Pukul 18.30, gue mempersiapkan diri pergi keluar membeli coklat untuk Vee. Barang-barang yang harus gue bawa sebelum keluar rumah adalah: uang tunai dan separangkat buku matematika. Nah, elo pasti pada bingung lagi, ngapain gue musti bawa buku matematika kalau mau beli coklat? emang penjual coklatnya minta diajarin rumus pitagoras dulu sebelum jual barang dagangannya?
Bukan, bukan, soalnya di rumah gue ini ada aturan keluarga yang nggak bisa dilanggar yaitu setelah sholat magrib gue kudu masuk kamar. Belajar. Gue baru boleh keluar kamar kalau sudah jam delapan malam. Maksud Bokap-Nyokap memang sungguh mulia, supaya anak-anaknya pada pinter.
Tapi kenyataannya, seringnya gue malah masuk ke kamar, kunci pintu, terus baca komik sampai batas waktunya habis. Kalau nggak, ya gue tidur dikasur sambil pasang weker biar bisa bangun jam delapan. Dan kelakuan maksiat ini gue lakukan hampir tiap hari. Terjawab sudah kenapa gue nggak pintar dalam pelajaran, tapi pintar banget kalau lari dari tanggung jawab.
Nah, kalau gue mau kabur keluar rumah pas jam belajar malam, pasti nggak bakal dibolehin. Itu lah alasan kenapa gue bawa buku matematika. Karena sebelum pergi dari rumah gue akan bilang,
"Bu, Hendra keluar sebentar, mau fotokopi."
Dan Nyokap akan menjawab dengan penuh rasa percaya pada anaknya,
"Iya, hati-hati, jangan ngebut-ngebut. Udah punya duit belom?"
Hihihi, trik berjalan dengan sukses, dapat tambahan uang pula, kikikikik....
Setelah mengambil sepeda di parkiran belakang rumah, gue segera melesat dengan penuh pengharapan untuk dapat membawa pulang segenggam coklat ditangan.
Gue kayuh sepeda gue secepat mungkin. Soalnya, nggak mungkin kan pergi fotokopi doang sampai malam banget pulangnya. Untuk menghindari interogasi dari pihak berwajib (baca: Bokap-Nyokap gue) dan menguatkan alibi kalau gue memang pergi fotokopi, caranya cuma satu: pulang secepat mungkin. Mau nggak mau gue kudu menggenjot dengan full power.
Sampai ditikungan keluar gang rumah, suasana oke, lancar jaya tanpa hambatan. Sepeda gue juga rasanya ringan banget untuk gue kayuh. Sekarang mulai belok masuk ke jalan raya.
WUUUSSSSHHHSSHH...
"EH BUSSEEDD...Ini angin gede banget! Siapa yang iseng niup nih?" angin berhembus kencang ketika gue masuk ke jalan raya. Seumur-umur baru sekali ini gue merasakan bersepeda dengan terpaan angin sekencang ini. Angin itu juga membawa partikel-partikel debu dan pasir saat berhembus.
"ANJRIIT! MATA GUEE!"
Angin terus menghembuskan kuasanya menerpa gue yang bersepeda sambil kucek-kucek mata lantaran kelilipan.
"ARRRGGHH!! Lihat aja, gue nggak bakal kalah!" tekad gue tiba-tiba membara untuk bisa mengalahkan si angin ribut, "lihatlah kau angin, gue bakal tunjukin siapa tuannya di sini!"
Angin berhembus kian kencang, seakan marah dengan pernyataan perang terbuka gue barusan. Kertas-kertas dan sampah-sampah plastik di pinggir jalan mulai ikut beterbangan, dan gue akhirnya sadar, ternyata arah anginnya berlawanan sama arah gue. Pantesan dari tadi sepeda gue majunya sedikit banget, padahal udah gue genjot sekuat tenaga. keringat gue mulai bercucuran kayak habis fitness.
Gue genjot lagi, genjot lagi, lagi, dan lagi, otot kaki gue mulai berasa mau kram. Tapi gue nggak boleh menyerah. Gue genjot lagi. Majunya sedikit banget, mirip slow motion di film-film. Kalau ada lagunya six million dollar man pas banget ini, tenonenet tenonenonenonenonenet...
Tapi semangat gue nggak boleh luntur. Gue kudu tetep semangat.
GRUSSAAKKKK!!
"ANJRROOOT!! Apaan lagi si neh!"

KAMU SEDANG MEMBACA
NomadeN
ЮморSebuah kisah tentang manis, pahit, lucu, dan lugu nya cinta pertama... (Based on true story) ^^