Memasuki cawu akhir di kelas tiga membuat hidup tidak lagi tenang, karena sebentar lagi ujian kelulusan akan diselenggarakan. Pertarungan terhebat yang mempertemukan para pelajar melawan soal-soal ujian akan segera digelar. Tiap detik yang gue lalui akan semakin memperpendek waktu datangnya ujian nasional. Gue sekarang musti serius belajar. Buku catatan nggak boleh lagi buat gambar-gambar. Nggak boleh lagi ketiduran di dalam kelas. Komik-komik juga harus segera masuk daftar cekal. Gue mencoba untuk tabah.
Malam ini, seperti ribuan malam lainnya, gue segera masuk kamar begitu selesai shalat magrib. Gue harus belajar. Ujian udah dekat. Niat gue udah mantap. Gue ambil buku pelajaran dari dalam laci meja belajar. Gue putuskan untuk belajar dari mata pelajaran yang paling susah. Bahasa Jawa. Gue buka lembar demi lembar LKS Bahasa Jawa. Gue pahamin satu persatu arti geguritan yang ada di depan gue. Gue simak dengan teliti. Gue manggut-manggut nggak ngerti. Gue nyerah. Geguritan musuh yang terlalu berat. Gue coba bahan pelajaran lain, menulis dalam Aksara Jawa. Gue akan mulai dengan mencoba menuliskan nama gue. Gue buka pedoman penulisan Hanacaraka. Gue pahamin sebentar dan langsung mencoba menuliskannya di selembar kertas. Hasilnya, tulisan yang gue buat malah jadi kayak cacing lagi triping sakaw. Nggak jelas banget bentuknya. Gue yakin pakar Bahasa Jawa sekalipun nggak bakalan ngerti arti tulisan gue. Bahkan gue sendiri nggak yakin apakah tulisan gue ini adalah Aksara Jawa atau malah bahasa planet Namek.
Gue segera mengambil sapu tangan putih dan mengibarkannya. Otak gue udah dipakai bekerja terlalu keras. Belajar Bahasa Jawa selama sepuluh menit sudah membakar dua kilo lemak dalam tubuh gue. Gue butuh penyegaran. Otak gue harus di F5 biar lebih fresh. Gue buka tas gue dan ngambil komik Sinchan yang tadi siang gue sewa di persewaan komik dekat sekolah. Gue janji, habis baca komik gue bakalan langsung belajar lagi. Gue bakal baca satu cerita aja. Nggak lebih. Gue baca halaman demi halaman. Gue mulai ketawa cekikikan. Terpaksa gue harus baca cerita yang ke dua, ini lagi seru-serunya, biar nanti nggak penasaran waktu belajar. Cerita kedua pun selesai. Gue masih belom puas. Dahaga akan komik ini terus menuntut pemuasan. Gue berlanjut ke cerita ketiga, keempat, kelima hingga cerita terakhir. Satu komik selesai gue baca. Otak gue langsung seger banget.
Jam dinding menunjukkan pukul delapan malam. Perut gue terasa kosong. Gue keluar kamar setelah pasang muka kusut bin kecut kesambit kancut, supaya Bokap-Nyokap ngira gue habis berjuang keras belajar. Padahal gue habis berjuang keras menghabiskan satu komik sambil kontraksi perut buat nahan tawa. Betul-betul sikap pelajar yang tidak pantas untuk ditiru generasi penerus bangsa.
Gue ambil makanan di meja makan dan gabung bareng sama Bokap-Nyokap yang lagi asyik nonton sinetron di ruang tengah. Si Dakocan juga nimbrung di sana. Cuma mbak Dani yang absen karena lagi mengurung diri di kamar demi kelangsungan program dietnya yang hingga kini nggak pernah menampakkan hasil. Dakocan menyantap menu makan malamnya dengan ganas, bahkan sepertinya makanan itu langsung ditelannya tanpa menghiraukan proses memamah lebih dulu. Udah kayak orang yang puasa sebulan penuh tanpa buka. Gue memilih duduk menjauhi Dakocan, takut ikutan ditelen dikira balungan. Gue memilih tempat di pojok ruangan untuk menikmati masakan favorit gue buatan nyokap: Ayam goreng. Bukan, gue bukan makhluk berkepala pelontos yang suka makan ayam goreng sambil komentar: betul, betul, betul. Kebetulan aja makanan favorit kita sama.
Lagi enak-enaknya menikmati paha ayam goreng buatan Nyokap, Bokap tiba-tiba angkat bicara memecah konsentrasi makan gue.
"Hen...ada yang Ayah mau bicarakan sama kamu. Sini sebentar."
Tumben, biasanya Bokap paling serius dan nggak mau diganggu gugat kalau lagi nonton sinetron yang isinya nangis-nangis dari serial pertama sampai tamat, kayak yang sekarang lagi diputer di tivi.
KAMU SEDANG MEMBACA
NomadeN
HumorSebuah kisah tentang manis, pahit, lucu, dan lugu nya cinta pertama... (Based on true story) ^^