Part 6

1.7K 26 0
                                    

 “Well, kau tidak terlambat hari ini, Claura.” Ujar Paula ketika kami berjalan menuju kantin. Barusan kami ada kuis, dan untungnya kali ini aku tidak terlambat.

Aku menaruh tas di atas meja kantin. “Yeah, aku tidak ingin di keluarkan lagi. Apalagi hari ini ada kuis.”

Kami memesan makanan. Makanan berat karena setelah ini aku harus kembali masuk karena ada kelas.

“Oh ya, hari ini Mom dan Dad datang. Kami ingin mengadakan pesta kelulusan Gerald. Mom ingin aku mengundangmu.”

Gerald adalah kakak Paula. Mereka berdua tinggal disini jauh dari orang tua mereka yang tinggal di pinggiran kota. Kudengar Gerald memang baru lulus dari universitas.

“Aku akan datang. Jam berapa aku harus kesana?”

Keluarga Paula sudah ku anggap sebagai keluarga ku sendiri. Aku dan Paula sudah bersahabat ketika kami masih di bangku sekolah dasar. Ya kami datang dari kota yang sama dan sekarang kami masih tetap bersama. Hanya Paula yang mau berteman denganku ketika aku masih kecil. Dimana anak-anak yang lain menertawai dan menhinaku karena aku tidak memiliki ayah, Paula datang dan membelaku. Sejak saat itu kami tidak terpisahkan. Ketika aku mendengar kalau Paula ingin kuliah di luar kota, aku pun ingin mengikutinya. Karena Paula lah, Mom akhirnya mengizinkanku pergi. Paula sudah ku anggap sebagai saudaraku sendiri.

“Jam 8 malam. Oke?”

“Oke.” Ujarku seraya tersenyum lebar.

####

“Hai, cantik.”

“Andreas?” ucapku terkejut. “Apa yang kau lakukan disini?” bisikku.

“Aku ingin menjemput cantikku pulang. Kau hari ini tidak ke restaurant ‘kan?”

Aku mengok ke kiri dan ke kanan. Sosok Andreas yang mencolok membuatku takut menarik perhatian.

“Tidak. Tapi aku harus pergi.”

Andreas menaikkan alisnya. “Pergi? Kemana?”

“Keluarga Paula mengajakku makan malam. Merayakan kelulusan Gerald, kakak Paula.”

“Bolehkah aku ikut?” tanyanya antusias.

“Apa? Tidak. Tentu saja tidak.” Aku menggeleng keras.

Andreas memasang wajah bersedih. “Jangan memasang wajah seperti itu Andreas. Kau tahu kau tidak bisa ikut.”

“Jam berapa kau akan pergi?”

“Jam 8 dan tidak usah mengantarku karena aku akan pergi sendiri.” Ucapku ketika kulihat ia membuka mulutnya hendak menyela ucapaku.

“Tapi kau harus berganti baju bukan? Ayo ku antar kau pulang.”

Aku mengikutinya berjalan memasuki mobilnya.

“Lain kali kau tidak perlu menjemputku.” Ucapku ketika kami meninggalkan daerah kampus.

“Kenapa?” tanyanya bingung.

“Kau terlalu mencolok, Andreas. Aku tidak ingin menjadi pusat perhatian.” Tentu saja tidak. Sewaktu kecil aku pernah menjadi pusat perhatian dan rasanya seperti aku ingin bunuh diri.

“Karena aku mengendarai mobilku?”

“Salah satunya itu tapi bukan itu alasan utama.” Aku melirik dan melihat Andreas menatapku. Menunggu jawaban. “Karena kau. Kau begitu tampan dan menarik perhatian.”

Andreas tersenyum. “Jadi kau mengakui bahwa aku tampan?”

Aku menarik aliski. Menatapnya dengan aneh. “Hanya orang bodoh yang menganggapmu jelek.”

Dan… Cup….

Andreas mengecup bibirku singkat. Membuatku sedikit terkejut. Untung saja saat itu sedang lampu merah.

“Aku senang karena pacarku mengatakan bahwa aku tampan.” Seringainya yang terlihat kekanak-kanakan.

“Sejak kapan aku menjadi pacarmu?” ya sejak kapan? Oh apakah sejak ia memberiku kalung indah berwarna silver dengan bintang di tengahnya, atau sejak ia tidur di tempatku beberapa malam terakhir – tidak kami tidak melakukan hal ‘itu’, bila itu yang kau maksud- , atau sejak ia memberikanku bunga mawar putih setiap harinya?

“Sejak kau bilang aku adalah lelaki yang tampan.” Ia kembali tersenyum di sela-sela mengemudinya.

####

“Kau akan pulang jam berapa?”

“Jam 11 mungkin. Acaranya pasti lama. Apalagi aku sudah lama tidak bertemu dengan keluarga Paula.” Aku membuka lemari dan mengeluarkan kopi dan creamer.

“Sepertinya kau dekat dengan keluarganya Paula.” Ujar Andreas seraya menyalakan televise.

“Ya. Aku sudah menganggap keluarga Paula seperti keluargaku sendiri.” Aku mengeluarkan dua mug dari lemari yang lain.

Andreas dan aku memiliki kesamaan dalam hal meminum kopi. Kami sama-sama menyukai kopi dengan banyak creamer. Ya satu sendok teh kopi dan tiga sendok cremer juga tidak lupa gula.

“Kau sudah lama berteman dengan Paula?” Andreas menggeser tempat duduknya ketika melihat aku datang dengan dua mug yang mengepul. Aku memberikannya mug miliknya dan duduk di samping Andreas. Aku menyenderkan kepalaku di bahunya dan ia memeluk bahuku. Dengan kedua kaki dilipat dan naik ke atas sofa.

“Sejak kami masih sekolah dasar dulu.” Ucapku seraya meniup kopiku lalu menyeruputnya.

Andreas mengusap tangannya yang berada di bahuku. Membuatku merasa nyaman. “Apakah kau menceritakan soal kita kepadanya?”

Aku menggeleng. “Tidak. Aku rasa belum saatnya.” Aku mendongak dan melihat ke arah matanya yang coklat. “Bukan maksudku aku merasa malu atau apa tapi….”

Andreas mengusap kepalaku dengan sayang lalu tersenyum. “Aku tahu. Aku tahu. Lagipula itu bukan urusanku sayang. Urusanku adalah tetap membuatmu merasa nyaman denganku.”

Aku tersenyum. Senang karena Andreas mau mengerti.

“Apakah kau akan menginap lagi hari ini?”

“Kau ingin aku menginap?”

Aku terdiam. Apakah aku ingin ia menginap lagi? Ya, Aku ingin.

Aku mengangguk pelan.

Andreas tersenyum. “Baiklah aku akan menginap. Aku akan pulang dulu mengganti baju lalu kembali lagi kesini. Mungkin aku akan membawa beberpa pekerjaanku dan menyelesaikannya selagi menunggumu pulang.”

Aku menaruh mug ku yang sudah kosong. Mencium bibirnya sebentar lalu melingkarkan tanganku di pinggangnya. Merasakan detak jantungnya yang berdetak di telingaku saat kepalaku di dadanya. Begitu hangat dan nyaman. 

Always Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang