahnya di lekukan leherku. Tanganku mengusap lembut punggung kecilnya yang bergetar dan mencium kepalanya. Bocah malang ini harus merasakan apa yang aku dan Fiona rasakan di masa kecil kami—besar tanpa ibu. Aku khawatir akan muncul di pikirannya perasaan ditinggal dan tidak dicintai seperti yang kurasakan dulu. Perasaan yang akhirnya membuatku depresi dan mulai melukai diri sendiri.

Pikiranku terlalu kusut saat melamunkan hari pemakaman Fi­ona hingga tidak menyadari seseorang menggoyang­goyangkan sebotol soda di hadapanku.

"Bagaimana perasaanmu?" Tanya Sammy, sebelum duduk di sebelahku. Memberikan senyum terbaiknya sebagai usaha untuk menghiburku.

Aku mengangguk, "Baik," lalu menegak minuman itu. Sebenarnya kondisiku tidak baik sama sekali. Aku menyesal atas waktu yang kusia­siakan tanpa mengunjungi Fiona, dan untuk setiap tindakanku yang membuatnya khawatir. Aku tidak pernah tahu penyesalan dapat meninggalkan rasa sesakit ini, membuatku frustrasi. "Kau punya yang lain selain soda?"

"Cuma itu yang boleh kau minum saat ini, tidak ada bir un­tukmu."

Aku memutar bola mataku untuk sikap yang sangat protektif Sam sambil meletakkan minuman itu di lantai. Lalu, beringsut mendekat pada Sam dan bersandar di dadanya. Sam tidak banyak bicara. Dia hanya menyelipkan tangannya di belakang punggungku dan menariknya lebih erat. Menempatkan ciuman lembut di puncak kepalaku sebelum menyandarkan pipinya di sana.

Tirai jendela yang tersingkap memperlihatkan langit malam yang gelap. Aku tidak ingin pulang, aku tidak ingin sendirian. Rasa penyesalan ini membuatku tidak pernah bisa tidur. Tangan Sam kemudian mengelus lenganku hingga aku menoleh ke mata hitam miliknya.

"Kuambilkan baju yang nyaman untukmu tidur, ya?"

Aku mengangguk. Samuel Hyun, sahabatku, punya kekuatan mencengangkan dalam membaca tingkah laku. Kalau dengan Sam, kau hanya perlu melihat ke matanya. Dia akan langsung tahu bagaimana bersikap untukmu.

Tak lama kemudian Sam datang dengan pakaian untukku.

Aku segera menuju kamar mandi. Aku menghela napas, melarikan jari-­jariku ke rambut ungu panjangku setelah mengganti pakaian di toilet. Sam terbaring di kasurnya. Tatapannya menerawang jauh ke langit­-langit.

Hubunganku dan Sam mungkin tidak berjalan lancar sebagai sepasang kekasih. Tapi, tidak bisa dimungkiri, Sam adalah sahabat terbaik di dunia ini. Aku menganggapnya seperti keluargaku. Ayah dan ibu Sam bahkan menganggapku seperti anak mereka sendiri.

Aku bersyukur tentu saja, tapi juga menyesal karena perasaan diterima itu membuatku terlena hingga melupakan Fiona.

Aku menyusup ke dalam selimut. Memindahkan tangan Sam ke pinggangku. "Sedang memikirkan sesuatu?" Tanyaku.

LiFe (Preview)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang