Always There

87 14 0
                                    

"Astaghfirullah, kenapa banku bocor segala nih," aku terkejut setengah menggerutu saat tau ban sepedaku bocor. Bukan karena banku tak pernah bocor, tapi karena ini sudah malam, pasti sulit mencari tukang tambal ban. Apalagi jarak tempat les ke rumah lumayan jauh.

Drrtt. Drrrt

"Sudah pulang?"

"Hei, Annisa Asyifah"

"Sehat, kan? Enggak dibegal mantan, kan?"

"Apaan sih, Dim. Mantan mah udah pernah membegal (hatiku). Sekarang udah dibalikin sih untungnya :v Tapi btw aku belum pulang, banku bocor. Ini masih mau pulang sih"

Lah kok gak dibales sih, masa gitu doing marah sih?

"Tapi btw kan aku enggak punya mantan, Dim :p"

Masih enggak dibales juga. Astaga pasti ketiduran. Memang si Dimas itu paling tidak tahan mengantuk. Kalau tidak ada ulangan, pasti jam delapan ia sudah tidur. Katanya 'tidur itu penting untuk pertumbuhan. Biar tubuhnya sehat, tinggi juga. Gak kaya kamu, pendek. Hahaha'. Dimas selalu mengejekku karena aku pendek. No, aku tidak tinggi, tapi bukan pendek. Whatevr, bro.

Sesudah itu aku pun mulai menuntun sepedaku. Pikiranku menerawang ke masa lalu. Duluu—oke, aku tidak ingin baper lagi. Baper kan di RCTI jam setengah satu siang. Bukan malam-malam di jalanan seperti ini.

Tiba-tiba aku merasa ada orang yang memperhatikanku. Aku berjalan lebih cepat lagi untuk menuntun sepeda.

Bug. Seseorang menepuk bahuku dengan cukup kencang. Spontan aku langsung menjerit dan membaca segala doa yang terlintas di pikiranku kala itu. Bahkan aku mungkin sempat membaca doa sebelum makan.
"Bang, cari kerja lain yang halal aja ya, yang jangan ngerugiin orang. Saya enggak apa-apa deh jadi korban yang terakhir, tapi jangan korban jiwa, apalagi korban PHP. Ambil aja tas saya, bang. Eh tapi jangan, ada bukunya. Ambil aja handphone-nya sama sepedanya enggak apa-apa," teriakku pada seseorang itu.

Aku terus nyerocos sambil menutup mataku karena tak berani melihat kenyataan yang ada. Kenyataan kalau dia sudah mendapatkan seseorang baru di hatinya. Oke, bukan saatnya baper.
"Baper, neng? Enggak, kaan?"
"Aaarrrgh, Dimaasss! Gila ya lu." Aku langsung mencubit perut Dimas dengan sekuat tenaga. Siapa suruh dia berlagak seperti pembegal. Aku tidak memperdulikan ia meringis kesakitan saat itu.

Ia masih meringis kesakitan, "Kamu itu saya temani, malah saya dicubit. Kurang baik apa saya?"

Aku pun hanya diam dan berlalu meninggalkan Dimas. Tapi akhirnya aku berbalik. "Makasih, Dim. Maaf deh. Sakit ya? Atau cuman pura-pura?" tanyaku.

Dia terkejut, "Ha? Pura-pura? Tempura mungkin, mbak. Yaudah enggak apa-apa. Saya antar kamu pulang ya. Bunda kamu ada di dalam mobil kok. Kalau sepedanya dititipin di rumah depan situ saja."

Aku merasa lega, "Yaudah. Makasih banget, Dim. Aku gak nyangka kamu bakalan ke sini."

Dimas tidak menjawabku. Ia menuntun sepedaku ke rumah terdekat. Lalu ia kembali menghampiriku dan mengajakku ke mobilnya. Bunda pasti sudah menunggu.

"Assalamu'alaikum, Bun"
"Wa'alaikumsalam. Lama banget sih, Sa?"
"Iya, Bun. Syifah tadi drama dulu. Dia kira saya abang-abang begal, Bun," sahut Dimas.
Tunggu, dia memanggil bundaku dengan sebutan Bunda. Berani sekali dia.
"Hmm kamu itu ya, kok su'udzon sama orang lain, Sa. Pasti responmu lucu sekali pas ketakutan. Hahaha," ejek bunda.
"Lebih dari lucu, Bun. Menggelikan lebih tepatnya," sahut Dimas (lagi). Bunda dan Dimas pun tertawa bersama. Dan aku, yang anaknya bunda, malah jadi bulan-bulanan guyonan mereka. Ah yasudahlah. Masih untung aku pulang dengan selamat.

***

Setelah kejadian itu dan beberapa kejadian lainnya, aku merasakan sesuatu yang lain kepada Dimas. Aku tidak tau rasa apa yang muncul ketika aku berada di dekat Dimas. Yang pasti bukan cinta. Karena cinta ada di AADC. Sedangkan saya dan Dimas di sini. Entahlah.

Tapi setidaknya ini cukup menyembuhkan 'luka' lamaku setelah ditinggalkan Iqbal. Aku masih ingat bagaimana upaya Dimas untuk menyembuhkanku. Entah sadar atau tidak, semua yang dilakukan Dimas, bagiku adalah obat. Kuharap akan terus begini. Kuharap ini bukan pelarianku.

"Kalaupun aku ini pelarianmu, tak apa. Kau akan ku genggam selalu agar kau tak perlu berlari kemana pun lagi. Tetap disini. Bersamaku, Fah," ucap Dimas beberapa hari lalu. Jawaban yang menenangkan.

***

Bunda mengelus kepalaku, "Nisa, kamu ingat kan hari ini ulang tahun Iqbal? Bunda kangen banget sama dia, Sa". Kalimat itu seolah menghentikan degup jantungku untuk sejenak.

Iya, aku ingat hari ini ulang tahunmu, Bal. Hari ini tanggal tujuh belas Juni, tepat tujuh belas tahun usia kamu, Bal. Katamu dulu, kau akan menyanyikanku lagu kesukaan kita—sepatu—dengan iringan gitar, kan? Mungkin kali ini aku hanya bisa menyanyikannya dengan orang lain, Bal.

Tak ku sadari, air mata bunda sudah mengalir. Aku pun ikut menangis. Segera aku memeluk bunda dan berbisik, "Syifah masih di sini, Bun. Walaupun sudah tidak bersama Iqbal". Kemudian aku melepaskan pelukanku dan memutuskan untuk berangkat sekolah.

***

"Kenapa kamu? Sepertinya mata kamu sembab," tanya Dimas. Aku pun hanya menggelengkan kepalaku. Tapi Dimas tau, pasti ada sesuatu yang ku sembunyikan. Tangannya menggenggam tanganku, "Kalau mau cerita, cerita saja. Jangan dipendam sendiri kaya perasaan". Arrgh, masih bisa dia bercanda? Dasar, alien-batinku.
Tangisku tumpah lagi, "Aku teringat Iqbal, Dim. Hari ini hari ulang tahunnya".

Mungkin orang lain pikir aku egois. Mana mungkin aku menangisi laki-laki lain di hadapan seseorang yang menyayangiku. Tapi Dimas lain, dia mau menjadi pendengar yang baik untuk semua yang aku bicarakan padanya.

Ia terdengar mengambil nafas berat dan tidak menjawab apapun. Tapi genggaman tangannya yang semakin kuat, sudah cukup untuk menguatkanku.

Aku memang sudah bercerita tentang Iqbal kepada Dimas. Karena aku pikir itu bukanlah hal yang perlu ditutup-tutupi. Apalagi aku juga sudah cukup dekat dengannya.

Bel masuk pun terdengar. Segera aku menyeka air mataku dan bersiap untuk menerima pelajaran. Dimas masih di sampingku, berbisik, "Sekalipun dia tidak ada, aku masih ada di sini. Tenang saja". Aku tersenyum dan tak menjawab apa-apa.

Aku yang masih menunduk,setengah terkejut ketika ternyata Bu Asri yang masuk kelasku. Astaga. Tamat riwayatku.

HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang