Guru terakhir yang mengajar di kelas Sari beralasan tidak hadir hari ini. Merupakan suatu euforia yang harus dirayakan oleh anak-anak kelasnya karena demi apapun mata pelajaran yang diajarkan guru itu sangat membosankan. Cara beliau mengajar yang hanya berdasarkan textbook—yang mungkin gayanya memang seperti itu—membuat para siswa seperti dinina bobokan. Sehingga ketika beliau tidak ada, bermacam selebrasi dilakukan para siswa tersebut. Ada yang dengan santainya keluar masuk kelas tanpa memperdulikan guru yang berlalu-lalang, ada yang sekedar diam di meja untuk mengerjakan tugas yang ditinggalkan guru piket, ada yang tidur berjamaah di pojokan kelas, dan seabreg aktivitas melenceng lainnya yang dilakukan murid-murid itu.
Sari menempatkan posisi kepalanya miring ke kiri di atas tumpuan kedua tangannya yang bersedekap. Matanya terpejam. Raut wajah lelah terlihat di kedua lingkaran mata Sari yang menghitam. Nabil hanya mengangkat kedua alisnya sambil geleng-geleng kepala ketika tiba-tiba Sari terbangun dari tidurnya.
"Ih! Berisik banget deh." omel Sari pada teman-temannya yang dapat ditebak tidak mengindahkan perkataannya dan melanjutkan kegiatan masing-masing seperti tidak terjadi apa-apa.
Sari menghela nafasnya kesal. Dan mulai bangkit dari mejanya.
"Mau kemana?" tanya sebuah suara membuatnya menolehkan kepalanya ke arah kanan.
"Perpus. Mau tidur." Sari melanjutkan langkahnya. Matanya masih terlihat seperti orang tidak tidur selama beberapa hari. Matanya memang tidak mau diajak kompromi hari ini. Bahkan ketika jam pelajaran tadi adalah Matematika pun, Sari tidak dapat menyerap pelajaran karena kantuknya.
Ia sampai di perpustakaan. Kakinya otomatis membawa dia ke arah pojokan perpustakaan—tempat favorit Sari. Tempat itu benar-benar nyaman untuk dijadikan tempat persembunyian dan tempat melepas kantuknya (re : tidur).
Namun ketika dari kejauhan, ia melihat pojok perpustakaan itu telah diisi seseorang. Sari menggaruk kepalanya kesal. Moodnya hari ini benar-benar buruk. Ia berjalan lagi dan akhirnya menempati meja ketiga yang kosong di barisan pojok perpustakaan itu. Terhalang satu meja dengan tempat favoritnya. Tanpa basa-basi, ia merebahkan kepalanya di atas meja. Dengan posisi yang sama seperti dilakukannya di kelas tadi.
Bani memandang kertas yang penuh dengan tulisan itu dengan puas. Selesai juga, batinnya gembira. Ia merentangkan kedua tangannya ke arah depan dan menggerakkan kepalanya ke arah kiri dan kanan. Badannya sangat pegal setelah hampir dua jam yang lalu ia duduk dengan posisi sama sambil menulis mengerjakan tugasnya.
Guru terakhir yang mengajarnya tidak masuk ke kelas, padahal jelas-jelas ketika tadi ia mengantar Radifan ke ruang guru ia mendapati Pak Syamsul—guru Sejarahnya itu sedang berbincang-bincang dengan wali kelas mereka. Menyebalkannya, beliau memberi tugas yang tidak kalah banyak dengan laporan penelitian yang Bani kerjakan semalam suntuk. Dan yang lebih menyebalkan lagi, bahwa tugas itu harus dikumpulkan hari ini juga.
Bani berdiri setelah merasa badannya mulai membaik. Ia baru saja akan pergi sebelum sorot matanya terpaku melihat seseorang yang akhir-akhir ini menghantui pikirannya. Matanya terpejam. Rambutnya terlihat berantakan—yang anehnya Bani menganggap itu membuat cewek di depannya semakin manis. Bani merasa sangat merindukan wajah itu selama empat hari kebelakang. Ia duduk di kursi sebelah Sari. Melihat wajah itu selekat dan sepuas yang ia bisa. Mencoba mengorek kepahitan apa yang ada dapat diceritakan wajah itu kepadanya.
Bani mendapati bahwa jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Matanya masih tak berpaling dari wajah terlelap itu. Ia suka bagaimana rambut Sari yang terurai menutupi sebagian atas wajahnya. Hatinya yang tak karuan beberapa hari ini seakan terbayarkan hanya dengan melihat sosok dengan kedua buah mata terpejam in. Bani tersenyum. Memperhatikan setiap lekuk wajah cewek itu lama sekali. Tangannya tak sabar ingin memainkan rambut yang terlihat halus itu. Namun ia ragu dan menarik tangannya kembali dari rambut cewek itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Girl
Teen FictionPertemuan di depan perpustakaan saat hujan turun itu membuat Bani merasa bahwa semua hal tentang Sari baru tapi akrab, tiba-tiba tapi hangat, entah bagaimana, seperti sesuatu yang mengelakkan pikirannya namun tertanam di lubuk hatinya.