Chapter 3

66.9K 6.3K 152
                                    

Trienal patung adalah pameran patung nasional yang diadakan tiga tahun sekali. Kebetulan tahun ini lokasinya di Galeri Nasional. Pesertanya seniman dari berbagai daerah di Indonesia. Kali ini ada lima puluh tiga seniman yang berpartisipasi dalam gelar seni tiga tahunan ini. Tema yang diusung adalah seni kontemporer. Pameran diadakan di gedung B, C, dan E di Galeri Nasional. Antrian masuknya sudah seperti antri sembako. Aku sempat terenyuh melihat banyaknya anak-anak SMA yang mengantri masuk ke gedung pameran. Kupikir anak SMA jaman sekarang hanya tertarik pada kpop dan one direction, dan sungguh keajaiban besar mereka tertarik pada sesuatu yang absurd, seperti pameran seni.

Tapi ternyata aku salah.

"Yeah, the power of social media." Guman Si Junior Kurang ajar di telingaku, saat melihat anak-anak SMA yang mengantri bersama kami sibuk foto-foto. Begitu juga dengan anak-anak SMA lain yang sudah masuk lebih dahulu ataupun menyusul. Semangat mereka untuk foto dengan seni instalasi yang dipajang membuatku kesulitan mengambil gambar yang bagus untuk pelengkap hasil liputanku. Path, instagram, twitter, facebook, benar-benar berpengaruh besar dalam industri fotografi.

Aku tak terlalu menyimak komentarnya yang lain karena sedang sibuk memperhatikan sebuah karya yang menarik minatku. Sebuah karya instalasi yang terbuat dari kayu. Menggambarkan seorang perempuan tanpa wajah dengan heels yang tinggi, duduk termanggu di atas sebuah bidang datar. Wajahnya syahdu, meski tak punya mata, hidung, dan mulut. Gerak-geriknya seperti sedang menunggu sesuatu. Seperti suasana asing di tengah-tengah ingar-bingar kota. Pada caption yang terletak di samping karya tertulis "Kesepian yang Membunuh" serta nama seniman pembuatnya yang berasal dari Bali.

Apa yang dia tunggu?

Kuhela napas panjang. Entah mengapa dadaku terasa sesak melihatnya. Kuambil beberapa gambar dari karya tersebut, lalu segera melihat karya-karya yang lain. Si Junior Kurang Ajar mengikuti di belakangku. Sesekali dia berkomentar tentang sebuah karya, yang tidak benar-benar kuperhatikan. Dia masih menguntitku bahkan ketika aku bertemu dengan panitia dari pameran ini dan salah seorang seniman yang berpartisipasi di acara ini. Lucunya, Si Junior Kurang Ajar malah berhai-hai akrab dengan seniman gondrong asal bali yang memakai ikat kepala itu. Mereka saling bertanya kabar dan membahas event apalah, sebelum Si Junior Kurang Ajar mengembalikan waktu kepadaku.

"Sudah?" Tanya Junior Kurang Ajar setelah aku menyelesaikan wawancaraku dengan seniman Bali.

"Yep. Sepertinya cukup." Jawabku, sambil memeriksa ulang gambar-gambar di kameraku. "Lo kenal sama Bli Wayan?" Tanyaku sambil lalu.

"Iya, dulu dia di Bengkel Seni Soemitra, sebelum balik ke Bali."

"Bengkel Seni Soemitra?"

"Rumah seninya Pak Tjipta Soemitra? Yang di daerah Tebet."

Ya ya, aku mengenal rumah Seni itu. Aku juga pernah ke sana untuk melihat apa saja yang bisa dipelajari dari tempat itu. Dan ternyata banyak. Tempat itu semacam ruang Seni bagi siapapun yang ingin belajar. Bukan hanya seni instalasi, tapi juga seni lukis, teater, sastra, dan tari. Aku sempat berminat untuk bergabung waktu lulus SMA. Tapi Ayah dengan cantiknya memaksaku masuk ke Fakultas Hukum. Kini minat itu tergeser oleh urusan-urusan lainnya sampai aku lupa.

"Dan lo...?" Tanyaku dengan mata menyipit. "Belajar di sana juga?"

"Sejak kecil. Makanya gue kenal Bli Wayan."

"Spesialisasi?"

"Seni rupa. Patung dan Lukis. Tapi kadang juga main teater di kampus."

"Emang kita punya klub teater?"

Si Junior Kurang Ajar nyengir. "Fakultas sebelah, nona."

"FIB?" Tanyaku. Dia mengangguk. "Oh iya ya, lo kan ambil dua jurusan."

BEST OF US - TERBIT CETAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang