Iqbal membawaku ke taman di dekat sekolah seiring dengan hujan yang mulai reda. Memunculkan semburat cahaya senja yang elok. Cuaca itu perlahan membuat emosiku sedikit mereda.
Kami duduk di sebuah bangku taman berwarna biru muda dengan kanopi berwarna senada. Beberapa bulir air masih berada disana. Mencipta sejuk. Dingin lebih tepatnya - karena kami masih saling membisu.
"Mama bohong tentang itu semua," ucapnya memulai pembicaraan, seolah tau apa yang inginku tanyakan.
"Kenapa harus gitu?"
"Entahlah. Mama suka melakukan sesuatu tanpa alasan yang jelas atau mungkin memang aku yang belum tau apa alasannya. Termasuk kebohongannya saat itu, Fah," ucapnya sambil menghela nafas, "aku sempat pergi, tapi sekarang aku udah pulang. Aku tak akan lupa pulang ke rumahku, yaitu kamu, Fah."
Aku hanya diam. Jawabannya sama sekali tidak menjelaskan. Tapi cukup menenangkan karena ia sudah pulang. Kembali di sini bersamaku.
Tangannya merangkul pundakku. Memberikan keyakinan ia tak akan pergi lagi. Meski begitu, masih saja tersisa ragu di hatiku sendiri. Ketakutan lebih tepatnya. Takut kehilangan seseorang.
.
.
."Assalamu'alaikum, Bun," ucapku sambil mencium tangan bunda.
"Wa'alaikumsalam, Sa. Di luar kaya ada temen kamu. Siapa?" Tanya bunda.
Dia berjalan menghampiri bunda. Ia berikan senyum manisnya -- menyiratkan kerinduannya pada bunda yang sudah dianggapnya sebagai ibu kandungnya juga. Sontak bunda kaget dan langsung memeluk Iqbal dengan deraian air mata.
"Kemana saja kamu, nak?"
"Ma," ucapku sambil memegang pundak bunda -- memberikan kode pada mama untuk tidak bertanya lebih jauh pada Iqbal untuk saat ini.
Bunda melepaskan pelukannya, "Malam ini kamu tidur di sini ya."
"Siap, Bun," jawabnya kalem dengan senyuman.
Suasana haru biru perlahan berubah menjadi menyenangkan. Ia tak berubah. Masih sama. Riang dan suka bercanda - walaupun guyonannya receh sekali.
Drrt. Ah iya, seharian aku tak mengecek handphone. Dimas!
"Udah pulang? Kamu baik-baik aja, kan?"
"Kalau ada masalah, cerita aja, Fah"
"Besok pagi aku jemput kamu di rumah, ya"Astaga, Dimas.
Karena seharian aku tak mengabarinya, aku jadi merasa bersalah. Yaa walaupun Dimas tidak akan keberatan dengan hal itu. Apalagi dengan kondisiku seperti tadi siang.
"Maaf aku baru bales, Dim. Iya aku udah pulang kok. I'm fine, Dim"
"Besok enggak usah jemput dulu, Dim. Lain kali aja ya?"Sengaja aku tidak mau dijemput karena masih ada Iqbal di rumah. Kupikir saat ini bukan waktu yang tepat untuk menjelaskan ke Dimas. Menunggu waktu yang tepat.
Bagaimana mungkin aku menunggu waktu? Sedangkan waktu tak pernah menoleh ke arahku. Ah sudahlah. Tak apa kali ini.
"Yaudah kalau maunya begitu :p"
"Ihh, apaan. Kok kaya ngambek gitu?"
"Idih, pede banget, mbak. Tidur."
"Okay. Night, Samid :p"
"Nighttoo, mak (:"Malam semakin larut. Setelah balasan terakhir Dimas, aku merilekskan diri sambil menyeruput teh manis di meja ruang tamu.
"Dimas itu siapa kamu?" tanya Iqbal mengagetkanku.
"Uhuk. Uhuk. Astaghfirullah, Iqbal. Sengaja yaa?" ucapku dengan nada kesal.
Melihat aku tersedak, mukanya masih selow, "Nanya doang sih, mbak."
"Nanya enggak usah ngagetin, sam," jawabku berusaha sabar tapi mangkel.
"Siapa?" tanyanya lagi.
Aku menghela nafas dan terpaksa menjawab daripada dia ngoceh, "Dia orang yang duduk di sebelahku, Bal. Temen sekelas -- hanya teman sekelas saja. Tapi ya deket, ehehe."
"Astaghfirullah. Selama aku pergi, kamu udah dapet penggantinya? Tega ya kamu sama papa, Ma," responnya sambil acting sok kaget dan tertindas.
Aku hanya bergidik setengah jijik, "Orang gila."
"Kalau kamu deket sama Dimas, aku gimana dong?" tanyanya sambil menatapku dengan memperlihatkan mata sok berkaca-kaca.
"Gimana apanya ya, mas?" jawabku sewot.
"Bodo ah," ucapnya kesal sambil melempar bantal di sebelahnya ke arahku, "tidur sana!"
"Selow dong, mas. Dede kan enggak bisa dikasarin gituu," jawabku dengan wajah (sok) sedih.
Aku pun beranjak menuju kamarku, begitu pun Iqbal.
Huh. Hari ini terasa berjalan lebih lama. Mungkin karena aku menikmati setiap detiknya. Setiap detik bersamanya - kali ini bukan Dimas, tetapi Iqbal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hilang
Teen FictionMasa SMA-ku mungkin tak berjalan sesuai ekspektasiku. Kau pergi dan aku sendiri. Kau hilang. Tetapi aku harus tetap melanjutkan mimpiku, dengan atau tanpamu.