Semalaman berada di kereta bikin kepala gue pusing. Kereta yang gue tumpangi adalah kereta ekonomi, dengan harga tiket ekonomis dan pelayanan minimalis. Banyak penumpang yang nggak punya karcis ikut masuk ke dalam kereta. Tempat duduknya juga nggak beraturan. Meskipun ada nomor tempat duduk di samping bangku kereta yang harus disesuaikan dengan nomor karcisnya, penumpang toh tetap duduk seenaknya sendiri. Kursi yang nyaman dipakai dua orang, malah dipakai bertiga. Itupun masih ditambah satu lagi yang duduk di pinggiran kursi yang terbuat dari besi. Kuat banget duduk diatas besi begitu selama berjam-jam. Pantatnya pasti udah six pack.
Hawa dalam kereta benar-benar pengap. Selain panas, juga hampir nggak ada udara segar yang bisa kita hirup. Bau kecut dan ampek dari keringat para penumpang memenuhi seluruh gerbong kereta. Belum lagi karena tempat duduk gue dekat dengan toilet, seringkali bau pesing juga ikut tercium setiap kali pintu samping toilet terbuka. Perpaduan aroma yang sungguh sangat tidak menggugah selera makan. Kondisi di dalam kereta seperti sebuah arena perlombaan, lomba menghirup oksigen berjamaah. Tapi bisa segera berubah menjadi lomba kuat-kuatan nahan nafas, kalau ada yang tiba-tiba mengeluarkan gas dari dalam perut tapi pura-pura pasang tampang sok cool seakan nggak bersalah. Iya, yang masang tampang sok cool itu gue. Meski lagi kebelet pup, gue ogah bab di toilet kereta yang super pesing itu. Bisa-bisa gue keracunan amonia. Gue sampe keringet dingin gara-gara kelamaan nahan mau buang air.
Untuk mengalihkan perhatian dari nahan pup, gue mulai mengumbar pandangan ke seluruh sudut dalam gerbong kereta. Lirik kiri-kanan-depan-belakang-atas-bawah, berharap siapa tau ada cewek manis dalam gerbong kereta yang sama. Pencarian gue terhenti di detik ke lima. Gue langsung sadar sepenuhnya. Diantara tumpukan dendeng manusia dalam gerbong kereta ini, makhluk betina (selain Nyokap gue) yang ada cuma: mbok-mbok bersanggul, tante-tante berperut maju, dan mbak-mbak jerawatan dengan deretan gigi yang dipagerin. Duh, nggak banget. Coba ada kontes tempat paling mengerikan di dunia. Gerbong kereta ini bisa jadi pemenang kedua, setelah tempat praktek dokter gigi.
Setelah melalui siksaan yang maha dahsyat, satu malam berada di kereta penuh manusia berbau kancut, kami sampai di stasiun Solo. Huaaahhh, akhirnya. Lega banget. Keluar dari stasiun, udara terasa jauh lebih segar. Bokap udah nunggu kedatangan gue, Nyokap, dan tentu saja Dakocan, di parkiran. Gue heran, Bokap hari ini menjemput kami pakai mobil. Entah mobil minjem dari siapa atau habis nyolong mobil dari parkiran mana.
"Ayah nyarter mobil?" gue tanya ke Bokap.
"Bukan. Ayah baru beli. Mobil seken sih," kata Bokap.
Setelah memasukkan semua barang ke dalam bagasi, mobil baru-tapi-seken punya bokap berjalan pelan meninggalkan stasiun Solo.
Lima belas menit berselang, gue mulai mabok sama cara nyupir Bokap. Ternyata Bokap lebih piawai jadi sopir odong-odong ketimbang sopir mobil. Setiap membuka gas, Bokap seringkali terlalu bernafsu menginjak pedal gasnya hingga kami tersentak ke sandaran kursi mobil. Cara mengerem Bokap pun tidak lebih baik. Meski kendaraan di depan masih jauh, Bokap sudah mengerem pakem mobilnya tujuh meter di belakang. Begitu tarik gas lagi, semua penumpang kembali terjungkal ke belakang. Malaikat maut semakin mendekat dengan senyum bahagia selama kami berada di dalam mobil yang dikendarain Bokap. Mobil Bokap terlihat jauh lebih menyeramkan ketimbang roller coaster di Dufan.
"Duh...mobil ini nggak enak banget dipakainya," Bokap ngeluh tiba-tiba.
Semua yang ada di dalam mobil tahu, Bokap emang nggak terlalu lancar nyetir. Bokap cuma mau terhindar dari kursi tersangka kalau mobilnya nabrak pohon asem.
"Emang mobilnya belum diservis?" Nyokap nanya.
"Sudah," jawab Bokap kalem, "cuma belum ganti kampas rem aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
NomadeN
HumorSebuah kisah tentang manis, pahit, lucu, dan lugu nya cinta pertama... (Based on true story) ^^