-C-

48 6 1
                                    

Bel istirahat berbunyi nyaring seperti biasanya di hari itu. Semua penghuni sekolah itu mulai berhamburan ke seluruh sudut di sekolah. Namun, saat-saat istirahat seperti ini tempat yang paling didominasi oleh siswa-siswi di sana adalah kantin sekolah.

Begitu pula dengan anak-anak kelas 11 IPA 2 sebagian dari mereka mulai berhamburan keluar kelas. Terdengar obrolan-obrolan mereka yang mulai ngaler-ngidul. Ada yang memaki pelajaran sebelumnya–limit di Matematika–yang mereka ingin ketahui untuk apa aplikasi pelajaran tersebut di kehidupan nyata. Ada juga yang berbondong-bondong menuju gerai kantin sekolah, mereka bergosip ingin mencoba batagor baru yang katanya promo beli dua gratis satu buatan Mang Ucup–yang sebelumnya berdagang sebagai tukang baso.

Namun beberapa dari mereka ada juga yang terlihat tidak keluar kelas. Termasuk Sari dan beberapa temannya. Cewek berjumlah lima orang itu sedang berkumpul melingkar layaknya sedang mengadakan suatu konferensi.

"Lah kok lo bisa masuk, Sar?"

"Heeh kok bisa masuk, sih?"

"Beruntung banget lo, Sar. Gila dah."

Pertanyaan-pertanyaan itu yang umumnya dilontarkan teman-teman sekelas Sari.
Apalagi Alya-murid terbadai di sekolah mereka menurut dirinya sendiri-berceloteh berapi-api. "Gila, ya Sar. Seumur-umur gue sekolah di sini. Belom ada deh keajaiban kayak yang lo alamin." Sari hanya cengengesan tak jelas mendengar celoteh teman-temannya itu.
"Siapa sih yang bantu lo? Ajaib banget deh." akhirnya pertanyaan berbeda terluncur dari teman di sebelah Sari-Nabil-bertanya dengan alis yang berkerut.

"Gak tau." jawab Sari pendek.

Ia memang tak tahu menahu asal-usul cowok yang ditemuinya sejak dua hari kebelakang itu. Yang ia tahu ia memiliki postur tubuh yang tegap dan berahang kuat. Tingginya sekitar 175 cm. Kulitnya tidak terlalu putih ataupun gelap, khas kulit Indonesia. Sorot matanya tajam, ia ingat saat cowok itu menatapnya ketika hujan di depan perpustakaan. Oh, ya. Matanya berwarna hitam kecokelatan, berbeda dengan rambutnya yang bewarna hitam pekat. Sari tersentak. Bukankah ia terlalu mengingat bagaimana rupa cowok itu?

Sari hanya menggeleng-gelengkan kepalanya pelan, ia bangkit dari kursinya dan bergegas keluar kelas.

"Mau ke mana, Sar?" terdengar suara Nabil dari arah belakang.

"Perpus."

"Ah payah lo, Sari" seru Gaby kecewa. Sari hanya nyengir dan melanjutkan langkah kakinya.

"Ikut dong." Nabil akhirnya mengikuti Sari dan mulai menggandeng tangan kiri Sari yang membuat si empunya lengan itu tersenyum.

"Bulan depan ada konser musik klasik di Jakarta, Bil!" seru Sari bersemangat sambil terus meng-scroll layar handphone nya di salah satu meja di perpustakaan. "Harus nonton nih."

Nabil hanya memutar bola matanya sambil membolak-balikkan sebuah novel John Green di depannya. Tidak akan ada habisnya jika Sari mulai berceloteh tentang musik klasik.

"Nonton, yuk?" Sari nyengir, menyenggol bahu Nabil pelan.

Nabil menghembuskan nafasnya, "Gue gak suka musik klasik, Sariii. Gue sukanya kpop."

Tetapi menurut Sari, seraya menyodorkan handphonenya pada Nabil, "Musik klasik sama kpop gak ada bedanya kali, Bil. Mereka sama-sama musik kok. Nanti ya, kalo kamu nonton sekali aja konsernya, aku jamin ketagihan deh."

Dahi Nabil berkerut dalam saat membaca artikel itu, lalu berkerut sangat dalam pada Sari, lalu ke salah satu ujung perpustakaan. Sari terlalu sibuk membaca ulang artikel itu dan mengecek kembali tanggal yang sesuai sehingga tak menyadari seseorang dengan headphone yang tersemat di lehernya duduk di ujung tatapan tajam Nabil. Seseorang yang menyembunyikan senyum tertarik di balik sebuah buku.

Nabil terdiam. Bukan, bukan karena cowok itu melihat ke arahnya. Namun sebaliknya, kenapa ia menatap Sari dengan tatapan seperti itu? Nabil mengusap lengannya kemudian melihat lagi ke ujung perpustakaan tempat cowok tadi duduk, dahi Nabil kembali berkerut ketika seseorang di sana telah tiada.

"Sar, lo kenal salah satu cowok di sekolah ini?" Nabil akhirnya bertanya, matanya lurus menatap manik mata Sari.

Sari berpikir, kemudian meletakkan handphone-nya di atas meja dan mulai melihat Nabil. "Iya lah." jawabnya keheranan, "Di kelas kita kan banyak cowoknya juga."

Nabil menggeleng seraya mengacak-acak rambutnya frustasi, "Bukan, maksud gue cowok–" ucapan Nabil terhenti ketika Sari memandang ke arah lain, bukan ke arahnya. Nabil mengikuti arah tatapan Sari, dan betapa terkejutnya ia mendapati bahwa seseorang yang sedang Sari lihat di balik kelopak matanya adalah orang yang sama yang menatapnya dengan pandangan tajam tadi. Namun bedanya, si empunya mata tajam itu sedang berdiri menyenderkan kepalanya di salah satu ujung perpustakaan yang lain dengan headphone terpasang sempurna di telinganya. Ia dapat melihat bahwa Sari mulai memamah bibirnya dan terpaku.

"Kenapa, Sar?" ujar Nabil meyakinkan.

"Itu–" Sari terhenti, "cowok yang nolongin aku tadi–" Sari berhenti lagi, "pas masuk kelas." akhirnya ia menyelesaikan kalimatnya. Menahan degup di dadanya yang entah kenapa mulai berlari kencang.

Gila. Ujar Nabil dalam hati. Si "orang nomor satu" yang terkenal tidak banyak bicara namun memiliki kharisma luar biasa itu membantu sahabatnya? Sari?

Namun Sari tiba-tiba tersenyum tak jelas. Mengingat kejadian sebelum masuk kelas Fisika tadi pagi. Dengan iseng ia memperhatikan si sosok bermata tajam–kalau Sari menyebutnya–dari kejauhan.

Keasyikan menatap sosok bermata tajam itu sambil sesekali nyengir tak jelas, Sari tak sadar Nabil telah lama memperhatikannya dengan keheranan. "Kenapa dilihatin terus?" ujar Nabil geli, mengikuti busur mata Sari yang kini telah berubah arah.

Sari melotot dan menggigit bibir bawahnya kemudian mengalihkan pandangannya. "Nggak lah. Siapa juga." jawab Sari ngaco, yang membuat Nabil senyum-senyum sendiri.

Bani merasa seseorang sedang memperhatikannya. Ia melirik ke arah sosok yang memperhatikannya. Cewek itu terkejut dan cepat mengalihkan pandangannya ke arah teman di depannya. Bani kemudian mengulum senyuman geli. Entah kenapa merasa terhibur dengan reaksi cewek itu.

Bani berdiri tegap. Melepaskan headphone-nya dan menempatkan benda itu di leher lagi. Menerawang ke arah jendela, dan mendapati matahari sedang terik-teriknya. Kemudian melangkahkan kakinya keluar dari perpustakaan.

Sari yang kembali menatap cowok itu, memperhatikan gerak-geriknya dari kejauhan sebelum akhirnya meninggalkan perpustakaan. Nabil menajamkan matanya. Bergantian menatap Sari, lalu menatap punggung Bani yang kini telah menghilang. Ada yang aneh. Batinnya dalam hati.

"Namanya Kak Bani. XII IPA 1." Nabil berbicara tanpa diminta.

Tomorrow GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang