-H-

45 0 1
                                    

Radifan kembali ke pojok setelah mengantar Nabil sampai pintu depan perpustakaan dan mengambil ponselnya yang tertinggal di dalam tas. Cewek itu masih terlelap, batin Radifan gemas. Ia memperhatikan Sari yang sedang tertidur dengan seksama lalu mengeluarkan ponsel dari saku bawahnya, berniat mengabadikan momen langka itu seperti tujuannya tadi. Radifan mengambil posisi tepat di samping kanan Sari, berpose tersenyum lebar dengan telunjuknya mengarah kepada Sari yang tengah tertidur pulas. Klik! Satu jepretan fotonya dan Sari berhasil didapat dengan sempurna.
Sedang asyik mengecek hasil foto yang baru saja dipotretnya, Radifan tidak menyadari seseorang di sampingnya merenggangkan kedua lengannya sambil menguap lebar. Sari dan Radifan baru menyadari keberadaan masing-masing setelah beberapa detik kemudian kedua pasang mata mereka bertemu. Sari yang masih dengan mulut menguapnya dan Radifan yang masih dengan senyuman jahilnya tiba-tiba memelotot kaget dan berteriak hampir bersamaan. Sari yang memang sudah terlanjur kaget, tak sengaja memundurkan kursi yang didudukinya dengan badannya. Ternyata memang lantai perpustakaan yang tidak rata membuat Sari hampir terjatuh dari kursi. Hampir. Karena saat itu pula tangan Radifan dengan cekatan menangkap tangan Sari. Keduanya sama-sama kaget. Desahan nafas diantara keduanya mulai memburu. Sari memelotot tak mengerti ketika tiba-tiba saja, Radifan malah tersenyum manis di hadapannya tanpa melepaskan pegangan tangan kanan yang memegang dengan sempurna tangan Sari.
Sari buru-buru memperbaiki posisinya. Ia berdiri dan menendang pelan kursi sialan yang hampir membuatnya jatuh tadi. Mereka diam sesaat sebelum akhirnya Radifan memulai percakapan diantara mereka berdua.
"Gak papa?" tanyanya dengan mimik khawatir.
Sari menggeleng kikuk. Mendongakkan kepala, memerhatikan cowok di depannya.
Radifan mengangguk pelan, kemudian teringat dengan posisi ponsel yang masih berada di tangan kirinya. Ia tersenyum jahil. Kemudian memperlihatkan ponsel tanpa keypad itu tepat beberapa senti di hadapan Sari. Sari yang tak mengerti menatap Radifan sebentar kemudian ke arah tatapan jahil Radifan-ke ponselnya. Dan betapa terkejutnya saat Sari mendapati mereka-ya dirinya dan Radifan-di foto itu.
"Apaan sih, Kak?" bentak Sari. Ia tidak suka dengan orang yang sembarangan mengambil fotonya seperti itu. Sari mencoba meraih ponsel di tangan Radifan. Namun si pemilik ponsel lebih gesit daripada Sari. Ia menaikkan posisi ponselnya yang ia yakin tidak dapat dijangkau cewek dengan tinggi hampir sebahunya itu.
"Lo udah tau gue, ya?"
"Kak, siniin deh hp-nya! Jahil banget sih!"
"Tau darimana deh nama gue?" Radifan menggoda Sari lagi yang masih dengan lucunya melompat-lompat berusaha meraih ponselnya.
"KAK!" bentak Sari kesal. Radifan sampai terkejut dan menghentikan senyumnya. Untung perpustakaan sekolah sudah mulai sepi saat itu karena memang sudah lewat waktunya para siswa pulang sekolah.
Sari tersenyum miring. Kemudian meraih ponsel dari si pemiliknya yang sama sekali tidak bergerak sedikitpun. Sari membuka menu gallery di ponsel itu dan menghapus foto tunggalnya dengan Radifan. Sari memperhatikan foto itu sekejap, kemudian buru-buru menekan tombol delete.
Ia kembali menatap Radifan yang masih terdiam. Sari menggaruk kepalanya pelan.
"Kak?" tanya Sari. Yang ditanya masih diam lurus menatapnya.
"Kak?" Sari mencoba lagi, melambaikan tangannya tepat di hadapan muka Radifan," "Halo, Kak?"
Radifan akhirnya mengerjap. Raut wajahnya mulai terlihat suram. "Lo-" ucapnya terbata-bata, "Ngehancurin satu-satunya bukti buat dikasih liat ke Kak Adara," ia menatap Sari makin dalam, "kalo adiknya cuma mau tidur di sekolah. Parah." dan Radifan tertawa seketika, berusaha meledek Sari. Namun Sari tidak mengerti. Ia malah mengerucutkan kening. "Apaan sih, Kak."
Radifan masih tertawa, "Lo sih marah-marah. Gue kaget tau." lanjutnya tidak nyambung. Melihat raut wajah Sari yang menganggapnya gak banget, Radifan berdeham dan menghentikan tawanya. "Tapi serius deh, kenapa lo hapus fotonya."
"Aku jelek di sana."
Radifan tertawa lagi. Dan Sari mengerucutkan kening lagi. Tak sadar seseorang di balik rak buku di samping memperhatikan mereka dengan tatapan tak terbaca.
Bani berjalan bersama keheningan yang menerpanya. Kenapa? Ucapnya dalam hati. Sesuai dengan janjinya tadi ia pergi ke perpustakaan sesaat setelah tugas piket kelasnya selesai. Ia bahkan menolak ajakan Tamara untuk mampir ke rumahnya sekalian mencicipi resep baru mamanya yang memang seorang koki profesional untuk menemui cewek tadi. Namun apa yang ia dapat? Radifan duduk dalam diam memandang cewek yang ingin dirinya lah yang pertama kali dilihatnya saat cewek itu membuka mata tadi.
Kenapa? Kenapa Radifan harus memotret sosok yang membuatnya kelu akhir-akhir ini? Kenapa Radifan harus tersenyum saat cewek itu masih sibuk berkelana dalam mimpinya? Kenapa cewek itu malah memaki Radifan ketika ketahuan memotret dirinya dan Radifan hanya tertawa lepas? Kenapa Radifan beraninya memegang tangan cewek itu ketika ia hampir saja terjatuh? Kenapa? Kenapa Radifan.
Ratusan pertanyaan berbaris di benaknya setelah melihat kejadian di perpustakaan tadi. Dan diiringi langit senja yang berkelabu itu Bani tahu. Ia cemburu.
Radifan dan Sari akhirnya pulang bersama. Mereka berjalan dalam kebisuan. Radifan menengok ke arah Sari yang dengan sibuk menatap jalanan aspal berkerikil jarang yang diinjaknya. Sore itu langit mulai berkabut. Namun Radifan yakin saat tadi ia membaca ramalan cuaca di koran pagi ayahnya bahwa hari ini tidak akan hujan. Radifan bersedekap. Canggung amat sih, gerutunya dalam hati.
Lampu di sekitar jalan sudah dinyalakan. Mungkin tinggal lima menit lagi mereka sampai di halte terdekat dari sekolah. Sari memperhatikan langit di atasnya. Perlahan kabut itu mulai mengantikan semua benda padat-pepohonan, bangku usang di dekat bundaran taman sekolah-menjadi bayangan hitam tertutupi langit yang juga sudah berkelabu.
"Nanti malam hujan deh kayaknya." Sari membuka percakapan.
"Nggak." Radifan menggeleng tajam, ia masih yakin bahwa ramalan cuaca di koran pagi itu tidak akan salah, "Tadi gue baca ramalan cuaca. Hari ini nggak ada hujan."
Sari menoleh ke arah Radifan, "Lihat aja nanti."
Radifan menelengkan pandangannya. So tau banget ini anak. Ia bergumam pelan, dan akhirnya bertanya lagi. "Lo cuma tinggal berdua sama Kak Adara?"
"Waktu pertama ketemu manggilnya saya kamu. Sekarang lo gue. Nggak konsisten ah." ujar Sari, tanpa sedikitpun menjawab pertanyaan Radifan.
"Kan lo adik gue." jawab Radifan enteng.
"Siapa juga yang mau jadi adik kakak."
"Itu, manggilnya juga 'kakak'. Ya berarti lo adik gue."
Sari tetawa hambar. Percuma saja adu mulut dengan sang mantan ketua OSIS ini.
"Heh. Lo belum jawab pertanyaan gue."
"Apaan?" Sari balik bertanya. Ia memandang jalanan kosong di depannya. Mereka sudah sampai di halte dekat sekolah. Menunggu sebuah bus yang akan mengantarkan mereka menuju rumah. Langit yang berkelabu itu mulai memudar. Digantikan dengan siluet kemerahan tanda malam akan segera tiba. Dan hal itu membuat Radifan merasa menang, hari ini jelas-jelas tidak akan ada hujan.
"Lo cuma tinggal berdua sama Kak Adara?"
"Hmm." jawab Sari pendek.
"Orang tua lo kemana?" tanya Radifan lagi.
Sari memandang Radifan sebentar, lalu tersenyum kecil. "Meninggal."
Bertepatan dengan itu, sebuah bus bewarna biru kuning berhenti di depan mereka. Sari langsung naik ke atasnya. Sedang Radifan masih diam. Masih kaget dengan jawaban Sari. Kenapa ia harus bertanya selancang itu? Senyum yang ia lihat di wajah Sari terasa aneh di benak Radifan. Ia jelas melihat bahwa bibir Sari memang tersenyum, namun tidak dengan kedua matanya.
"Kak?"
"Kak? Naik gak?" suara itu membuyarkan konsentrasi Radifan. Sari melongok dari arah jendela saat mendapati Radifan masih berdiri kaku di depan halte.
"Oh. Iya. Iya." Radifan tersadar dari lamunannya. Ketika ia hendak menaiki bus, beberapa tetes air berjatuhan di bahunya.
Sari benar. Hari ini hujan akan turun.
***
Malam itu, Bani hanya terduduk di pojokan dengan cahaya yang remang di depan rumah. Termangu memikirkan hal yang ia sendiri tidak duga. Ia terdiam diantara sayup-sayup bumi malam dan ringkikan mahluk nokturnal. Otaknya bekerja keras lebih dari biasanya. Darimana Radifan kenal cewek itu?
Ia mulai menyeruput lagi cokelat panas favoritnya dari sebuah cangkir di meja berkayu usang di depannya. Bahkan manisnya cokelat itupun tak bisa membuat hatinya semanis minuman panas itu. Hatinya hambar. Pikirannya terusik lagi. Apa Radifan menyukai cewek itu?
Bani menghembuskan nafasnya kasar. Meletakkan cangkir itu di tempatnya semula saat rintikan air mulai membasahi rumput-rumput hijau terawat di taman kecil rumahnya. Ia memakai kaos putih oblong dan celana jins hitam pendek selutut. Bani kemudian memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Berpikir lagi.
Bani mendongakkan kepalanya ke atas. Ia tersenyum. Gerimis. Favorit cewek itu. Ia menutup matanya dan mulai mendengarkan bunyi rintikan air itu dalam diam. Mungkin gerimis akan menjadi favoritnya juga seiring waktu berlalu. Ia menyadari bahwa hal sekecil itu dapat menenangkan pikirannya yang sedang kalut. Bani menyukai bagaimana suara beribu air mata alam itu saat berlomba menyentuh tanah. Apa ini saat-saat yang juga disukai cewek yang sampai saat ini tidak ia ketahui namanya itu?
Bani terdiam lagi. Masih betah berlama-lama diantara gerimis yang mulai bertransformasi menjadi hujan. Ia membuka matanya. Jantungnya memburu secara tiba-tiba. Apa ia menyukai cewek itu?
Seseorang yang selalu terlihat mengantuk, seseorang yang selalu mempunyai hal yang terduga keluar dari mulutnya, yang tertawa aneh, dan seseorang yang membuatnya menyukai gerimis seperti dirinya.
Bani akhirnya mengerti. Bani menyukai seseorang itu. Namun ia masih khawatir dengan perasaan Radifan.
***
Jam enam pagi. Entah kenapa hari ini Sari sangat bersemangat untuk pergi ke sekolah. Biasanya, untuk bangkit dari tempat tidur saja ia harus diteriaki Adara terlebih dahulu. Embun pagi bekas air hujan semalam masih betah bertengger di ujung daun cemara di sepanjang jalanan yang dilewatinya. Ia suka saat langit masih setengah gelap dan pepohonan di sekitar mengeluarkan udara bersih gratis pada setiap manusia. Ia menghembuskan nafasnya. Tersenyum geli saat menyaksikan uap nafas yang menyatu dengan kabut pagi, lalu perlahan berputar dan bersatu.
"Tumben udah berangkat."
Suara seseorang di belakangnya memecah keintimannya dengan dunia pagi. Sari menoleh ke belakang. Mendapati seseorang dengan mantel tebal bewarna abu yang sedang bersedekap yang tengah tersenyum aneh di hadapannya.
Sari menggaruk lehernya, kemudian menyapa cowok itu. "Hai, Kak."
"Kok udah berangkat? Gak bareng Kak Adara?"
"Nggak."
"Kenapa? Padahal kalo gitu bisa gue jemput tadi."
Sari terkekeh pelan, tidak akan ada yang berbeda walaupun Radifan menjemputnya ke rumah. Karena Sari dan Radifan sama-sama tidak membawa kendaraan pribadi.
"Kok lo malah ketawa, sih? Nanti kalo mau pergi gue jemput deh ke rumah."
"Gak perlu."
"Lah kok nolak sih?"
Sari menatap sekitarnya lalu menatap Radifan dengan enggan, "Gak papa."
Radifan berdecak samar, ia meletakkan kedua tangannya di pinggang. Tidak menggubris pernyataan gantung Sari. Udah bagus gue mau bareng, sewotnya di dalam hati.
Bani sampai di gerbang sekolah. Menunggu Tamara yang katanya akan memberikan kue baru buatan mamanya kemarin yang tak sempat dicicipi Bani. Bani menghentak-hentakkan kaki. Ia bosan. Mengecek waktu di jam tangan yang terbelit di tangan kirinya. Ia menghembuskan nafas. Sudah sepuluh menit berlalu sejak jam janjian mereka ditentukan. Namun yang ditunggu tak kunjung datang.
"Nongol juga." ujar Bani pelan, tersenyum miring saat melihat Tamara melambaikan tangannya sambil berlari kecil. Di tangan kanannya terdapat sebuah tas kertas yang Bani yakini adalah kue inovasi baru mama Tamara. Kue buatan mama Tamara adalah favoritnya sejak dulu.
"Sorry. Sorry. Gue bangun telat tadi." seru Tamara nyengir. Suaranya masih ngos-ngosan. Padahal tak sampai lima menit ia berlari dari halte sekolah.
"Kebiasaan lo." Bani menjitak kepala Tamara, dan langsung menyambar tas kertas di tangan Tamara. "Buat gue, kan?" Bani tersenyum kemudian berlalu. Meninggalkan Tamara di belakangnya.
Tamara mengerucutkan bibirnya. "Kok ninggalin, sih." katanya kesal. Ia bersedekap, tersenyum jahil, membenarkan posisi poni rambutnya yang berantakan lalu meniupnya pelan, mengencangkan tali sepatu hitamnya dan langsung mempercepat langkah menuju Bani yang jauh di depan. Ketika posisinya sejajar Bani, Tamara langsung menginjak kaki kiri Bani dan tertawa menang saat si empunya kaki meraung, dan dengan dramatis memegang bagian kaki kirinya. Bani langsung mengejar Tamara gemas. Dan mereka menghilang di belokan koridor kelas sepuluh.
Sari mengerjap. Ketika sedang asyiknya memperhatikan siswa siswi yang mulai berlalu-lalang, ia mendapati sosok Bani sedang menengok ke arah jam tangannya. Sari tersenyum. Jantungnya mulai berdebum tak sabaran. Berdiri aja udah cakep. Batinnya geli.
Radifan memperhatikan Sari yang tengah tersenyum aneh, lalu mendorong bahu Sari pelan dengan bahunya. "Dengerin gue cerita gak, sih?" sewot Radifan.
"Hah? Iya Kak? Apaan?"
"Ngeliat apa sih? Ngeliat setan?" Radifan berpikir beberapa nano detik, "Eh nggak mungkin deh. Masa lihat setan malah senyum."
Sari menatap Radifan, dan mulai menggeleng-geleng pelan. Mana sosok Radifan yang kata Nabil setegas dan berwibawa itu? Dari pertama kali bertemu ia hanya mendapati soosknya yang kekanak-kanakan dan tidak bisa diam.
Kemudian ada beberapa siswi-siswi yang memperhatikan ke arah mereka. Tepatnya ke arah Radifan. Mereka tersenyum malu-malu, berniat ingin menyapa cowok berpostur tinggi itu.
"Pagi-Kak." ucap mereka hampir berbarengan. Malu-malu menatap Radifan yang tidak mereka sangka melihat ke arah mereka.
"Pagi." Radifan tersenyum tegas. Mulutnya membentuk persegi panjang saat tersenyum. Memperlihatkan barisan gigi putih yang beraturan. Dan membuat rombongan siswi itu histeris tertahan ketika Radifan melewati mereka.
Sari mengangkat kedua alisnya. Terdiam. "Kok senyumannya beda." celetuknya pelan. Dan Radifan melihat ke arahnya. "Apaan yang beda? Gue ganteng, ya?" Radifan nyengir.
Sari berlalu. Ia sempat menyesali dirinya sendiri sempat terapana dengan senyuman yang dilontarkan Radifan pada siswi tadi. Ternyata tidak ada bedanya, Radifan yang tadi adalah Radifan yang biasanya. Yang receh dan nyeleneh.
Sari memperhatikan Bani kembali saat ia menjitak kepala cewek cantik di depannya. Sari melihat dari jauh. Siapa cewek itu? Sari melihat Bani berlalu dan cewek itu berada di belakang Bani ketika tiba-tiba ia menginjak kaki kiri Bani. Bani tidak terlihat marah sedikitpun, memang raut mukanya terlihat kesal namun itu hanya dibuat-buat. Ia langsung mengejar cewek itu dan mereka menghilang begitu saja dibalik koridor.
Sari terdiam.
"Ada-ada aja." celetuk Radifan. Sari menoleh dan mendapati Radifan tersenyum sambil geleng-geleng takjub.
"Kenapa, Kak?"
"Hah?" Radifan memandang Sari, "Nggak." lanjutnya masih tersenyum.
Sari mengangguk-anggukan kepalanya. Ia berjalan lagi. Memikirkan pemandangan asing di depannya tadi. Ada getaran aneh di hatinya. Meninggalkan Radifan yang mulai tertinggal jauh di belakang.
"Gue duluan, ya. Selamat belajar, adik!" ucap Radifan menyusul Sari sambil berlari diikuti dengan gerakan kepalan tangannya, menyemangati Sari dari kejauhan.
Sari tersenyum. Tersenyum hambar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 03, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tomorrow GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang