----FYI, ketika Iqbal masuk ke cerita, Syifah sudah naik ke kelas XI. Hahaha, kecepetan ya? Yaudahlah abaikan saja :D Happy reading!----
Untung saja hari ini aku tidak berangkat dengan Iqbal. Jadi aku bisa berangkat dengan tenang. Tanpa dihantui rasa takut untk bertemu siapa pun.
.
."Kantin, yuk!" ucap Iqbal dan Dimas bersamaan. Sontak aku dan Ira saling bertatapan lalu menoleh ke arah mereka berdua.
Daripada timbul kecurigaan, aku pun memutuskan untuk menerima ajakan keduanya dengan membawa Ira untuk menemaniku.
Di kantin sudah cukup ramai. Untung saja masih ada beberapa bangku kosong. Iqbal langsung menarik tanganku ke tempat duduk di sampingnya. Terpaksalah aku duduk di samping Iqbal, di depan Dimas. Sedangkan Ira, juga ikut terpaksa duduk di samping Dimas.
Setelah memesan makan, kami berempat saling diam. Ira - sibuk menikmati siomay-nya; Dimas - sibuk membaca komiknya; Iqbal - sibuk memandangi seisi kantin seperti orang asing. Sedangkan aku memandangi mereka silih berganti sambil menyantap soto dan mengetukkan jari jemariku di meja.
"Lu suka komik ya? Lu punya komiknya Marvel gak?" tanya Iqbal.
Sontak aku mendongakkan kepalaku dengan setengah tersedak. Begitu pun dengan Ira.
"Gue? Ya lumayan sih kalau lagi senggang gue suka baca komik. Tapi yaa koleksi gue gak sebanyak pecinta komik gitu. Kalau komik itu sih gue gak punya, tapi temen gue ada sih punya. Lu mau gue pinjemin ke dia?" jawab Dimas panjang.
Wow. Dari cara Dimas menjawab, ia terlihat sudah sangat akrab dengan Iqbal. Entah itu pertanda baik atau buruk.
"Boleh tuh. Nanti pas istirahat kedua aje gimana?"
"Terserah lu aja."
Iqbal mengangguk-anggukan kepalanya, "Oke."
Semoga aja mereka berdua bisa akrab dan akhirnya bisa menerima penjelasanku nantinya. Tapi atau mungkin mereka malah semakin membenci satu sama lain setelah mendengar penjelasanku? Entahlah.
.
.
"Fah, Iqbal itu siapa lu sih? Kok hari pertama masuk udah saling pelukan sambil nangis gitu?" tanya Ira polos.
Dimas aja gak nanya, kenapa ini malah nanya."Dia itu sahabat lama gue, Ra. Udah lama gak ketemu, jadi kangen gitu deh," jawabku santai. Kuharap Ira tak akan bertanya lebih jauh lagi.
"Oh gitu ya. Rasanya jauh-jauhan sama sahabat tuh kaya gimana sih?"
"Seru. Haha. Kan ada kangen-kangen unyu gitu, Ra," jawabku (sok) tegar.
Yah masih mending cuma jauh. Lah ini kan dia diberitakan meninggal dan aku enggak tau jasadnya. Sakitnya berlipat-lipat.Andai ketika seseorang akan meninggalkan kita ada alarmnya, pasti tidak akan ada namanya sakitnya ditinggalkan - berkurang lah setidaknya. Yah setidaknya juga kita tidak ditinggalkan diam-diam. Percayalah rasa yang diam-diam itu pasti sakit. Seperti aku yang mencintai diam-diam dan akhirnya harus ditinggalkan diam-diam.
"Kok malah bengong sih, Fa? Kesannya cuma gitu doang?" Tanya Ira.
"Daripada nanya-nanya terus, coba rasain sendiri deh, Ra. Jauh-jauhan itu rasanya kaya tahu bulat digoreng dadakan - gurih-gurih nyooii. Enaak!" jawabku sambil tertawa.
Ira langsung menggebrak meja, "Dasaar - gak jadi deh. Astaghfirullah, aku mah sabar, Fah."
Aku hanya tertawa sambil berlalu meninggalkan Ira."Kaki kamu udah mendingan? Sudah dibawa ke rumah sakit, kan?"
"Udah kok, kak. Yaa lumayan lah rasa sakitnya, hehe."
"Yaudah. Lain kali kamu ati-ati ya. Nanti biar aku yang nganterin kamu pulang."
"Siap, kak. Nanti aku tunggu di depan gerbang aja ya?"
"Oke."Dimas pov
"Yaudah. Lain kali kamu ati-ati ya. Nanti biar aku yang nganterin kamu pulang."
"Siap, kak. Nanti aku tunggu di depan gerbang aja ya?"
"Oke."Beberapa hari lalu, aku menyerempet seorang gadis yang ternyata adik kelasku. Dia bernama Caca - ya gadis yang barusan ngobrol denganku. Lukanya lumayan parah, jadi aku pikir aku harus bertanggung jawab sampai kakinya sembuh.
Caca sudah berjalan menuju ke kelasnya, sedangkan aku memutuskan pergi ke kantin. Aku menoleh ke kanan ke arah kelasku.
Tak sengaja aku melihat perempuan ber-sweater merah muda berjalan menuju kelasku. Sweater yang ia pakai sekilas mirip dengan milik Syifah. Tapi mungkin itu orang lain.
>>------------------------<<
Aku membalikkan badan kembali ke kelas. Mengabaikan apa yang dibelakangku. Mengabaikan apa yang kulihat dan kudengar tadi. Anggap saja tadi itu tidak pernah terjadi.
Kalau aku mengabaikan perasaan Dimas ketika melihatku bersama Iqbal, seharusnya aku juga siap diabaikan. Bukankah begitu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hilang
Teen FictionMasa SMA-ku mungkin tak berjalan sesuai ekspektasiku. Kau pergi dan aku sendiri. Kau hilang. Tetapi aku harus tetap melanjutkan mimpiku, dengan atau tanpamu.