-A-

85 9 1
                                    

Rintik hujan berirama gaduh di atas atap. Langit mulai menghitam. Lampu-lampu di sekitar koridor menciptakan longlongan cahaya membentuk suatu barisan rapi dan teratur. Bani menoleh ke arah turunnya hujan. Mengencangkan tali mantel hujan yang membelit pinggangnya. Bergidik, lalu bersiap keluar.

Di luar perpustakaan, tampak seorang siswi dengan tinggi sekitar 160 cm berambut lurus sebahu dengan kuciran tunggalnya membelakangi Bani. Berseragam sama seperti dirinya dengan kaos kaki putih di bawah lutut serta sepatu hitam pantofel khas anak SMA. Bergantian memandang langit yang muram dan jam tangan led-nya. Mengehentak-hentakkan kakinya tak sabaran seakan menyalahkan langit mengapa hujan turun di saat yang tidak tepat. Bani menghela nafas pendek, lalu melangkahkan kakinya.

Siswi itu menyerah. Mungkin ia akan tetap terjebak di antara derasnya air mata bumi yang berjatuhan hari ini. Ia benci kehujanan. Namun anehnya, ia sangat suka gerimis. Ia akan betah berlama-lama menengadahkan tangannya saat rintikan gerimis itu mulai membasahi telapak tangannya. Namun hari ini berbeda. Hari ini tidak ada gerimis. Yang ada hanya hujan lebat yang sejak dua atau tiga jam yang lalu tak kunjung reda.

Sari, siswi itu, melirik lagi jam tangan hitam di tangan kanannya. Sudah hampir jam enam sore, dan ia masih terjebak di sekolah. Tiba-tiba ia mendengar derap langkah seseorang yang terdengar semakin keras di belakangnya. Sari menutup matanya dan mendengarkan derapan itu dengan seksama, kemudian ia menyadari derapan langkah itu mulai terhenti. Sari menggigit bibir bawahnya-kebiasaan buruk-dan menoleh ke arah seseorang di sampingnya. Sari hampir saja melompat kaget melihat seseorang bertudung mantel tebal berwarna hitam itu berdiri di sampingnya. Merasa sedang di perhatikan -orang itu berdeham pelan kemudian membuka tudung mantelnya. Ia kemudian balas menatap seseorang di sampingnya.

Sari mengigit bibirnya lagi, ia menertawakan pikiran bodohnya sendiri. Ia kira orang dibelakangnya tadi adalah seorang penjahat. Namun setelah diteliti, cowok itu berseragam sama dengannya. Hanya saja-Sari beralasan-tudung hitam yang identik dengan penjahat itu yang membuatnya salah paham. Ia tidak mau menyalahkan diri sendiri sepenuhnya.

Sari kemudian memaksakan sebuah senyuman dan sedikit menganggukkan kepalanya hanya sekedar untuk beramah-tamah saat orang itu menatapnya bingung. Orang itupun semakin bingung dan mulai mengangkat kedua ujung bibirnya sedikit ke atas.

Mereka berdua hanya saling diam. Memperhatikan rintikan hujan yang membasahi bumi. Terhanyut dengan pikiran masing-masing.

"Mm," suara Sari memecah dendang hujan.

Orang di sampingnya diam saja. Ia tidak bergerak sedikitpun. Matanya menatap tajam ke arah depan. Masih memperhatikan derasnya air mata alam senja itu. Orang itu bertingkah bagai seorang yang tuli, walau Sari tak tahu apa orang di sampingnya benar-benar tuli. "Permisi," ujar Sari.

Bani terdiam, lalu menoleh pelan menyusuri sosok di depannya dari bawah hingga atas. Dengan tatapan yang Sari sendiri tidak tahu artinya. Sari menelan ludahnya keras-keras. Berbicara dengan orang ini benar-benar seperti berbicara dengan sebuah batu. Sari masih kesal namun kemudian perhatiannya teralihkan pada benda hitam polos yang tengah digenggam tangan kanan Bani. Kemudian berdeham samar, "Mm, apa kamu pulang melewati halte di dekat sekolah?" katanya, namun yang ditanya tidak memberikan reaksi apapun, "Hei?"

Bani menghela nafas lelah, lantas mau tak mau memperhatikan iris mata kecokelatan milik anak itu. Bani tersentak. Ia pernah melihat cewek ini.

Sari mendengus sambil menyipitkan kedua matanya, "Ck. Bahkan kamu gak nanggepin ucapan aku." serunya kepalang kesal. "Aku cuma-"

"Kenapa?" akhirnya sebuah suara keluar dari mulut orang itu.

"Aku gak bawa payung." seru Sari malu-malu.

Tomorrow GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang