-D-

44 7 1
                                    


"Namanya Kak Bani. XII IPA 1." Nabil berbicara tanpa diminta.
Oh. Mendengar itu, Sari hanya membisu. Apa ini? Ada gerakan aneh di hatinya. Entah apa.

Itu yang namanya Kak Bani. Sari menatap meja di depannya dengan tatapan tak tertebak di matanya. Itu toh sosok yang selalu dielu-elukan di sekolah ini. Itu toh sosok kapten tim basket yang tidak banyak bicara ini. Itu toh. Hm. Sari menarik nafasnya berat.

"Hmm," Sari bergumam, "Kak Bani." ujarnya sambil berlalu menuju deretan buku di pojok perpustakaan. Meninggalkan Nabil dengan sejuta pertanyaan yang berkecamuk di kepalanya.

Aku kenapa, sih. Sari menggigit bibir bawahnya kesal. Tak sadar ia sudah menyusuri beberapa barisan lemari berisi berbagai macam buku dengan genre yang berbeda. Telunjuknya menyusuri deretan lemari tersebut dengan gerakan yang berkelok-kelok. Sari baru menyadari bagaimana lemari buku itu sangat kotor, dan ia mulai meniupkan debu yang menempel di tangannya itu dengan sembarangan. Membuat seseorang yang tidak di sadari berada di depannya terbatuk-batuk.

"Gue alergi debu." ucap cowok itu singkat, menatap Sari lurus di kedua matanya, yang ternyata membuat si pelaku peniup debu itu mematung, kaget setengah mati. "Jangan niup-niup debu sembarangan." tambahnya lagi.

Sari tambah mematung. Ia tidak menjawab. Dia terlihat sangat kaget. Suhu badannya memanas. Ia gugup segugup-gugupnya orang gugup. Ia ingin segera lari. Apalagi mengingat kelakuannya saat bertemu pertama kali dengan kakak kelas itu di depan perpustakaan sekolah dulu . Cara dia meminta payung dan menyebut ojek payung pada si orang nomor satu itu sangat kelewatan.

Sari mengigit bibir bawah dan gertakan dari giginya mulai mengganggu pendengaran Bani. Bani yang sedang memilah buku-buku itu mau tak mau menoleh dan menahan senyuman geli. Ketika sadar sedang diperhatikan, Sari menutup mulut untuk mengehentikan gertakan giginya. Ia makin frustasi saat melihat cowok itu tersenyum tertahan-yang membuat kadar kegantengannya meningkat menurut Sari-di hadapannya. Jantungnya berdetak tak sabaran. Bahkan Sari berspekulasi bahwa Bani dapat mendengar detak jantungnya yang mulai tak bisa diajak kompromi.

Sari menurunkan tangan, berniat untuk menyelesaikan urusan dengan kakak kelas ini. Ia tidak mau dicap sebagai murid baru yang telah berbuat tidak sopan terhadap kakak kelasnya-apalagi terhadap si orang nomor satu.

Lidah Sari berkata maju, namun mulutnya berkata jangan. Ia masih perang batin dengan diri sendiri. Bibirnya kelu dan tangannya bergetar. Ia ingin meminta maaf. Meyakinkan diri bahwa urusannya akan selesai setelah kata maaf terlontar dari mulutnya. Namun mulutnya malah tidak sesuai dengan hatinya. Mulut itu mengkhianati dia.

"Jangan senyum!" -keluar dari mulutnya sebagai ganti dari permintaan maaf. Sari membekap mulutnya lagi, matanya melotot kaget menatap mata Bani, pipinya sudah pasti memerah kali ini. "Issh!" makinya pada diri sendiri. Bodoh. Bodoh banget sih. Ia lari. Lari terbirit-birit.

Bani hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak sadar ia malah tersenyum melihat tingkah konyol anak itu. Ia tahu bahwa cewek itu tidak bermaksud berkata seperti itu. Apalagi setelah melihatnya kaget setengah mati dan kemudian lari terbirit-birit. Bani tertawa lagi di dalam hati. Namun tiba-tiba ia menghentikan tawa dan menggaruk lehernya yang tidak gatal. Gue kenapa, sih.

Bani merasa pikirannya terganggu oleh sosok itu sejak seminggu belakangan ini. Dia manis, akunya. Bani mengagumi rambutnya yang hitam sebahu dan selalu di kuncir tunggal itu. Bani suka bagaimana Sari menggigit bibirnya ketika mereka pertama kali bertemu. Bani juga suka cara Sari menyapa petugas perpustakaan mereka. Sari mungkin tidak spesial. Cewek itu terlihat seperti kebanyakan gadis SMA yang sering ditemuinya di sekolah. Namun ada sesuatu hal yang membuat Bani penasaran padanya. Hal yang diutarakan Sari di senja berhujan kala itu. Lebih tepatnya ia ingin mengetahui, luka apa yang membekas di hati Sari beriringan dengan turunnya hujan saat dulu.

Cewek itu membuat Bani betah berlama-lama di pepustakaan sekolah. Sebelum bertemu dengannya di depan perpustakaan tiga hari yang lalu, dengan hujan deras saat itu, Bani dapat melihat sorot kedua mata di depannya yang memandangnya kesal. Pikirannya sudah terkontaminasi saat itu juga. Apalagi saat mereka berjalan di bawah payung-berdua dengan dendang hujan menemani kebisuan diantara keduanya. Tiba-tiba gadis itu berkata, "Aku nggak suka hujan. Tapi aku suka gerimis." Bani memandang cewek di sebelahnya heran, namun ia hanya mengangkat bahu.

"Hm," Bani menggumam.

"Dulu, aku sangat suka hujan. Tapi, tiba-tiba aku mempunyai kenangan yang buruk tentang hujan." dia berkata, dengan nada yang melemah, "Aku ingin melupakan kenangan itu-meskipun aku bukan pengingat yang baik." ucap Sari tersenyum. Bani dapat melihat senyuman itu dalam remang lampu jalanan yang kemerah-merahan. Sebuah senyuman, putus asa?

"Terus, kenapa lo jadi suka gerimis?" Bani bertanya -pada akhirnya.

"Karena aku terlalu suka hujan."

Singkat. Padat. Jelas. Dan itu membuat Bani berpikir sepersekian detik lebih lama dari biasanya. Ia ingin bertanya apa arti kalimat itu, namun ia tahu cewek di sampingnya-semua orang-tidak ingin membahas apapun yang menjadi kenangan buruk bagi mereka. Ia menyerah, dan memilih diam. Membungkam pertanyaan yang terus berlarian di otaknya.

Hingga akhirnya mereka sampai di halte dekat sekolah. Dan percakapan itu berakhir. Bani janji akan menanyakan kalimatnya pada Sari suatu hari.
Oh ya, pernah saat itu juga Bani melihat Sari duduk di pojokan perpustakaan. Dia hampir bertanya saat ia melihat Sari menangis untuk pertama kalinya, memegang sebuah buku di tangan kirinya dan memegang sebuah tisu di tangan kanannya.

Lalu, Bani melihat buku yang dibaca Sari ketika cewek itu pergi, dan menyadari bahwa Sari menangis karena buku itu. Dan Bani tertarik dengan hanya melihat cover buku dan sinopsisnya-lalu ia membawa buku itu ke meja penjaga perpustakaan. Ia hendak meminjam buku bercover bertuliskan "Brida" itu.
Bani tersadar dari lamunannya. "Bodoh. Gue gak tau nama dia siapa." ia meratuki kebodohan dirinya sendiri.

Tomorrow GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang