Chapter 7

47.2K 5.5K 170
                                    

Hai!
Aku nggak tahan buat upload bab ini. Hahaha ada gitu yang nggak tahan upload malah authornya ;p lagian mumpung hari ini aku off, jadi longgar. Part selanjutnya weekend atau minggu depan ya.

--------------------------------------------------

Sosok di hadapanku masih cengengesan santai, tidak peduli bahwa aku sudah sampai dititik stres tertinggi saat menceritakan permasalahan ini kepadanya.

"Ini udah akhir februari, by the way." Kataku lemas dan tak bergairah. "Gimana caranya gue bisa nyusun skripsi mulai sekarang?"

Mahesa menyelakan sebatang rokok. "Tapi Bu Claudya bilang oke kan?"

Aku mengangguk. Reflekku cukup sigap kali ini. Tadi pagi aku langsung menemui kaprodiku untuk membiacarakan masalah ini. Seharusnya, aku sudah tidak bisa mengusulkan proposal skripsi di bulan-bulan ini. Apalagi dengan beberapa mata kuliah yang masih harus kulewati. Tapi setelah mendengar alasanku, Bu Claudya akhirnya memperbolehkan aku menyusul teman-teman lain untuk menyusun skripsi. Hanya saja, waktuku memang mepet. Saat teman-teman sudah sampai bab 2, aku masih belum tahu akan menulis tentang apa.

Ya ampun. Mungkin beasiswa itu memang bukan takdirku.

Kutundukkan kepalaku sampai menempel meja. "Bu Claudya kasih waktu sampai jumat ini. Proposalnya harus udah gue ajuin."

"Ya bikin dong." Kata Mahesa santai.

Ingin rasanya aku menyiram anak ini dengan kuah lontong sayurku. Caranya bilang 'ya bikin dong' itu kok rasanya kurang menghargai kapasitas otakku. Seolah-olah ini hanya soal membuat kopi. Ini kan skripsi! Yang apa gunanya pun aku tidak tahu!

"Nanti gue bantuin." Katanya lagi, masih dengan nada santai, sesantai di pantai.

"Caranya gimana?"

Mahesa berdecak, lalu mematikan rokoknya. Aku memasang wajah pasrah. Sungguh aku tahu seperti apa kelihatannya aku sekarang. Bodoh dan tidak punya inisiatif. Aku yakin Mahesa menganggapku begitu, seperti dulu Leo juga menganggapku dungu dan tidak punya apapun yang bisa sedikit saja dibanggakan.

"Jadi," Mahesa berkacak pinggang menyebalkan. "pertama-tama lo harus mulai bikin proposal. Nyalain laptop!" Perintahnya semena-mena.

Aku tahu 'junior' tengil inilah yang akan menyelamatkan beasiswaku dan sekaligus hidupku dari pasal-pasal membosankan ini. Mungkin karena itulah, tanpa banyak protes aku segera mengeluarkan laptop dari tas dan menyalakannya, mengabaikan betapa menjengkelkannya nada Mahesa saat menyuruhku melakukannya.

"Lo mau nulis tentang apa?"

Gimana sih?

Kuhela napas panjang-panjang. "Mahesa yang baik, kalau gue tahu gue mau nulis apa, nggak akan gue curhat-curhat nggak penting ke elo soal terancamnya beasiswa itu karena gue nggak bisa lulus kuliah tepat waktu." Kataku panjang, sampai akhirnya aku terengah-engah sendiri.

Mahesa ikut-ikutan menghela napas. "Mata kuliah apa yang paling lo sukai selama ini?"

Tidak ada. Sungguh, tidak ada sama sekali.

"Mungkin, hukum perdata." Karena Leo sering menggantikan Pak Budi di kelas itu.

"Well," Mahesa menggaruk kepalanya. "Sebenarnya gue punya beberapa topik untuk skripsian nan..."

"Lo udah punya topik skripsi?" Potongku tak percaya. "Lo kan baru tingkat dua?!" Kenapa dia sudah punya topik skripsi yang baru akan dia tulis dua tahun lagi? Sementara aku? Demi apapun...aku benci orang-orang pintar seperti dia.

"Anggap aja gue emang suka baca." Jawab Mahesa cengengesan. Okay. Jadi sekarang dia meledek minat bacaku yang mengkhawatirkan ini. Ya sudahlah. Orang pintar mungkin punya previlage untuk menjatuhkan mental orang laian. "Nih, coba dari beberapa topik ini lo ada yang tertarik nggak?"

BEST OF US - TERBIT CETAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang