Hari ini aku berangkat bersama Iqbal. Semoga saja aku tidak berpapasan dengan Dimas.
"Fah, kok sepeda cowoknya enggak ada, sih?" teriak Iqbal dari garasi.
Astaga aku lupa. Sepeda itu masih di rumah Dimas.
"Ee sepedanya masih di rumah Dimas. Waktu itu dia pinjem. Ehehe, aku lupa," jawabku.
"Ini cuma akal-akalan kamu biar diboncengin, kan? Aku tau kamu kangen dibonceng cogan," jawabnya sambil merapikan rambutnya.
Dasar sok ganteng. Tapi emang ganteng sih si Arab ini.
"Udah buruan. Telat nih," teriakku sewot.
Iqbal suka bernyanyi kapan pun, tak terkecuali saat bersepeda. Saat dia bersepeda sambil bernyanyi, pasti aku akan mengganggunya dengan terus memainkan bel di sepedaku. Lalu dia akan jengkel jika aku berbuat seperti itu.
Mengganggunya - itu adalah momen yang paling ku suka dari kebersamaanku dengan Iqbal.
Bahagia itu sederhana. Sesederhana bahagiaku bersamamu. Cukup sekali aku merasakan betapa menyiksanya kehilangan kamu, Bal. Takkan ku lepas lagi. Tak akan.
.
.
Baru beberapa meter meninggalkan gerbang rumahku, Iqbal sudah mulai bernyanyi.I'll hold the door
Please come in and sit here for a while
This is my way of telling you I need you in my life
It's so cold without your touch
I've been dreaming way too much
Can we just turn this into reality
Cause I've been thinking 'bout you lately
Maybe you could save me from this crazy world we live in
And I know we could happen cause you know that I've been feeling you"I know you want me too," sahutku melanjutkan lagunya.
"Kok kamu tau sih, Fah?"
"Apaan? Kan aku cuma ngelanjutin lagunya," jawabku sambil tertawa.
"Yep, I know. But honestly I want you, Fah," jawabnya pelan.
Aku diam. Tersipu dengan kalimatnya barusan. Sebelumnya Iqbal tak pernah membicarakan hal-hal semacam itu. Mungkin di Singapura, ia terkena virus.
"Udah biasa aja. Gak usah malu-malu anjing gitu lah," ucapnya.
"Iiisshh," jawabku sambil mencubit perutnya sekencang mungkin. Sampai-sampai sepeda yang kami tumpangi sedikit oleng karena Iqbal kesakitan.
"Sakiittt, Faaahh. Astaghfirullah harus berapa kali sih dibilangin," jawabnya sambil meringis kesakitan.
"Bodoamat!" jawabku sewot.
Akhirnya kami sampai di sekolah.Perjalanan yang terasa panjang kali ini. Yap, waktu terasa melambat ketika aku bersama Iqbal.
Waktu melambat karena waktu tau aku mencintai setiap detiknya, mencintai setiap milisekonnya, apalagi ketika bersamamu. Bahagia itu sederhana, hanya saja kadang kita merumitkannya.
"Fah!"
Aku menoleh ke arah suara yang memanggilku itu. Ternyata Dimas. Ku hindari malah ia muncul di sini - kaya mantan ae."Bal, kamu bawa sepedanya ke parkiran sendiri ya. Ada perlu sama temen nih," ucapku pada Iqbal.
Iqbal hanya mengacungkan jempolnya sambil berlalu menuju parkiran. Aku menoleh ke arah Dimas. Ia pun tersenyum. Lalu Dimas menuju ke arahku.
"Jadi, kamu gak mau dijemput karena itu?" tanyanya dengan muka datar.
"Iya, Dim," jawabku singkat. Belum berani menjelaskan lebih panjang.
"Gitu aja pakek disembunyiin. Kalau aku tau, kita kan bisa sepedaan bertiga," ucapnya santai.
Kok gak marah sih? Elah, kurang drama nih.
"Yaudah deh. Lain kali aja yaa, Dim," jawabku, "atau lusa aja? Pas CFD. Gimana?"
"Boleh tuh," jawabnya antusias.Okay. I wish nothing bad will happen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hilang
JugendliteraturMasa SMA-ku mungkin tak berjalan sesuai ekspektasiku. Kau pergi dan aku sendiri. Kau hilang. Tetapi aku harus tetap melanjutkan mimpiku, dengan atau tanpamu.