Kareem Al Akhtar

54.7K 2.2K 64
                                    

Happy reading, semoga suka.

Full story sudah bisa didapatkan melalui Playstore dan Karyakarsa.

Di Karyakarsa:

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di Karyakarsa:

Untuk memudahkan pembelian, silakan buka via website : www

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Untuk memudahkan pembelian, silakan buka via website : www.karyakarsa.com (jauh lebih hemat dan murah)

Thanks and luv,

Carmen

____________________________________________________________________________________

Aku selalu tahu bahwa hari seperti ini akan terjadi. Hari di mana aku harus dipaksa untuk membuat keputusanku. Tidak... keputusan itu sebenarnya sudah dibuat, jauh sebelum aku ada dan aku hanya perlu menjalankannya ketika waktunya tiba. Kuakui, aku melakukan yang terbaik untuk menunda-nunda apa yang seharusnya memang terjadi, tapi dengan desakan demi desakan yang terus mengacaukan hidup dan rencanaku, aku terpaksa mengalah.

Aku harus menikah dan membuat mereka semua tenang. Seperti itulah, arti menjadi Al Akhtar.

Tentu saja, menikah bukan sesuatu yang terlalu mengerikan, jika seseorang melakukannya di saat ketika dia memang menginginkannya dan dengan seseorang yang memang juga diinginkannya. Tapi menikah menjadi perkara yang cukup sulit ketika aku harus menjatuhkan pilihan pada pilihan keluargaku dan memutuskan tempat dan tanggalnya sesuai dengan pemilihan orangtuaku. Mungkin dunia luar tidak tahu, betapa kecil arti seorang Kareem Al Akhtar ketika dia sudah berada di dalam lingkungan keluarganya.

Aku memang terbang ke Eropa. Akeem - salah satu orang terbaikku - sudah menunggu di sana, lengkap dengan setumpuk data tentang calon yang sudah dipilih untukku. Sheikha Latifa bint Raafat Al Mochtar, putri bungsu dari istri kedua seorang pendahulu Emir di Kuwait.

Kepada Akeem, sempat kukatakan bahwa aku hanya akan membuat keputusanku setelah aku mempelajari segalanya. Tapi seperti yang diketahui ayahku, Akeem juga mengerti bahwa aku hanya sedang mengelabui diri sendiri. Pada akhirnya, aku tetap akan setuju. Tapi aku tetap tidak bisa membiarkan pria tua itu menang tanpa membuatnya sedikit cemas - berpikir apakah aku akan cukup berani untuk menentang perintahnya.

Berselang tiga hari kemudian, di sinilah aku berada. Di kediaman keluarga wanita itu di London, dalam acara makan malam formal yang resmi diadakan untuk memperkenalkan kami berdua. Aku merasa tercekik dalam setelan tuxedo yang kukenakan. Dan, aku yakin wanita itu juga tidak bisa merasa lebih nyaman dalam gaun malam biru safir yang dilengkapi turban senada yang diatur bergaya, bersama sehelai selendang tipis yang jatuh pada kedua sisi wajahnya yang berstruktur indah.

Aku melihat bagaimana laporan Akeem menjelma nyata di hadapanku dan aku tidak bisa menyalahkan pria tua itu karena telah memilihnya. Bahkan jika aku berusaha keras untu menemukan satu saja kekurangan sang sheikha, hal itu tidak dapat kulakukan. Dari segala yang ditampilkan dan ditunjukkannya, Sheikha Latifa seakan tak bercela.

Keturunan murni. Cantik dan santun. Tata kramanya tak bercacat walaupun dia sudah menghabiskan sebagian besar waktunya di Eropa. Lulusan cum laude dari Oxford, tidak memiliki latar belakang penuh skandal dan jelas memenuhi setiap aspek yang dituntut untuk menjadi seorang istri dan ibu dari keturunan Al Akhtar di masa hadapan.

Wanita itu jarang berbicara. Bahkan nyaris tidak pernah mengangkat wajahnya untuk menatapku lama. Untuk ukuran wanita Arab yang modern, dia cukup mengejutkanku dengan membiarkan orangtuanya yang berbicara mewakilinya. Terkadang, dia hanya menjawab singkat satu dua pertanyaan yang sengaja aku lemparkan. Sampai pada akhir pertemuan pertama kami, aku masih tidak bisa menyimpulkan wanita seperti apakah Latifa. Aku hanya bisa merujuk pada tumpukan catatan yang menyatakan betapa sempurnanya wanita itu dan harus kuakui, dia memang sempurna - secara fisik, prestasi dan garis keturunan.

