-F-

46 2 0
                                    

Sari dengan malas membuka mata lelahnya saat sinar matahari pagi bersinar langsung menerpa wajahnya. Menjadi hal rutin yang ia benci, bahwa ia harus bangun di awal pagi setiap harinya. Dia melemparkan bantalnya ke arah jendela dimana cahaya silau itu berasal. Sari malas sekolah. Ia kemudian merutuk, mendapati bahwa usahanya menutupi sinar matahari itu sia-sia. Apalagi teriakan kakaknya yang sedari tadi memecah suasana hatinya yang sedang baik di pagi itu.

"Kalo gak keluar, kakak kunci kamu di dalam kamar. Gak boleh sarapan." teriak cewek berumur 20 tahun bernama Adara menyembul dari dalam dapur, mempersiapkan dua buah piring yang sudah diletakkan pisau dan garpu di atasnya. Kemudian bunyi khas dari tempat pemanggang roti mulai menarik perhatian Adara. Ia menyudahi pekerjaannya memotong brokoli, lalu mengambil piring tadi dan menempatkan total dua buah roti ke dalam masing-masing piring.

"Terserah." tanggap Sari tak acuh. Tapi kata-kata sarapan memenuhi hampir tiga perempat bagian dari otaknya. Ia menenangkan sejenak cacing-cacing di perutnya yang mulai meronta meminta makan. Namun ia kalah, kemudian berjalan dengan gontai ke arah ruang makan yang mulai menimbulkan bau roti panggang dengan selai cokelat keju favoritnya.

Adara menyadari keberadaan Sari, kemudian fokus lagi ke arah roti panggang terakhir yang sedang ia beri selai. "Mandi dulu. Kalo enggak, gak boleh sarapan."

Tangan nakal Sari mencoba mengambil sepasang roti berselai itu dari salah satu piring, yang kemudian terkena sentilan tangan Adara yang langsung disambut ringisan Sari. "Kenapa sih, Kak? Aku mau sarapan." protes Sari.

"Mandi dulu. Atau gak ada sarapan." tegas Adara lagi.

Sari menyerah. Ia hanya menghembuskan nafas kesal dan mulai melangkah ke arah kamar mandi. Kenapa kakaknya tidak mau mengerti bahwa Sari masih pusing sepulang perjalanannya kemarin dari Semarang. Tapi Sari berpikir lagi, nego dengan Adara takkan ada habisnya.

Setelah mandi, Sari kemudian bersiap-siap. Memandang lelah seragam putih abunya yang bewarna sama dengan dasi yang dipakainya. Menyisir rambut hitamnya menggunakan kedua tangan, dengan tangan kanannya memegang sebuah ikat rambut hitam senada dengan warna rambutnya. Sari mengikat satu rambutnya seperti biasa. Lalu ia mencari kaos kaki putih baru di sebuah lemari kayu yang setelah didapat langsung dipakainya bersamaan dengan dikenakannya sepatu pantofel hitam miliknya. Sudah siap. Gumamnya puas. Ia kemudian membawa tas ranselnya, menutup pintu kamar, dan bersiap untuk sarapan.

Sarapan adalah salah satu hal yang selalu membuat mood nya bagus di pagi hari. Meskipun kakaknya sangat bawel dan sering mengomentari gaya rambutnya yang begitu-begitu saja, Sari sangat menyukai Kak Adara dalam hal memasak. Maklum, ia hanya tinggal berdua dengan kakak perempuan yang berjarak sekitar empat tahun dengannya itu.

"Apa ini?" Sari megerucutkan dahinya setelah menemukan sebuah kotak beraroma menggoda berisi kue beraneka macam yang Kak Adara biarkan terlepas dari tutupnya.

"Dari tetangga sebelah, ada syukuran katanya."

Sari mengangguk-angguk menganggapi perkataan Adara dan mulai mencicipi satu-persatu kue pemberian dari tetangga barunya itu. Ya, tetangga baru. Karena meskipun Sari murid baru di sekolahnya, bukan berarti rumahnya juga baru. Ia pindah dari sekolah lamanya dikarenakan alasan yang hanya Sari dan Tuhan lah yang tahu.

"Ini enak. Lebih enak dari masakan kakak." ujar Sari yang membuat Adara mencibir pelan.

"Kalo gitu, jangan makan masakan kakak."

"Masakan kakak lebih baik daripada makanan basi." ujar Sari terkekeh sendiri. "Aku berangkat dulu."

"Eh tunggu." Adara tiba-tiba mengahampiri Sari yang langsung menghentikan langkahnya, "Tadi tetangga baru itu bertanya tentang sekolahmu. Sepertinya dia juga bersekolah di sekolah yang sama denganmu. Ajak dia kenalan sebagai tanda terima kasih untuk itu." Kak Adara menunjuk kotak bingkisan itu dengan dagu tirusnya.

Tomorrow GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang