Bani hanya berlalu sambil membawa buku yang sedang dilihat cewek di sebelahnya. Ekspresi kaget cewek itu masih tergambar jelas di ingatannya.
"Dasar ojek payung ngeselin!" seru sebuah suara di belakangnya. Bani menoleh ke belakang. Entah mengapa malah tersenyum kepada cewek itu. Ia kemudian berbalik dan meninggalkan Sari di belakangnya.
Sari menatap punggung cowok ngeselin itu dengan ekspresi tak tertebak. Ia ingin mengejar dan memakinya seperti apa yang selalu ia lakukan. Namun ada suatu dorongan lain yang bisa membuatnya terpaku—senyuman. Entah kenapa, senyuman itu membuatnya tidak bisa berkata-kata.
Rasain. Ujar Bani dalam hati. Ada kepuasan tersendiri setelah mengerjai cewek ngeselin itu. Kini Bani melihatnya sedang berada di ujung kanan perpustakaan. Ia duduk menghadap ke arah yang bisa Bani lihat saat ini. Ekspresinya terlihat gelisah. Cewek itu hanya diam sambil menggigit bibir bawahnya dan memainkan jari-jari tangannya. Kenapa dia? Pikir Bani dalam hati. "Ah, bukan urusan gue juga." ujarnya menaikkan bahu sambil melanjutkan membaca buku hasil rampasannya.
Jantung Sari berdetak lebih cepat daripada biasanya. Ia memainkan jari-jarinya yang mulai membasah. Ia menggigiti bibir bawahnya tanpa tahu penyebab mengapa ia seperti ini. Kemudian ia mengedarkan pandangannya di seluruh sudut perpustakaan dan mendapati seseorang jauh di depannya sedang membuka lembaran-lembaran buku di tangannya. Jantungnya mulai berdetak tak sabaran lagi. Dia, penyebabnya? Mimik Sari terlihat kaget pada dirinya sendiri. "Masa sama senyuman aja aku kalah, sih?" gerutunya pada diri sendiri.
Bel masuk berbunyi keras memekikkan telinga siapapun orang yang mendengarnya. Sari terperanjat dalam lamunannya. Ia melirik ke kanan dan ke kirinya—menyadari tempat itu kini benar-benar kosong—dan ia mulai merutuki dirinya lagi. Apalagi ia mengingat bahwa setelah ini, saatnya guru killer yang terkenal tepat waktu akan masuk mengajar Fisika di kelasnya. Ia semakin tak bersemangat untuk melanjutkan aktivitasnya hari ini, namun ia tetap membereskan buku bawaannya dan bergegas cepat keluar dari perpustakaan.
Ketika ia akan melewati pintu keluar perpustakaan itulah ia melihat seorang cowok sedang melipat kedua tangannya di depan dada sambil menyenderkan badan ke dinding dimana Sari berdiri kemarin. Ketika itu si cowok merasakan kehadirannya dan menatap Sari dengan penuh selidik—dan yang ditatap malah melihatnya kaget dan segera melarikan diri dari tempat kejadian perkara.
"Lah tuh anak kenapa." ujar Bani bingung, menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
***
"Bodoh. Bodoh. Bodoh. Kenapa harus lari sih, Sar." sesal Sari sambil terus mempercepat langkah kakinya ke arah kelas. Ia akan melewati dua kelas dan satu kamar mandi lagi untuk membuatnya sampai ke kelas 11 IPA 2—kelasnya.
Sari sampai di pintu kelas. Pintu kelas itu tertutup rapat dan suasananya sangat hening. Ia semakin gelisah saja. Sari kemudian berjinjit melihat keadaan di dalam kelasnya melalui sebuah jendela yang lebih tinggi dari tinggi tubuhnya, ia makin kaget setelah didapatinya bahwa Bu Ajeng—si guru killer itu terlihat sedang serius mengajar di dalam kelas. Pantas saja semua anak sunyi senyap seperti di kuburan, pikirnya sekenanya. Karena, meskipun ia anak baru di sekolah ini, Nabil telah menceritakan watak guru Fisika mereka itu. Nabil bilang, jika seseorang mengeluarkan suara sekecil apapun, akan selalu ketahuan dan langsung dilemparnya spidol yang digunakannya untuk menulis lalu menyuruh siapapun—yang beliau sebut sebagai pembuat kegaduhan itu keluar kelas. Nabil malah curiga, mungkin saja Bu Ajeng mempunyai indera keenam. "Gimana bisa, ya." ujar Nabil sambil menyeruput jus jambu favoritnya di kantin sekolah suatu hari, "Bu Ajeng ngelemparin spidol tepat ke arah muka si Danu padahal sebelumnya dia ngga lihat kan. Maksud aku Bu Ajeng ngehadap ke depan, dan si Danu di belakang. Aneh aja gitu." Danu—teman sekelas mereka yang memang terkenal bandel seantero sekolah yang berlangganan keluar-masuk ruang BK. Ia memang paling tidak bisa diam saat pelajaran di kelas. Apalagi pelajaran yang sangat membosankan seperti Fisika.