Aku tidak ingin mendiskusikan wanita itu - bersama ayahku. Tapi hal itu menjadi sulit untuk dilakukan karena pria itu berada satu mobil bersamaku. Setelah gagal mengabaikannya selama beberapa detik pertama, aku terpaksa harus menjawab pertanyaan yang diajukannya padaku.

"Bagaimana?"

Apa yang bagaimana? Jawaban seperti apa yang diharapkan pria itu? "Sempurna, kurasa."

Aku mendengarnya mendengus tak senang. Jelas dia tersinggung. Seakan aku telah mengkritiknya. "Kau rasa? Dia memang sempurna, anakku. Seandainya aku sepuluh tahun lebih muda."

Aku menatapnya sekilas. "Aku yakin dia tidak akan tertarik padamu, old man. Sepuluh atapun dua puluh tahun lebih muda dari sekarang."

Sekali ini pria itu tidak tersinggung. Dia hanya tertawa keras menanggapi komentar tersebut. Aku tahu suasana hatinya sedang senang. Dia menepuk bahuku beberapa kali ketika tawanya pelan menyurut reda sebelum berhenti. Suaranya yang dalam terdengar tegas ketika dia membuka mulutnya lagi.

"Dia baik untukmu, nak. Dan memang sudah menjadi tugasmu untuk memberiku penerus. Tak ada yang lebih penting dari itu."

Kecuali keinginannya.

"Pria yang bijaksana tahu kapan harus berhenti dan memusatkan perhatiannya pada sesuatu yang lebih besar."

Aku bersyukur ruangan di dalam mobil itu cukup gelap sehingga pria tua itu tidak melihatku memejamkan mata. Aku menekan kedua kelopakku keras untuk mengendalikan diriku sendiri dan ketika membukanya kembali, kurasa aku sudah berhasil mendapatkannya. Aku menoleh untuk menatap pria itu, gemerisik kain dari thawb yang dikenakannya berdesir halus saat dia menggerakkan tubuhnya mendekat ke sisi jendela yang mulai basah terpercik air hujan.

Sisi wajahnya sedikit tertutup ghutra tapi aku masih bisa melihatnya. Sudah berapa lama aku benar-benar duduk di sebelahnya untuk waktu yang lumayan lama dan memperhatikannya? Pria tua itu benar. Dia tidak semakin muda. Dan harapannya hanya bisa digantungkan padaku. Sial memang, karena hanya aku satu-satunya penerus sah dari Hamad Al Akhtar, walaupun aku curiga mungkin pria itu memiliki beberapa anak di luar nikah.

Seharusnya tak perlu kukomentari, tapi aku tidak tahan untuk tidak melakukannya. Kurasa adil untuk sedikit menyindirnya, setelah apa yang dipaksakannya padaku. "Aku rasa kau belum benar-benar berhenti bermain, Ayahanda. Aku belum lupa pada wanita terakhir yang mendatangiku dan mengaku sedang hamil. Cobalah jujur padaku, apa aku memiliki beberapa saudara tiri di luar sana, yang tidak pernah aku kenal keberadaannya?"

"Tidak adil menuduhku begitu, Kareem. Kau akan memiliki kebebasanmu kembali, hanya setelah kau menyelesaikan kewajibanmu. Sekarang, berhentilah mengkritik ayahmu dan bersikaplah seperti anak yang berbakti. Sudah kukatakan, hanya kau satu-satunya penerusku."

Mungkin jika dikatakan dalam lain kesempatan, aku akan merasa cukup terharu. Tapi, tidak... tidak kali ini. Aku mendengus pelan dan membuang wajahku ke sisi jendela yang ada di sampingku dan membungkam mulut selama sisa perjalanan kami. Ketika sopir menurunkan pria itu di depan lobi hotel Four Season Park Lane, dia kembali bertanya. "Bagaimana?"

Desakan dalam suara itu membuat aku kembali menjawab. Sepertinya pria itu tidak akan pernah bisa tenang sebelum aku memberikan jawaban tegas seperti yang ingin didengarnya.

Aku menghela napas dalam dan menyambut pertanyaan itu dengan balasan yang pasti akan membuatnya tenang menikmati sisa malam itu di suite-nya.

"Aku akan menikahinya."

The Sheikh's Mistress - REPOST for adult onlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang