Bagian Tujuh

378 148 12
                                    

Pagi ini aku menuju sekolah bersama jemputan baruku, eh pacar maksudnya. Berlama-lama di kamar sekedar memantaskan diri dihadapannya. Walaupun sebenarnya sama saja seperti biasanya.

"Eciee, ada yang baru jadian nih. PJ PJ" ujar Angel pada Anna sambil menaik turunkan alisnya.

"Ya iya dong, wajib" ujar Anna mengiyakan tanda setuju.

"Minta sama Dika tuh" jawabku dengan pura-pura acuh menuju ke bangku. Padahal aku malu banget, pikirku.

"Loh kita kan jadiannya berdua, masa' iya aku aja" sanggah Dika dengan mimik serius padaku.

"Kok akuuu" ujarku memelas.

Dika hanya tersenyum menanggapi jawabanku. Kurang ajar, aku dikerjain, batinku

"Kalian, jadian?" tanya Brian padaku sambil mengatupkan pipiku dengan kedua tangannya.

"Lepasiin Bri" jawabku dengan mulut monyong akibat ulah Brian.

"Eh, pacar gue tuh" bela Dika seraya meraih tangan kiriku dan menjauhkanku dari Brian.

"Jadi kalian beneran jadian?" tanya Brian mempertegas.

"Hheemm" gumamku pada Brian yang matanya tak lepas menatapku.

Kemudian Brian terdiam. Entah apa yang dipikirkannya. Aku membaca ada hal yang tidak beres jika dilihat dari ekspresi Brian. Tapi apa? apa keputusanku membuatnya kecewa atau apa. Tapi kenapa dia harus kecewa?, pikirku.

"Udah-udah. Ini kan kabar baik, harus dirayain. Hitung-hitung syukuran" ujar Tia dengan lantang sehingga mengaburkan pikiranku tentang Brian.

"Bakalan makan-makan nih" ujar Nino sambil mencubit lengan Dika dengan genit.

"Betul, gue setuju. BANGET" ujar Calvin dengan menekankan kata di akhir kalimatnya.

"Asiiik. Di cafe biasanya ya Dik" ucap Ita setengah berteriak sambil memegangi HPnya.

"Makan sepuasnyaaa" kata Meyta sambil menepuk-nepuk bahu Brian meminta persetujuan.

Saat yang lain beribut akan PJ, PJ apalah itu namanya. Aku kembali terfokus pada Brian. Ia nampak tak semangat seperti yang lain. Hanya mengangguk bila ada yang meminta persetujuannya. Tak ada kata-kata yang diutaran dari mulut Brian. Ingin sekali aku menghampiri dan menanyakan ada apa dengannya. Tapi saat ini bukan saat yang tepat.

------_------_-------_---------_---------_-------

Seperti rencana tadi pagi, seusai sekolah aku bersama Dika dan sahabat-sahabatku menuju cafe tempat untuk kami nongkrong.

Setiap cafe yang kami datangi, selalu terobrak-abrik oleh tingkah kami. Posisi tempat duduk yang telah ditata rapi oleh para karyawan cafe selalu sia-sia bila pelanggannya Brian geng, begitu mereka sering memanggil kami. Mendekorasi dan menyesuaikan tempat serta posisi duduk dengan keinginan kami, ialah hal wajib yang dilakukan sebelum memesan makanan.

"Tiap hari aja Cla, Dik kayak gini" ujar Calvin yang sedang sibuk mencari posisi duduk yang nyaman.

"Langgeng ya sahabat-sahabat aku yang paling ganteng dan cantik"
celetuk Fajar meramaikan.

"Amiin" jawabku dan Dika bersamaan.

Sebenarnya aku masih tidak percaya bahwa saat ini aku sudah taken dengan seseorang. Aku tipikal orang yang amat sangat susah untuk terikat dengan sebuah hubungan. Entah mantra apa yang digunakan Dika hingga aku berani membuka hati untuknya. Aku memunyai beberapa alasan klasik yang selama ini membebaniku. Seperti takut terkekang, takut tak bisa bebas, dan yang paling penting, aku takut kehilangan. Ketika aku sudah mempercayakan hatiku pada seseorang, aku akan percaya sepenuhnya. Dengan konsekuensi, jangan pernah membuatku ragu! Dan aku berharap, Dika dapat menjalani konsekuensi yang harus ia ambil saat memintaku untuk menjadi kekasihnya.

Taken with My Best FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang