Hari ini aku harus berangkat sendiri ke sekolah baruku. Arrgh, aku benci berjalan sendirian. Seharusnya kau ada di sini, Bal. Bersamaku disini, memulai hari baru di sekolah baru. Bukankah kita sudah saling berjanji akan satu sekolah dan akan tampil bersama di pensi sekolah? Kau dan aku akan bernyanyi bersama di pensi -- setidaknya saat pensi penutupan masa orientasi. Ah sudahlah, aku harus segera berangkat.
Ya beginilah aku, gadis enam belas tahun bernama Annisa Asyifah -- yang biasa dipanggil Syifah, tetapi Bunda lebih suka memanggilku Nisa. Aku hanyalah gadis biasa yang pendiam, yang mudah sekali tersentuh hatinya. Tapi aku tidak mau disebut sebagai gadis cengeng atau gadis lemah. Aku hanya lebih perasa daripada orang lain -- itu saja.
"Pagi, Bun. Bunda masak apa hari ini? Baunya kok semerbak banget," ucapku sambil mencium aroma sedap dari arah dapur.
"Bunda masak tumis sawi dicampur sama tempe. Hmm, pedes banget ini, Sa. Kesukaanmu sama Iqbal," jawab Bunda dengan senyuman terukir di wajahnya sambil mengelus kepalaku yang tertutup kerudung putih.
Huh. Baru saja aku memutuskan sejenak berhenti mengingatmu, Bal. Bunda malah ikut mengingatkanku. Samudra kerinduanku kepadamu, ku harap tak meluap melalui mataku. Ku harap tidak. Bukankah hari pertama sekolah itu menyenangkan. Iya, kan? Sama seperti wajahmu saat itu.
"Ayo makan dulu. Jangan bengong mulu, sayang. Kamu jangan sedih gitu, dong. Diingetin sama makanan favoritnya saja masa kamu sudah baper," ucap Bunda dengan sedikit terkekeh.
"Iya-iya, Bun," jawabku sambil tersenyum, "bunda sekarang bahasanya makin gaul yah. Hebattt!". Bunda hanya tersenyum dan tak membalas perkataanku itu.
Setelah menghabiskan sarapanku, aku berangkat ke sekolah. Aku berangkat sekolah naik sepeda. Maklum saja, jarak rumah ke sekolah lumayan dekat, biar hemat bahan bakar. (baca: hemat uang jajan)
Aku menyusuri gang dekat rumah untuk sampai ke sekolah. Aku memilih melewati gang sempit karena di jalan raya, jarang ada orang yang menghormati pengguna sepeda -- apalagi yang berjalan kaki. Jadi, aku malas sekali lewat jalan raya. Bunda juga melarangku lewat jalan raya, khawatir kalau-kalau aku terserempet.
Setelah lima belas menit bersepeda, aku sampai di depan gerbang. SMA Bina Bangsa;salah satu SMA favorit di kotaku.
Aku turun dari sepeda dan menuntun sepeda putihku. Dari kejauhan aku melihat seorang murid laki-laki sebayaku yang terlihat bingung, dengan peluh yang mengalir di pelipisnya.
Setelah memarkirkan sepedaku, aku menghampirinya dan ternyata ia juga anak kelas X.
"Hai, kamu kenapa?" tanyaku. Ia pun menoleh ketika menyadari ada aku yang bertanya padanya.
Sejenak ia melihatku. Seperti menatapku dalam-dalam. Kemudian aku melambai-lambaikan tanganku di depan wajahnya. Ia terkaget seolah baru saja memasuki alam bawah sadarnya. Haha. Mungkinkah dia terpana padaku? Jangan gila. Hahaha.
"Ini, ban sepeda saya bocor. Jadi saya tadi berjalan lumayan jauh untuk sampai di sini. Sekarang saya bingung bagaimana caranya saya pulang. Huh," cerita laki-laki itu dengan sedikit nada mengeluh sekaligus bingung.
"Emm, di dekat sini ada tambal ban, kok. Mendingan sekarang kita ke lapangan sebelum apel dimulai," ucapku berusaha meyakinkannya untuk tenang dan mengajaknya ke lapangan.
"Oh gitu, ya. Yaudah okelah," jawabnya berusaha tenang. Kemudian kami berjalan beriringan. Ehmm, tidak. Lebih tepatnya dia berjalan di belakangku mengiringiku.
Sekitar lima belas menit kemudian, kami sudah diperbolehkan masuk ke dalam kelas masing-masing.
Aku segera menuju koridor kelas X. Lagi-lagi aku mengingatmu. Yah, sayang, aku tidak bisa satu sekolah lagi dengan kamu, Bal.
Akhirnya aku menemukan namaku di deretan nama-nama siswa lainnya. Kelas X-A;kelasku di sekolah ini. Kelasku ini notabene adalah salah satu kelas akselerasi.
Andai kamu tau, aku berhasil masuk kelas akselerasi, seperti mimpi kita berdua dulu, Bal. Sebenarnya aku tidak ingin masuk kelas ini setelah kau pergi. Tapi kata bunda, aku harus tetap melanjutkan mimpiku -- dengan atau tanpamu, Bal.
Aku masuk kelas dan memilih duduk di bangku nomor dua dari depan. Kebetulan juga masih kosong. Aku memang lebih senang duduk di depan.Duduk di belakang membuatku tak bisa fokus ke pelajaran. Lagipula rabun jauhku semakin parah, jadi aku tidak mungkin jauh-jauh dari papan tulis. Seperti aku yang tak bisa jauh darimu. (baca: Iqbal)
Ketika aku mulai berbincang-bincang dengan teman yang ada di samping mejaku, ada orang yang menepuk bahuku.
"Hai, ternyata kita satu kelas ya," ucap laki-laki itu sambil tersenyum. Astaga, senyumnya manis seperti tropicana slim pengganti gula, yang sama manisnya tapi gak bikin sakit diabetes atau pun sakit hati. Hahaha, lebay yah.
"Hai juga. Hehe, iyaa," jawabku singkat. Maklum lah, aku kikuk ketika ngobrol dengan anak laki-laki yang baru kukenal. Kemudian ia tersenyum lagi mendengar jawabanku, lalu ia duduk di meja yang ada di sampingku.
"Oh iya, kita belum kenalan. Nama saya Dimas," ucap laki-laki itu dengan senyuman yang masih mengembang.
"Aku Syifah," jawabku singkat. Tetapi entah apa ini, aku merasa nyaman ada di dekat laki-laki itu. Bahkan sebelum aku mengenal namanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hilang
Teen FictionMasa SMA-ku mungkin tak berjalan sesuai ekspektasiku. Kau pergi dan aku sendiri. Kau hilang. Tetapi aku harus tetap melanjutkan mimpiku, dengan atau tanpamu.