Meskipun Sari orang yang cukup tertutup, tapi Nabil bisa nyaman berteman dengan Sari. Nabil memang anak yang supel dan punya banyak teman. Namun sebenarnya, ia tidak memiliki seseorang yang bisa ia jadikan sahabat untuk berbagi keluh kesah dengannya. Karena, Nabil berpikir terkadang orang-orang hanya penasaran dan bukannya peduli dengan masalahnya. Namun, ketika ia bertemu dan berkenalan dengan Sari, ia ingin mengenal lebih dekat dengan cewek baru itu.
Sari masih berdiam diri di depan kelas sambil menghentak-hentakkan kakinya tak sabaran. Ini pelajaran Fisika pertamanya sejak pindah ke sekolah ini. Ia menimbang-nimbang apakah ia harus bolos saja atau menerobos masuk ke dalam kelas. Ia menimbang-nimbang kembali sikap mana yang akan meminimalisir kesalahannya. Namun otaknya masih riuh. Ia tidak dapat berpikir jernih lagi ketika sebuah suara memecahkan lamunannya, "Telat, ya?"
Sari yang sedang menekuk kepalanya otomatis mendongak dan mendapati Bani sedang menatapnya datar. Bola matanya kembali membulat, dan otaknya mulai berpikir untuk memerintahkan Sari melarikan diri, namun nyatanya ia malah menjawab pertanyaan Bani dengan gugup. "Hah? I..iya."
"Pelajaran apa?"
"Fisika." jawab Sari singkat.
"Mau masuk?" tanyanya lagi
Sari sejenak menatap kedua bola mata cowok di depannya, dan mengangguk. Bani tidak berkata-kata lagi. Yang ada dia mulai mengetuk pintu kelas Sari yang membuat cewek itu bengong. Ia melirik jam tangan yang melingkari tangan kirinya dan langsung menyalahkan perbuatan Bani saat itu juga di dalam hatinya. Ini sudah hampir telat 15 menit—dan tentu saja Bu Ajeng tidak akan membiarkan dia masuk. Sari makin menundukkan kepalanya, tidak berani menatap ke arah pintu kelasnya.
Pintu kelas kemudian terbuka. Dilihatnya perempuan berkacamata berusia sekitar 40 tahunan itu di hadapannya sambil bersedekap dengan muka yang sangat merasa terganggu. Mungkin ia akan menerkam siapa saja yang berani menganggu di jam pelajarannya. Namun, raut wajah killer guru itu berubah menjadi sangat ramah—dan Sari tidak melihatnya— ketika tahu bahwa Bani yang mengetuk pintu kelas tersebut.
"Ada apa, nak?" ujarnya lembut.
Sari yang masih menunduk dengan pikirannya yang kemana-mana tidak mengerti mengapa ia tiba-tiba diperbolehkan masuk kelas tanpa diomeli sedikitpun. Bahkan sampai saat ini ia menyalahkan dirinya sendiri yang terlalu percaya pada rumor bahwa Bu Ajeng se-horror itu. Namun ketika ia melihat raut suram anak-anak di kelas setelah melihatnya masuk, mungkin ia mulai percaya pada rumor kekilleran Bu Ajeng, apalagi setelah melihat bagaimana cara Bu Ajeng mengajar setelah itu. Sari tersenyum tipis ke arah Nabil yang masih bengong dengan keajaiban yang terjadi hari ini.
Apa yang cowok itu lakukan sebenarnya. Hati Sari bertanya penasaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tomorrow Girl
Teen FictionPertemuan di depan perpustakaan saat hujan turun itu membuat Bani merasa bahwa semua hal tentang Sari baru tapi akrab, tiba-tiba tapi hangat, entah bagaimana, seperti sesuatu yang mengelakkan pikirannya namun tertanam di lubuk hatinya.