Hujan

139 18 0
                                    

Pagi ini hujan rintik membasahi bumi. Padahal ini masih bulan Juni—yang seharusnya masih musim kemarau. Hujan pagi ini mengingatkanku pada sebuah sajak berjudul Hujan di Bulan Juni

Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak jakinya yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan di serap akar pohon bunga itu

Kenapa hujan kali ini seolah menjatuhkan bulir-bulir kerinduanku padamu, Bal. Kamu bilang, hujan itu baik tapi kadang juga kamu menganggap hujan itu bodoh. Hujan baik karena dia mau mebasahi bumi yang makin lama makin kering ini. Tapi kenapa ia bodoh, ia mau jatuh untuk memberikan kehidupan bagi semesta-tapi itu juga artinya hujan itu baik.
Entahlah, kau sangat labil tentang anggapanmu terhadap hujan. Aku selalu tersenyum mengenangmu ketika berkata tentang hujan.

Hujan pagi ini membuatku seolah tak ingin meninggalkan rumah. Tentu saja karena aku harus diantar dan tidak bisa naik sepeda. Padahal aku lebih suka naik sepeda. Tapi kamu pernah bilang kalau aku tak boleh naik sepeda ketika hujan. Kamu takut sekali kalau aku sakit;seperti bunda.

"Sa, ayo turun, nak. Sarapan dan cepat berangkat. Kan kamu diantar Mang Ujang, nanti macet lho," ucap Bunda dengan sedikit berteriak. "Iya, Bun. Ini masih pakai kerudung," jawabku.

Huh. Sibuk mengingatmu membuatku tenggelam dan lupa jika waktu terus berjalan-semakin siang. Aku merapikan kerudungku dan segera turun.

"Bun, aku gak usah sarapan di rumah. Aku sarapan di mobil aja, daripada kesiangan," ucapku pada Bunda yang masih sibuk menyiapkan bekal makan siangku.

"Nisaa, kamu itu ya makanya jangan siang-siang keluar dari kamar, nak. Biar sempat sarapan," ujar Bunda menasehatiku, "Ini bekalnya. Ini untuk sarapan, satunya buat makan siang yaa, Saa."
Hal-hal seperti ini yang membuatku semakin menyayangi bunda. "Iya, Bundaa. Nisa berangkat dulu ya," jawabku sambil mencium pipi bunda dan mencium tangannya.

Hujan masih mengguyur. Mang Ujang sudah siap mengantarku, jadi aku langsung masuk ke dalam mobil. Aku menyapa Mang Ujang lalu memulai untuk sarapan. Untung saja jalanan pagi itu tidak terlalu macet. Jadi aku tidak akan terlambat-semoga.

Saat aku makan sambil melihat ke arah kiri mobil, ada seorang remaja laki-laki yang duduk di halte dekat traffic light. Ternyata itu Dimas. Kebetulan saat mobil sedang terhenti karena lampu merah, jadi aku bisa memanggilnya dan menawarinya untuk berangkat bersama.

"Dimas, ayo berangkat bareng. Daripada nanti kamu terlambat," teriakku pada Dimas. Dia sedikit terkaget, lalu ia menggelengkan kepalanya, "Tidak usah tidak apa-apa. Sebentar lagi hujan akan reda-sepertinya. "Sudahlah, ayo cepat ke sini. Jangan keras kepala," teriakku lagi.

Sejenak ia melihat jam hitam di tangannya lalu berlari menuju mobilku. Mungkin dia menyadari jika ini sudah hampir jam tujuh pagi.

Aku dan Dimas tidak berbicara sama sekali di dalam mobil, karena aku masih sibuk dengan sarapanku, hehe. Hanya Mang Ujang yang aktif sekali menanyai Dimas. Bahkan sudah semacam wawancara oleh seorang jurnalis. Aku hanya tertawa geli mendengar percakapan mereka yang agak melenceng ke mana-mana.

Sesampainya di depan gerbang, aku menutup bekalku dan turun dari mobil. Untung saja hujan sudah reda. Kami berdua pun berjalan beriringan. Kali ini aku tak lagi canggung, karena aku dan Dimas sudah beberapa kali ngobrol. Mungkin darinya aku kini lebih selow dan tidak terlalu sering menangisi kenanganku bersamamu, Bal. Tapi tenang saja, aku tidak akan melupakanmu.

Hari ini kami pulang lebih awal karena guru kami harus rapat dinas. Huh, sialnya hari ini aku diantar, jadi aku harus menunggu Mang Ujang menjemputku. Aku tidak suka menunggu. Kamu juga tidak suka, kan, Bal? Tapi sekarang kenapa kamu membuatku menunggu. Entah menunggu apa.

Lagi-lagi ingatan itu muncul. Kepekaanku mulai berlebihan lagi. Tak kusadari samudra meluap melalui air mataku.

Tiba-tiba Dimas menepuk bahuku, "Fah, lagi nunggu dijemput ya? Saya temani kamu, ya." Menyadari keberadaan Dimas, aku langsung menyeka air samudra di mataku.
"Iya nih. Sebenernya aku enggak suka diantar, tapi tadi pagi hujan, jadi terpaksa, deh," jawabku. Untung suaraku tak terdengar barusan menangis -- batinku.
"Kenapa kamu suka naik sepeda? Apakah kamu pernah juara lomba sepeda hias?" tanya Dimas penasaran.
Mendengar pertanyaannya itu, tentu saja aku tertawa, "Hahaha, ada-ada aja dugaanmu, Dim."
Ia menatapku keheranan, "Lalu apa? Bukannya kebanyakan perempuan malas naik sepeda dengan berbagai alasan. Mulai dari panas, capek, membuat bedaknya luntur, dan segala alasan kompleksnya." Lagi-lagi aku tertawa. "Aku enggak kaya mereka sih, untungnya," tawaku terhenti.

Teringat apa alasanku sangat suka bersepeda. Karena kamu, Bal. Aku menarik nafas dan mulai bercerita, "Jadi aku itu suka bersepeda soalnya...," kalimatku terhenti karena bunyi klakson mobil di depan kami.

Yes, Mang Ujang sudah menjemputku-batinku. Aku segera berpamitan dengan Dimas, daripada aku harus bercerita tentang hal itu lagi. "Aku pulang dulu ya, Dim. Daahh," pamitku pada Dimas. Dimas tersenyum dan melambaikan tangannya ke arahku. Untung saja Mang Ujang datang tepat waktu—batinku.

HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang