Chapter 2

93.7K 7.1K 432
                                    

"Jangan ketawa!" Bentakku.

Sosok di layar laptop langsung mengubah tawanya menjadi senyum yang ditahan. Tapi sisa-sisa geli masih tergambar jelas di wajahnya. Untuk menutupinya, dia buru-buru mengambil kaleng coke dari samping laptop dan menegaknya sedikit.

"Aku nggak ngerti sama junior zaman sekarang. Mentang-mentang senioritas dihapuskan. Ada gitu dulu angkatan kamu junior ngata-ngatain seniornya bego?"

"Entah kalau bego. Kalau tolol, ada."

"Oh ya?" tanyaku tak percaya. Seingatku Leo hidup di zaman prasejarah, di mana penindasan senior atas junior adalah hal yang wajar dan bagian dari pendidikan karakter. "Siapa?

"Sebut saja Saras."

Aku mengernyitkan dahi. Lalu memasang ekspresi rolling eyes, mengingat-ingat apa yang pernah kulakukan padanya.

"Aku junior yang baik dan sopan." Jawabku tak habis pikir.

"Kalau jaman aku dulu, ngatain senior tolol itu udah termasuk nggak sopan sih."

"Kapan aku ngatain kamu tolol?"

Leo tertawa lebar. "Beneran lupa? Waktu kamu minta aku pura-pura jadi pacar kamu."

Aku berusaha memutar ulang memoriku, mengingat-ingat bagian mana aku mengatai Leo tolol. Dan bagian mana aku meminta Leo pura-pura menjadi pacarku. Memangnya aku sedesperate itu karena tidak punya pacar sampai meminta orang lain menjadi pacarku? Lagipula dulu kan aku dan Leo tidak akrab. Aku ingat aku membencinya setengah mati, sampai setiap kali aku berpapasan dengannya aku menyumpahinya diam-diam. Aku tak mungkin...oh, baiklah! Aku ingat.

Segalanya berawal dari taruhanku dengan Freya. Musuh bebuyutanku sejak masih mahasiswa baru hingga sekarang. Freya menantangku untuk menjadikan Leo pacar, sementara seluruh kampus tahu bahwa aku dan Leo itu ibarat Saras 008 dan Mr. Black. Leo adalah musuh bebuyutanku nomer dua setelah Freya. Jika aku menang, Freya akan jauh-jauh dari dr. Riza, dokter kampus yang maha sempurna itu. Karena putus asa, akhirnya aku mendatangi Leo dan memintanya jadi pacarku. Leo mengataiku tolol karena taruhan. Aku mengatainya tolol karena dia mengataiku duluan. Mungkin kami sama-sama kurang ajar.

"Mencium seseorang sebelum menyuruh orang itu pergi menjauh juga termasuk nggak sopan." Tambah Leo dengan ekspresi super serius.

Aku nyengir kecut. "Maafkan."

Dulu aku mengenal Leo sebagai senior yang serba sok. Sok pintar (walaupun memang pintar), sok ganteng (walaupun sebagian besar cewek setuju), dan sok cool (memang cool, tapi sebenarnya hidupnya menyedihkan). Aku membencinya, dia membenciku, tapi orang tua kami mengharapkan kami bersatu. Dan Leo, si laki-laki dengan kadar percaya diri yang overload, bersumpah akan membuatku jatuh cinta sebagai wujud baktinya kepada orang tua. Dan aku, dengan segala kebencianku, ternyata tak cukup bisa bertahan dari pesona Leo. Bodoh memang.

Hari ini, aku mengenal Leo sebagai kekasih yang manis walau aku harus bergadang sampai hampir subuh hanya untuk ngobrol dengannya. Tapi terkadang aku masih paranoid. Jangan-jangan sampai saat ini Leo memang tak pernah mencintaiku, dan menganggapku sekadar kewajibannya untuk membahagiakan orang tua.

"Lagian gimana bisa kamu ketiduran pas UTS Filsafat Hukum?"

Aku mengibaskan tangan. "Pusing. Nggak ngerti sama filsafat-filsafatan."

"Tapi kamu udah ikut kelasnya 3 kali kan?"

"Iya, tetap aja aku nggak paham."

Leo berdecak. "Ayo dong, kalau nggak lulus itu, kamu nggak bisa ngajuin skripsi semester ini."

"Aku nggak terburu-buru lulus kok. Santai aja kayak di pantai."

"Panji aja udah mau sidang kan?"

BEST OF US - TERBIT CETAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang