12

15.6K 1.4K 59
                                    

ARDO

Lega, akhirnya aku telah mengatakannya. Ya, Asha tahu tentang masa laluku. Sepertinya aku pelanggan unik yang Hekal maksud. Tapi aku menaruh simpatik pada Hekal. Dia bukan tipe cowok yang yang menggunakan otot tapi otaknya.

Hubungan kami bertiga semakin baik. Kami sering menghabiskan malam bertiga di restorannya, menikmati masakanku dan Hekal. Aku berterimakasih pada Hekal memberiku banyak ilmu soal memasak dan terutama ilmu memahami Asha yang unik.

Saat ini aku sedang bersama Asha, menikmati malam minggu dengan menonton film seperti pasangan normal lainnya. Asha ternyata penggila popcorn, selama film diputar dia hanya mengunyah popcorn dan tak peduli dengan layar lebar di depannya. Sedangkan aku sibuk memperhatikannya.

Kami sudah menjalin hubungan hampir setahun. Jangan tanya kenapa kami belum menikah. Asha selalu menolakku dengan berbagai macam alasan dan aku hanya bisa mnetima penolakannya. Aku tak mau dia kabur dariku karena aku sudah menetapkan hatiku padanya. Tak bisa kubayangkan kalau Asha menghilang, aku bisa gila.

"Udah yuk, popcornku udah habis."

"Tapi filmnya belum kelar, Sha."

"Ah, emang aku peduli filmnya."

Aku pun hanya bisa mengikuti maunya. Ke luar bioskop lalu masuk ke kedai kopi berlogo hijau itu. Dia memesan ice green tea latte sementara aku memesan hot cappucino hazelnut.

"Kenapa ke sini?" tanyaku setelah kami duduk di meja dekat kaca.

"Memang kenapa? Aku kan mau kayak pasangan lain yang kencan di tempat nongkrong. Biar hits..."

Mendengus geli, itu yang aku lakukan mendengar jawabannya. Asha memang sedikit berbeda, kadang apa yang dia lakukan itu tak ada di bayanganku.  Seperti kencan kali ini. Dia selalu punya hal baru saat mengajakku kencan, tapi temoatnya selalu temoat mengenyangkan oerut. Di bioskop pun dia hanya mau makan bukan nonton.

"Anak itu lucu, lihat."

Arah pandangku mengikuti telunjuknya. Mengarah pada bocah yang tengah memakan kue coklat bersama ibunya. Belepotan tapi ibunya tetap membiarkannya makan sendiri sembari sang ibu membantu mengarahkan sendoknya.

"Bocah itu lucu banget. Kayak anak Aya, tapi kurasa dia lebih besar."

"Jelas saja. Kurasa dia berumur dua tahunan, lihat caranya berjalan sudah sangat tegap."

"Aku mau punya anak," gumam Asha.

"Kalau gitu ayo kita nikah."

"Nggak mau!"

"Kok nggak mau?"

Asha memicingkan matanya, seolah aku sudah melakukan kesalahan. Aku kan hanya menawari hal baik. Kalau dia mau aku akan mempersiapkan semua sebaik mungkin. Tapi dia selalu saja menolakku.

"Aunty, aunty...."

Bocah kecil yang baru kami bicarakan memanggil Asha dengan kalimat yang tak jelas, menarik rok Asha hingga rok abu-abunya terkena noda coklat dari tangan bocah itu.

"Damas, aduh.... Maaf ya mba roknya jadi kotor."

"Nggak apa kok, namanya juga anak kecil. Ya sayang ya? Ah.... Kamu gemesin."

Bocah yang dipanggil Damas pun diangkat oleh sang ibu kembali ke mejanya. Aku terdiam bukan karena terpesona pada bocah itu atau ibunya. Aku terpesona oleh Asha yang tadi mengusap kepala lalu pipi Damas. Dia sudah pantas jadi ibu. Pasti lucu kalau kami punya anak, dia akan mirip kami.

"Sha, besok malam kita dinner yuk. Di restoran Hekal, gimana?"

"Oke. Pulang yuk, mendadak aku ngantuk.

Next GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang