Aku menyukai teh dengan aroma melati atau pun teh hijau yang rasanya sepat-sepat pahit sedangkan dia menyukai kopi, apakah aku juga harus berusaha menyukai kopi yang tidak kusukai itu? Jika aku menyukainya dan dia tidak menyukaiku apakah aku bisa memaksakan perasaanku padanya? Pertanyaan-pertanyaan itu hadir terhadap perasaanku kepada Aditya ketika aku berselancar di internet. Apakah perasaanku akan tetap tersimpan aman di hatiku atau aku akan menumpahkannya kepada
Aditya? Malam ini aku menjadi melankolis. Apakah ini terpengaruh
dengan suasana hati Kaitlin tadi? Aku membaca beberapa blog yang bercerita tentang pandangan para blogger tentang makna dan filosofi
kopi dan teh. Dari kesimpulan yang aku tarik dari setiap artikel yang
mereka tulis, setiap orang bebas untuk mengintepretasikannya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan itu menggangguku padahal malam telah larut. Mataku tidak bisa dipejamkan padahal aku ngantuk sekali. Aku mengingat kejadian tadi. Setelah melihat kondisi Kaitlin yang menyedihkan malam ini membuatku ingin lebih terlibat lagi ke dalam keluarga ini. Dan lebih gila lagi aku memiliki pemikiran ingin menjadi bagian dari keluarga ini. Tapi semakin kuat aku menekan perasaan dan keinginanku, semakin kuat pula rasa yang membuncah yang ingin kuteriakkan kuat-kuat kepada Adrian. Aku ingin mengatakan padanya aku mencintainya dan mencintai anaknya. Aku mencintai keluarga ini. Aku ingin menjadi bagian dari keluarganya karena aku tidak ingin melihat Kaitlin sepertiku dulu. Melihat Kaitlin malam ini aku kembali kepada belasan tahun lalu dimana kadang malam-malam aku menangis merindukan ibuku. Tapi sekuat apapun aku menangis tidak ada seorang pun yang menghampiriku dan menghiburku. Aku berjuang sendiri dengan kesedihan dan kesepianku. Aku tidak ingin Kaitlin menjadi diriku pada waktu itu. Aku lebih memilih melihat Kaitlin yang berbahagia atau Kaitlin yang manja yang suka mengerjaiku. Aku menjadi semakin rakus menginginkan sebuah tahta tidak hanya dirumah ini tetapi juga di hati Adrian dan Kaitlin. Aku membolak-balikkan tubuhku ke kiri, ke kanan dan telentang tetap saja aku tidak ngantuk. Aku membutuhkan udara luar. Jam di dindingku sudah menunjukkan pukul 2 malam. Tapi aku tetap ingin keluar dan memandang malam dan bintang-bintang di tepi kolam renang. Aku juga merindukan ibuku. Aku ingin menyapanya. Hal yang sudah lama aku lupakan dan malam ini aku mengingatnya kembali. Aku membawa laptopku sekaligus merencanakan apa yang akan kulakukan dengan Kaitlin selanjutnya. Udara malam dingin sekali. Apa yang kuharapkan ditengah malam dimana semua orang sudah tidur. Aku pun tidak tahu. Aku menyeret kakiku yang menyut dan sakit dengan sekuat tenaga. Jika Gibran melihat kesemena-mena'an yang sudah kulakukan pada kakiku, pasti dia akan memukul kepalaku. Aku membuka pintu yang sudah terkunci menuju ke arah kolam renang. Aku meletakkan laptopku dan beruntungnya malam ini bintang bersinar terang ditemani bulan purnama. Aku melihat bintang-bintang bersinar dan aku selalu berasumsi kalau bintang yang
paling terang adalah perwakilan ibuku.
"Ma...Apa kabar? Jenna udah lama nggak ngajak mama ngobrol. Soalnya
Jenna sedang mencari makna hidup dan Jenna juga lagi berbenah dengan
hidup Jenna yang sedikit kacau. Mama tahu nggak kalo Jenna diusir sama papa gara-gara Jenna udah ngabisin duit 200 juta hanya buat beli tas. Papa bener-bener marah, Ma. Jenna diusir tanpa sepeser uang pun. Mama bisa bayangkan gimana Jenna harus bertahan hidup sedangkan Jenna nggak punya uang? Kartu kredit dibekukan. Mana Jenna nggak punya tabungan lagi. Untung Jenna punya teman namanya Farah. Dia yang nampung Jenna dan bantu Jenna nyari'in kerja." Aku menaikkan kedua kakiku diatas kursi dan memeluknya.
"Mama tahu nggak aku kerja apa? Jenna jadi guru, Ma. Profesi yang
nggak pernah Jenna bayangkan akan Jenna lakukan. Jenna mengajar
seorang gadis cantik, namanya Kaitlin. Tapi Kaitlin menderita
disleksia. Makanya dia sedikit keras kepala. Jenna juga merasa tertantang buat ngajarin Kaitlin. Apa Mama tahu, kalo untuk pertama kali Jenna bersungguh-sungguh melakukan sesuatu untuk seseorang dan Jenna ternyata sangat suka melakukannya. Sedikit terlambat ya, Ma di usia ke-26 Jenna baru menyadari apa yang Jenna inginkan? Dan tadi Ma, Kaitlin menangis karena merindukan ibunya yang telah meninggal. Jenna sedih karena Jenna juga memiliki nasib yang sama dengan Kaitlin. Kalo Mama bertemu dengan ibunya Kaitlin, tolong katakan padanya kalau
Kaitlin merindukannya. Jenna sangat rindu mama." Air mataku turun
berderai sambil menatap langit yang penuh dengan bintang. Aku memeluk
kedua kakiku yang sudah aku naikkan ke atas kursiku erat-erat. Aku
membutuhkan sebuah pelukan yang hangat. Tapi tak ada seorang pun yang menawarkannya. Setelah aku puas mengobrol menyampaikan keluh kesahku pada bintang yang aku anggap perwakilan mamaku, mataku perlahan-lahan terpejam. Kesadaran mulai berkurang. Tanpa sadar aku pun masuk dalam alam mimpiku dan tertidur dalam posisi duduk sambil memeluk kedua kakiku. Antara sadar dan tidak sadar tubuhku melayang seperti seseorang mengangkat tubuhku dan aku mengalungkan tanganku ke dada orang yang mengangkatku. Dada yang benar-benar bidang dan tentu saja hangat. Aku memeluk erat lehernya seakan-akan aku tidak ingin melepaskan pelukanku darinya dan aku ingin terus berada di dalam hangatnya dada itu. Mimpiku terasa menyenangkan. Aku tersenyum dalam tidurku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Precious Words for Kaitlin!
RandomIni adalah cerita perjuanganku untuk seorang gadis kecil yang cantik bermata hazel bernama Kaitlin. Dengan piciknya aku menganggap aku hanya sendiri yang berjuang dengan hidupku, tapi Kaitlin, seorang gadis kecil yang manis yang kutemui karena nasib...