Ada yang bilang kematian adalah awal yang baru dari kehidupan yang lebih baik, tetapi ada juga yang bilang kematian adalah gerbang menuju surga. Keduanya salah. Setelah kematian, seseorang tidak akan kembali hidup lagi, juga tidak pergi ke surga. Mereka, orang-orang yang telah dijemput Sang Kematian berada di alam lain, alam penantian panjang hingga Tuhan membuka gerbang untuk mereka.
Mata hitamku yang beku dan jari tanganku yang kaku menatap nanar soal tes masuk SMA favorit yang direkomendasi Aunty Eve. Ia bilang, kedua saudari beda ayahku bersekolah di sana juga ia dan kedua saudarinya, yaitu Mama dan Aunty Pam, juga bersekolah di sana. Kadang aku berpikir ia menyuruhku bersekolah di sana hanya agar aku tidak menambah sempit apartemennya yang tidak terlalu luas karena sekolah ini berasrama. Sejak Mama, Ayah, dan menyusul Aunty Pam meninggal, ia yang menjadi waliku. Aunty Eve selalu bilang, tes masuk sekolah ini hanya formalitas, karena kepala sekolahnya adalah sahabatnya, tetapi ini tidak mungkin formalitas jika dalam satu kelas hanya ada sepuluh peserta ujian dengan tiga pengawas tanpa kantuk yang selalu memperhatikan gerak-gerikmu. Tanganku masih beku mengingat pendingin udara yang dipasang dengan suhu ekstrem membuat jariku makin sulit menggengggam pensil.
"Bagaimana tesnya, sweety?" tanya Aunty Eve dari balik kacamata minusnya.
"Hmmm... lumayan." jawabku singkat.
Kulempar tas dan semua isinya ke atas kasur. Pasti peringkatku paling rendah dari semua siswa yang mendaftar. Kuatur napas perlahan di atas kasur. Nampaknya udara mulai menghangat. Lalu perlahan-lahan kantuk mulai datang dan mengetuk kelopak mataku.
"Apa Ayahmu ada, cantik?" Tanya pria berjas putih itu kepadaku di depan kamar rumah sakit.
"Ayah di dalam kamar, Om."
"Boleh Om masuk?" tanyanya sopan.
Aku memperhatikan wajah orang itu perlahan. Wajahnya tampan, sangat tampan, walaupun aku menemukan kejanggalan yang entah apa padanya. Ia sangat harum, juga sangat sopan, tetapi tetap ada yang janggal berbicara dengannya. Bulu-bulu tubuhku meremang dan aku agak menggigil.
"Ya," jawabku padanya.
Ia lalu masuk ke kamar Ayah dan berkata, "Tuhanmu menyuruhku menjemputmu, maka pergilah bersamaku dengan tenang, Alfonso." Ayah lalu tersenyum, lalu merangkul pundak lelaki itu seperti sahabat lamanya. Saat itu ayah sudah sepekan berada di Rumah Sakit. Jangankan memeluk orang, makan pun ia butuh bantuan. Namun, di depan lelaki tampan itu, ia sangat kuat. Lalu Ayah bangkit dari kasurnya dan berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit yang nampak begitu terang di mataku. Tak lama, ibu tiriku dan dua saudara tiriku menangis dan saling berpelukan. Saat itu aku masih sembilan tahun. Lalu kabut datang tebal sekali. Menghapus ibu tiriku dan kedua saudara laki-lakiku yang bagai menguap ke udara keberadannya kini. Kali ini aku sedang duduk di kamar, di rumah Aunty Pam. Seorang gadis kecil manis berkepang dua datang ke kamar Aunty Pam tanpa permisi. Aunty Pam akan sangat marah bila ada seseorang masuk ke kamarnya tanpa izin.
"Bibi," kata suara manis itu, Aunty Pam juga paling tidak suka dipanggil Bibi. "Mari pergi bersamaku dan tinggalkan kefanaan yang ada di sini."
Aunty Pam tersenyum, "Akhirnya kau datang. Kau datang dengan rupa tercantik yang pernah aku bayangkan. Mari, bawa aku. Aku akan sangat senang ikut denganmu."
Aunty Pam ditemukan tewas di kamarnya karena over dosis obat tidur. Ia tidak pernah bisa tidur setelah infotainment memberitakan hubungan gelapnya dengan salah satu anggota dewan. Aku kenal Aunty Pam, selain kariernya sebagai model, ia tidak memiliki hal lain yang ia cintai.
KAMU SEDANG MEMBACA
GADIS PEMBACA KEMATIAN
ParanormalAda yang bilang kematian adalah awal yang baru dari kehidupan yang lebih baik, tetapi ada juga yang bilang kematian adalah gerbang menuju surga. Keduanya salah. Setelah kematian, seseorang tidak akan kembali hidup lagi, juga tidak pergi ke surga. Me...