Aku masih mengingat setiap detail wajahmu. Setiap detail suaramu.
Aku -- Syifah -- merindukanmu, Iqbal. Kuharap kau membacanya atau mungkin bisa mendengarkannya dari suara hatiku.Jika tidak, kuharap ada seseorang yang bisa menceritakan ini padamu."Dim, hari ini kok ada Bu Asri, sih. Aku belum ngerjain PR nih. Lebih parah lagi, aku salah bawa buku. Semuanya," ucapku pada Dimas.
Dimas pun hanya menghela nafas, "Enggak ada jam Bu Asri kok hari ini. Kayanya sih bawa murid baru, Fah."
Aku pun menghela nafas lega, "Haduuh, untung aja." Tapi aku pun masih memilih untuk menundukkan kepalaku, mengotak-atik ponselku."Anak-anak, mulai hari ini, ada anak baru di kelas kalian. Silahkan perkenalkan diri kamu," ujar Bu Asri.
"Ekhem"
Deg. Aku berhenti mengotak-atik ponselku.
"Nama saya Muhammad Iqbal Irham. Kalian bisa panggil saya Iqbal atau Irham. Saya pindahan dari Singapura. Sebelumnya saya home schooling. Semoga kalian bisa menerima saya," ucap murid laki-laki itu.Murid perempuan di kelasku riuh, menanyakan ini itu pada murid laki-laki baru itu.
Sedangkan aku masih menunduk, terus menunduk. Tak kuasa mendengar apa yang barusan murid itu katakan. Air mataku tumpah. Ia mengingatkanku pada seseorang yang telah lama pergi -- hilang dari hidupku dan bunda.
"Ya sudah, kamu silahkan duduk. Anak-anak, kalian bisa melanjutkan kegiatan kalian. Terimakasih. Selamat pagi," pamit Bu Asri singkat.
Aku mendongakkan kepalaku. Mataku dan matanya yang kecoklatan saling beradu. Seperti saling berbicara tanpa perlu kata apalagi suara. Siapa dia? Kenapa namanya sama sepertimu, Bal? Bukankah kau-
---Flashback on---
Drrtt. Ddrrtt. Drrrt. Tante Lily. Tumben tante Lily telepon, sms aja padahal enggak pernah sebelumnya.
"Halo, Tan. Ada apa? Loh tante kenapa kok nangis?"
"Iqbal, Fah"
"Iya, Iqbal kenapa, Tan?" Aku mulai ketakutan ketika tante menyebut namamu, Bal.Bukannya kamu sedang bersenang-senang camping dengan teman-temanmu ke puncak? Kenapa mamamu malah menangis?
"Waktu dia perjalanan ke puncak, dia kecelakaan parah. Sekarang tante harus bawa dia ke luar negeri untuk pengobatan"
Tangisku pecah, bersamaan dengan runtuhnya hatiku. Yang aku inginkan saat itu adalah menemui Iqbal, yang kuharap bukan pertemuan terakhirnya.Dua bulan kemudian
"Fah"
"Iya, tante. Ada apa? Gimana keadaan Iqbal sekarang. Syifah pengen ngomong sama dia, Tan. Udah lama banget enggak denger suaranya"
"He just passed away, Fah"Aku hanya diam. Hening. Kosong.
Tante Lily pun sudah menutup sambungan teleponnya bahkan sebelum aku menanyakan kapan Iqbal akan dimakamkan. Berkali-kali aku mencoba menghubungi, tetapi tidak ada jawaban. Tanpa pikir panjang aku segera pergi ke rumah Iqbal. Tetapi nihil. Rumah itu kosong. Usang, setelah ditinggal penghuninya. Mungkin hatiku pun juga begitu.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, bahkan tahun pun sudah berganti, aku masih tak menemukanmu. Menemukan jasadmu pun belum. Kupikir tak baik bila aku masih tak mau melepaskanmu yang akan pergi jauh. Mengikhlaskan misteri – tak akan pernah mudah.
---Flashback off---
Masing-masing mata kami yang tadi beradu, sudah menjatuhkan rintik-rintik air mata. Dia menghampiriku. Semakin dekat. Spontan kami langsung berpelukan. Pelukan yang sepertinya pernah aku rasakan. Pelukan yang sepertinya sama dengan pelukan yang aku rindukan.
Kami berdua masih menangis. Kami tak menghiraukan sudah berapa pasang mata yang mengamati kami. Tangisku makin pecah. Kemana saja kau selama ini. Apa ini yang namanya "passed away"?
Aku biarkan pertanyaan itu berkecamuk dalam pikiranku. Membuatku semakin tenggelam dalam pelukan itu. Pelukannya semakin erat. Sesak sekaligus lega. Aku bisa mencium wanginya yang khas. Jaket biru donker-nya masih melekat di tubuhnya. Wanginya masih sama. Tentu aku sangat mengingatnya.
.
,
Setelah kejadian tadi pagi, pikiranku berlarian ke mana-mana. Aku tak lagi fokus mendengarkan penjelasan Bu Yeni. Terlalu banyak pertanyaan yang sudah memenuhi pikiranku. Terngiang-ngiang di kepalaku.
Bel pulang pun akhirnya berbunyi. Saat itu hujan turun. Aku tidak bermaksud menumpahkan (lagi) air mataku menjadi hujan. Maaf.
Semua murid sudah keluar kelas, termasuk Dimas. Dimas tahu apa yang harus dilakukannya ketika aku dalam posisi seperti ini. Dimas tahu memperlakukan sesuatu yang rapuh – sepertiku.
Murid baru itu berjalan di sampingku – melewati mejaku.
"Kamu jangan berlagak seperti udara, yang bisa kurasakan tapi tak bisa aku sentuh. Jangan seperti udara-menguap, hilang tak berbentuk. Kamu itu bukan udara, Baal," ucapku setengah berteriak padanya.
Bukan aku marah padanya. Tetapi kerinduanku yang sudah teramat dalam membuatku memberontak. Rindu dan amarahku beradu. Sedangkan lelaki itu masih membisu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hilang
Подростковая литератураMasa SMA-ku mungkin tak berjalan sesuai ekspektasiku. Kau pergi dan aku sendiri. Kau hilang. Tetapi aku harus tetap melanjutkan mimpiku, dengan atau tanpamu.