"Bukan seperti itu sayang.""Aku ngerti apa maksud kamu Mas. Tapi bukankah aku sudah bilang sebelumnya, sebelum kita pacaran bahwa aku tidak bisa seperti itu dan alasannyapun kamu sudah tahukan?." Aku bicara meminta pengertian. Jika saja aku tidak sayang sudah pasti aku akan diam dan pergi.
"Bisakah aku menjadi pertimbangan untuk merubah pikiranmu?."
"Jangan merubahku Mas." Aku melepas tanganku yang dia pegang.
"Aku benar-benar minta maaf. Jika Mas memang tak sanggup menjalani hubungan kita seperti ini maka mundurlah, aku tidak ingin menahanmu, tapi terus terang aku benar-benar menyayangimu." Raut wajah Dimas muram, tak ada lagi senyuman. Dia menatapku tajam aku bisa menebak bahwa dia marah namun sedetik kemudian dia memelukku erat. Tangan kokoh itu membungkus bahuku dan membelai rambutku.
Aku membenamkan mukaku di sekitar lehernya, mencium aroma tubuhnya untuk menghilangkan rasa rinduku yang sudah seminggu lebih tak bertemu.
"Jangan pernah mengatakan seperti itu lagi. Mas tidak akan mundur sekalipun kamu menginginkannya" Dia berbisik, aku membalas pelukannya. Jika suatu hari nanti aku harus berpisah dengannya aku harus mempersiapkan yang namanya patah hati. Aku terlalu menyayanginya.
Pelayan datang membawa waffle. Dimas memenggal waffle yang ada di piring dan menyerahkannya padaku.
"Makanlah ini. Seminggu tidak ketemu muka kamu bertambah tirus. Mas tidak suka melihatnya apalagi lingkaran hitam dimata itu." Aku memakan waffle sesuai perintah.
"Begadang terus ya..?" Dia menyapu sisa krim di pinggir bibirku dengan jari jempolnya.
"Iya Mas. Tahu sendiri kan ujian akhir semester minggu depan" dia menggangguk setuju sementara aku terus memakan makananku.
"Mas. Apa Mas yakin kedepannya kita akan berhasil menjalani hubungan ini terus menerus?Aku mungkin tidak akan pernah bisa menjadi seperti yang Mas harapkan."
"Jangan memikirkan hal nanti. Kita jalani sekarang sebisa mungkin dan yang penting saat ini kita masih bersama dan bahagia." Dia tersenyum meyakinkanku, menampilkan lesung pipit yang sangat manis itu.
"Bagaimana tadi rapatnya Mas?" Aku mengalihkan pembicaraanku. Menyesap moccacino keempatku.
"Seperti biasa, evaluasi kegiatan kemaren dan membahas acara kegiatan selanjutnya, rencananya BEM mau mengadakan acara saat liburan alih semester nanti dan Mas harap kamu ikut."
"Loh, kan aku bukan anggota Bem Mas, emang boleh ikut?"
"Ini diwajibkan bagi angkatan Mas dan angkatan satu tahun dibawah, jadi angkatan Mas dan angkatan kamu" Dia mengambil mocca dari tanganku dan ikut meminumnya.
"Memangnya acara apa Mas?"
"Acara tahunan sayang..," "Rencananya acara ini nginap satu malam tapi belum pasti karena harus dibicarakan lagi" aku hanya bisa mengangguk menanggapi karena sejujurnya aku tidak tertarik pada acara perkumpulan seperti itu.
"Tanpa aku acaranya tetap jalan kan Mas?"
"Sekali ini saja Lin. Please kamu ikut."
"Mas tahukan aku tidak tahan berada di tengah orang banyak, lagipula ayah pasti tidak akan mengijinkan aku pergi."
"Baiklah terserah kamu saja, Mas harap kamu bisa mengabulkan keinginan Mas yang satu ini."
"Mas, Maaf jika aku tidak pernah bisa menuruti keinginan Mas" Dia hanya mengangguk. Aku tahu sebenarnya dia kecewa dan aku memang mengecewakannya terus menerus.
Sebenarnya aku juga benci dengan keadaanku seperti ini, saat dimana aku sulit bergaul pada orang-orang, tidak suka berada di keramaian dan benci ketika mereka mulai membicarakanku ataupun menatapku, bahkan dengan Dimaspun perlu waktu satu bulan untuk meyakinkan diriku sendiri agar bisa menerimanya dalam bagian hidupku. Memang sulit mengubah kebiasaan bukan?
"Kemaren kamu kemana?" Dia bertanya, meletakkan handphone di meja setelah membalas chat entah dari siapa.
"Kemarin? Jum'at ?"
"Iya Jum'at sore. Kamu terlihat terburu-buru, saat ku telpon tidak diangkat" Telpon? Aku tidak tahu dia menelpon.
"Aku ada urusan Mas."
"Urusan? Bukannya tidak ada jadwal bimbel kalau hari Jum'at?"
"Memangnya urusanku cuma bimbel?"
"Biasanya begitu." Dia tersenyum malu. Aku tidak yakin ingin membicarakan alasanku padanya.
"Urusan tugas Mas." Dia diam mungkin ragu sedetik kemudian dia hanya mengangguk.
"Sudah siap skripsi? Aku bertanya.
"Rencananya mau bimbingan proposal dulu, tidak ingin terburu-buru juga."
"Ini sudah semester tujuh Mas, hampir delapan."
"Iya Linda, Mas tau." Aku cemberut. Dia benar-benar tidak memikirkan kuliah. Selalu organisasi. Mungkin tujuan kuliah cuma pengen gelar dan pengalaman organisasi saja.
Dulu seingatku waktu aku ospek dia sudah aktif ikut kepanitiaan. Aku ingat karena dia paling keras saat berteriak dan marah-marah, sedangkan aku sangat tidak suka acara ospek itu. Menjengkelkan. Buang waktu. Jadi permainan para senior kampus.
Dimas juga pernah menjadi ketua himpunan mahasiswa prodi kami. Tapi aku tidak tertarik walaupun menjadi anggotanya. Seandainya ada rapat atau acara yang mengharuskan aku ikut, aku memilih memberi surat keterangan sakit.
"Apa yang kamu pikirkan?" Dia bertanya. Kali ini dia memesan minumannya pada pelayan.
"Kamu." Aku menjawab cepat.
"Aku?" Dia penasaran. Aku hanya mengangkat bahu tak peduli.
"Aku seperti apa dalam otakmu yang pintar itu, Sayang?"
"Entahlah, hanya ingat saat Mas teriak di depan wajahku waktu ospek." Aku bergidik ngeri. Kesal sekali waktu itu. Dia hanya tertawa melihat ekspresiku.
"Kamu sih dulu tidak mau minum yang kami suruh."
"Mas ingat?" Ternyata dia ingat!. Kali ini Dimas yang mengangkat bahu tak peduli, sambil meminum cappucino miliknya yang sudah datang.
"Itu menjijikan Mas, satu cangkir air putih untuk semua mahasiswa ospek, ogah!"
"Kamu pendiam sekali waktu itu. Dibentak, dimarahi, disuruh lari, disuruh menjawab kamu tetap diam." Dia tertawa geli menerawang masa lalu.
"Dulu?"
"Sampai sekarang masih pendiam, kecuali saat kita semakin dekat seperti sekarang."
Aku terpana. Beginilah salah satu pembicaraan yang hangat bagiku bersama Dimas.
Sudah satu jam kami bersama kemudian kami memutuskan untuk pulang. Entah berapa kali ayah menelpon namun ku abaikan. Kami berjalan dengan bertautan tangan menuju tempat dimana motorku berparkir.
"Aku pulang dulu Mas. " Dia mencium bibirku sekilas bahkan belum sempat ku balas kemudian mencium puncak kepalaku. Aku melepaskan pegangan tangan kami.
"Iya, Hati-hati. Mas harap kita bertemu lagi minggu depan" Aku juga berharap seperti itu. Aku harap bagaimanapun lelahnya dirimu, kamu tidak akan meninggalkan aku sampai kapanpun. Kamu akan selalu ingat jadwal kita bertemu tanpa harus kuberi tahu.
Memang jadwal kencan kami hanya bisa satu minggu sekali, sisanya waktuku hanya untuk belajar dan ikut bimbel seperti perintah ayah.
----
TBC

KAMU SEDANG MEMBACA
S i l e n t
RomantizmAku lebih suka orang salah paham terhadapku daripada harus menjelaskan panjang lebar meyakinkan mereka. Aku suka menyendiri, tidak suka bersosialisasi, tidak suka menjadi objek perhatian dan objek pembicaraan mulut orang-orang. Aku suka sendiri di k...