"Pangeran berkuda putih dari lorong kegelapan."
****
[Surabaya, 7 Juli 2013]
Rere mendengus kesal menatap mangkuk bakso yang tak ada isinya. Mulai sekarang, dirinya tidak akan belajar dengan tenang. Mengapa harus dirinya yang mendapat kelas di samping koridor angker? Apa sekolahnya tidak punya kelas lain sampai kelas itu dipakai lagi?
Memang benar, sekarang lorong itu sudah tak segelap dulu. Tapi, tempat itu masih angker. Tetap menyeramkan dan selamanya akan begitu. Konon katanya, pernah ada siswi cerdas yang gantung diri di sana. Siswi itu bunuh diri sebab gagal masuk ke kelas akselerasi. Ia ingin cepat cepat menyelesaikan sekolah karena tidak ingin memberatkan orangtuanya. Nyatanya, ia gagal dan akhirnya bunuh diri karena merasa menjadi anak terbodoh yang tidak pernah membanggakan orangtua.
Dulu, Rere selalu bangga dengan prestasinya masuk ke kelas akselerasi. Tak pernah ia menyesali keputusan untuk masuk ke kelas unggulan itu. Meskipun pekerjaan rumah dan tugas tugas lainnya kerap menghantui. Selama ini, Rere tak pernah mengeluh. Namun sekarang, ia menyesali keputusannya. Bagaimana jadinya jika hantu itu iri dengannya? Akankah hantu itu mengganggu dan merasukinya? Pikiran itu membuatnya bergidik ngeri.
"Biasa aja, Re. Kan ceritanya belum tentu benar," ucap Deandra menenangkan. Mungkin gadis berambut hitam legam itu melihat wajah Rere yang pucat saat kertas yang menunjukan pembagian kelas ditempel di mading.
"Coba ajarin aku caranya biasa aja. Langkah langkah biar nggak takut lagi, De," ujar Rere menatap Deandra lekat. Dahi Deandra berkerut. Deandra tak menemukan jawabannya. Rere melanjutkan, "Nggak bisa, kan? Buktinya udah banyak, De! Pak satpam, bu kantin, pak bon, semua yang udah kerja lama di sini pernah dengar hantu itu menggumamkan kata, "Maafkan saya, ayah ibu. Akselerasi sulit sekali digapai." Takut lah De!"
"Ya udah, Re. Love what you do aja. Love your class room." Deandra tertawa kecil. "Lagian kita nggak boleh menelan mentah mentah perkataan orang, kan? Kamu sendiri yang bilang gitu dulu." Deandra malah meledek Rere.
Rere menggerutu kesal dan beranjak meninggalkan Deandra yang hanya tertawa kecil. "Ngapain Deandra ketawa ketawa? Memangnya ada yang lucu?" gerutunya lagi. Mendengar gerutuan itu, Deandra tertawa semakin keras. Membuat Rere semakin kesal.
***
"Mungkin memang aku harus belajar berani," gumam Rere kepada dirinya sendiri. "Langkah pertama adalah mengamati koridor itu selama 10 menit. Jika tidak ada suatu hal yang ganjil, maka aku harus memperhatikan dengan lebih dekat. Seperti lagu yang dilantunkan penyanyi cilik Sherina, lihat lebih dekat."
Lima menit pertama tak ada reaksi dari lorong itu. Masih gelap. Meskipun cahaya matahari mengintip dari celah-celah atap yang berlubang. Rere berjalan lima puluh sentimeter mendekati koridor.
Tiga menit belalu dengan cepat hingga Rere melihat bayangan mendekat. Dirinya mundur teratur. Tidak tergesa gesa karena ia sudah tak setakut tadi pagi. Samar samar terdengar langkah kaki. Kalau yang berjalan itu hantu, maka tidak mungkin terdengar langkah mendekat, kan? Hantu tidak memiliki kaki, pikir Rere, menenangkan jantungnya yang sudah berdegup cepat.
Jantungnya hampir copot jika saja seorang laki laki tidak keluar dari koridor itu. Dugaan Rere benar rupanya. Yang menyusuri lorong itu bukan hantu, melainkan seorang cogan alias cowok ganteng yang belum pernah Rere lihat sebelumnya. Tipe cowok idaman semua kaum hawa.
Cowok itu berjalan dengan gagah berani. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana abu-abu yang membuat dirinya terkesan santai. Tak ada guratan ketakutan sedikitpun tercetak di wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Enggak ada selain di SEKOLAH
Teen Fictionkumpulan cerpen bertema/berlatar sekolah "Meski ratusan kali kamu berfikir untuk membenci sekolah, saat kamu telah lulus kemungkinan besar kamu akan merindukan masa-masa itu."