Random (?)

100 16 0
                                    

Flashback on
Keesokan harinya aku naik sepeda ke sekolah. Aku menunggu di depan gerbang, menunggu kedatanganmu, Bal.

Akhirnya kamu datang juga, tetapi kali ini kamu tidak naik sepeda. Dari kejauhan aku melihatmu kesusahan untuk turun dari mobil. Ah ternyata kakimu sakit. Untuk berjalan saja kau sedikit pincang, kau pun juga harus memakai tongkat. Sial, rencanaku gagal.

Ketika kamu semakin dekat ke arahku, aku masih terus memandangimu dengan tatapan antara marah atau kasian. Aku juga bingung.

"Hai, ngapain lu ngeliatin gue kaya gitu? Gue emang ganteng, tapi gak usah gitu," ucapmmu dengan pedenya.

Astaga bagaimana bisa kamu berkata seperti itu padahal kamu baru menyapaku satu kali. "Hiii, siapa juga yang ngeliatin kamu. Ge-er banget sih jadi cowok," jawabku ketus. "Oh, kamu yang waktu itu aku tabrak ya? Haha, sorry yaa waktu itu. Soalnya gue baru beberapa kali naik sepeda, jadi belum terlalu lancar. Masuk yuk, udah mau bel masuk nih," ucapmu dengan santainya, bahkan mungkin dengan kadar rasa bersalah hanya 10%. Sok akrab pula. Andai saja kakimu tidak sakit, pasti sudah ku injak-injak kakimu. Ku tambah lagi dengan cubitan di perutmu.

"Malah bengong. Ayo buruan. Gue temenin ke parkiran deh sebagai permintaan maaf," ucapmu sambil tersenyum. Aku tersadar dari lamunanku, tersadar akan senyummu yang manis sekali. Maklum saja, kau punya lesung pipi di kanan dan kiri -- sekaligus. Yaa walaupun tipis, tapi tetap saja manis. Apalagi wajahmu yang keturunan Arab menambah ketampananmu.

Setelah sedikit terpana, baru aku menjawabmu, "Iya, aku yang waktu itu kamu tabrak. Sebenarnya hari ini aku mau balas dendam ke kamu, tapi enggak jadi karena kakimu sakit. Untung saja aku masih punya rasa kasihan," jawabku dengan ketus.
"Ya ampun, gue gak sengaja kali. Kaki gue deh jadi buktinya," ucapmu dengan sedikit rasa tak menyangka.
"Emang kakimu kenapa? Dilindes ban sepeda? Lebay amat sampek diperban gitu," jawabku-masih ketus.
"Astagaa, ini tuh karena...," jawabanmu terhenti karena bel masuk sudah terdengar.
"Oke, cerita cukup dulu ya, udah masuk, tuh. Aku duluan, bye," pamitku padamu yang mulutnya masih menganga akan melanjutkan cerita.
"Woi, lu kelas apa?" teriakmu padaku-tapi ku abaikan.

Setelah kejadian itu, aku belum bertemu lagi denganmu. "Hei, tunggu, Fah!" teriak seseorang di belakangku. Aku pun menoleh dan melihat kalau itu kamu. Huh, ngapain lagi sih itu cowok, baru juga dipikirin.
"Pulang bareng, kuy! Rumah kita searah kok. Tapi rumah gue lebih jauh. By the way nama gue Iqbal. Nama lu Syifah, kan?" ucapmu seolah kau sudah lama mengenaliku.
"Ngomong panjang banget sih. Satu-satu dong. Yaudah buru. Jangan lemot naik sepedanya," jawabku ketus.

Sejak saat itu, aku selalu berangkat dan pulang bersamamu, Bal. Saat weekend pun kita sering bermain di taman dan naik sepeda bersama. Itulah kenapa sekarang aku sangat suka bersepeda. Meskipun sekarang harus bersepeda sendiri. Kata orang kesendirian belum tentu berarti kesepian. Tapi nyatanya aku sendiri dan aku merasa sepi tanpa kamu, Bal. Yang kamu lakuin ke aku itu jahaaatt. Jahhaatt!
Flashback off

***

Alhamdulillah, hari ini tidak hujan lagi seperti kemarin. Mungkin kemarin ada samudra seseorang yang diluapkan menjadi rintik-rintik hujan. Hmm, yasudahlah.

Siapapun itu, jangan bersedih lagi yaa. Supaya aku bisa bersepeda ke sekolah. Agar aku tak perlu diantar Mang Ujang. Tenang saja, pasti akan ada seseorang yang mau membagi kebahagiaan denganmu. Atau bahkan mau menciptakan kebahagiaan dalam hidupmu. Mungkin itu juga nasehat untuk diriku agar aku tak selalu bersedih meratapi kehidupanku saat ini. Eeaa, meratapi, seperti meratapi kehidupan di sinetron Indosiar. Hmm.

"Nisaa, kamu ditungguin temanmu di teras itu lho. Ayo cepat turun," teriak bunda dari dapur. Siapa yang menungguku? Hmm, setelah aku terlalu lama sendiri, eh terlalu lama menunggu seseorang, akhirnya gantian aku yang ditunggu. Hmm.

Aku pun segera turun dan bersalaman dengan bunda dan segera menemui seseorang yang menungguku. Siapakah itu? Nial? Zayn? Iqbaal? Aldi? Justin? Harris J? Hmm, aku tau ekspektasiku terlalu tinggi.

Sontak aku pun terkejut. Bukan karena yang datang adalah Zayn, tapi yang datang adalah Dimas. "Loh, kamu kok tau rumahku?" ucapku pada Dimas.
Dimas pun menoleh lalu tersenyum ke arahku. "Kemarin pas kamu pulang, enggak lama setelah itu, saya juga dijemput. Terus ternyata rumah kamu enggak jauh dari rumah saya. Jadi saya pikir gakpapa kalau saya berangkat sama kamu," jawab Dimas dengan penuh kelembutan.
"Ee iya gakpapa sih, aku kaget aja. Hehe," jawabku seadanya. Kami pun berangkat sekolah bersama. Tapi karena Dimas enggak bawa sepeda, ya terpaksa boncengan deh.

"Ciiee, udah boncengan aja Fah, Dim," ledek temanku—Ira.
"Udah jangan rumpi deh, bahaya kalau ketahuan nih. Aku bisa dimusuhin sama cewek-cewek yang suka sama Dimas," ujarku pada Ira.
Sementara Dimas berlalu menuntun sepedaku ke parkiran. Aku pun membiarkannya ke parkiran sendiri. Sedangkan aku berjalan bersama Ira ke kelas.

Sesampainya di kelas, aku langsung duduk termenung dengan dialasi tasku yang penuh buku sebagai sandaran kepalaku. Aku tidak suka diledek seperti itu. Aku takut jika ledekan itu lama-lama bisa membuatku menyukai Dimas—atau mungkin Dimas yang menyukaiku. Aku langsung menepuk-nepuki pipiku sendiri. Mencoba bangun dari khayalan-khayalan yang kubangun sendiri.

***

Akhirnya bel pulang terdengar setelah seharian berkutat dengan buku. Hari ini sudah pukul empat sore. Aku akan langsung ke toko buku.

Oh iya, aku lupa. Aku kan tadi berangkat sama Dimas, terus dia gimana? Huh, terpaksa aku memintanya pulang sendiri. Aku merasa bersalah sekali. Tapi aku ingin sekali ke toko buku. Akhirnya aku memutuskan untuk menemaninya sampai dijemput.

Untung saja lima belas menit kemudian Dimas sudah dijemput. "Saya pulang duluan ya, kamu hati-hati di jalan. Jangan pulang malam-malam. Oh iya, makasih juga untuk tumpangannya tadi pagi. Lain kali saya akan bawa sepeda sendiri," ucap Dimas dengan kalem, lalu melambaikan tangannya ke arahku.

Aku pun bergegas ke toko buku. Aku mengayuh sepeda secepat mungkin. Berharap aku tidak akan pulang terlalu malam.

Sesampainya di sana, aku berjalan ke seluruh sudut toko buku itu. Berharap ada buku baru yang bagus. Dan akhirnya aku menemukan buku Tidak Ada New York Hari Ini karya Aan Mansyur. Aku sangat menyukai karya beliau, kamu pun juga sama, Bal. Siapa yang mengira, di balik wajah menyebalkan tapi tampan dan manis itu, ternyata Iqbal menyukai sastra dan menyukai puisi-puisi, terutama karya Aan Mansyur.

Ku kira aku tidak akan mendapatkan buku ini, ya maklum lah, buku itu sudah dilincurkan beberapa minggu lalu.

Wah, kalau kamu di sini, Bal, pasti akan ku pamerkan buku ini padamu. Haha. Aku juga membeli buku beliau yang berjudul Melihat Api Bekerja. Yay, aku mendapat dua buku yang sangat bagus kali ini. Aku pun segera mengambilnya dan bergegas ke kasir.

"Sudah lama ya kamu enggak beli buku seperti ini, Fah? Mbak kira kamu sudah pindah haluan ke genre bacaan lain," ujar mbak Nadia-kasir di toko buku ini.
"Iya nih, mbak. Kebetulan pas ada yang bagus, jadi aku pengen beli," jawabku pada mbak Nadia yang masih sibuk menatap komputernya.
"Eh iya, Iqbal ke mana? Udah lama banget enggak lihat dia, Fah," ujarnya lagi sambil menyerahkan buku yang sudah kubeli. Pertanyaan itu membuatku membisu, bisakah kau tiba-tiba hadir di sampingku, Bal. Biar aku tak bingung menjawab pertanyaan itu. "Eee, mbak sudah mau maghrib nih, Syifah pulang dulu, ya. Makasih," jawabku mengalihkan pembicaraan.

Kenapa semua tentangmu selalu menjadi pertanyaan, Bal? Tidak bisakah kau menjadi alasan dan jawaban? Bukannya menjadi dasar atas semua pertanyaan.

HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang