part 7

106 4 0
                                    

*****
part

Kami tiba di depan halaman dimana 4 mobil bersiap. Papa menyiapkan 8 bodyguard dimana 4 orang berada di mobil terdepan dan 4 berada di mobil belakang.

Selama perjalanan kak Bian yang tampak gagah dengan setelan mahal lengkap dengan dasi kupu kupu menggenggam erat tanganku dengan senyum mengembang.

"Kamu harus rileks, jangan tegang. Kakak ingin kita terlihat seperti pasangan paling mesra sedunia.."

Aku melirik kak Bian "yang tegang kakak deh kayaknya.."

Kak Bian menoleh "mau bantah. Sayang sekali, hukumanmu harus ditunda. Kalo makeupmu luntur, kakak bisa kena jewer mama lagi.."

Aku terkikik geli. "Aku tahu sekarang siapa orang yang kakak takuti. Ehm, ternyata orang yang kakak takuti tak lain adalah sekutuku.." kataku sambil menjulurkan lidah.

Kak Bian tertawa terbahak bahak.

Ruangan conferensi pers sudah dipadati wartawan. Aku menggamit lengan kak Bian begitu erat, rasanya aku bagai cinderella dan aku yakin semua orang berpikiran sama denganku.

Aku duduk di samping kak Bian di depan para wartawan yang sedang sibuk menjepret foto kami. Di atas meja puluhan mic tertata. Aku rasanya sedang main sinetron.
Seorang wartawan berdiri ia bersiap bertanya "sejak kapan anda jatuh cinta sama nona Nickita.."

"Sejak Nicky berusia 6 tahun. Saat itu, saya kecelakaan motor. Nicky membuatkan saya 1000 perahu kertas untuk kesembuhan saya dan merawat saya seperti seorang istri. Sejak saat itu, saya ingin Nicky berada di samping saya selamanya.." jawab kak Bian.

"Nona Nicky sejak kapan anda jatuh cinta dengan tuan Fabian.." tanya seorang wartawan dari media cetak lain.

Aku diam sesaat mencari jawaban yang tepat. Meski list pertanyaan sudah kubaca namun ibu tiba tiba memenuhi pikiranku dan membuatku lupa mempelajari jawaban apa yang akan kuberikan.

Aku menarik nafas "Sejak kecil saya tumbuh besar bersama Kak Bian. Selama ini saya sangat nyaman bersamanya, saya tidak tahu kapan saya mencintai kak Bian tapi saya sadar saya tidak ingin terpisah darinya. Kak Bian adalah lentera saya, kak Bian yang selama ini menjaga dan membimbing saya. Saya tidak pernah berpikir akan mendampingi orang lain selain kak Bian.." jawabku jujur.

"Mengenai skandal yang terjadi 20 tahun lalu. Apakah hal ini tidak dijadikan pertimbangan anda.." tanya seorang wartawati.
Kak Bian terkejut karena pertanyaan itu diluar list. Aku menggenggam tangan kak Bian kuat kuat. Para wartawan berkusak kusuk. Aku tidak tahu skandal apa yang terjadi 19 tahun lalu, ingatanku berputar apakah ini berhubungan dengan ibu dan keluarga Jayanata.

"Next question.."kata MC berusaha mengembalikan suasana menjadi kondusif.

"Apakah hanya karena dasar cinta lantas anda tidak mempertimbangkan nama baik calon wanita anda. Tentang skandal 20 tahun lalu saya kira itu sudah mencoreng nama baik Jayanata apakah tidak ada kekhawatiran bagi pihak Jayanata yang bisa saja pernikahan anda merusak nama baik keluarga dan bisa berpengaruh pada kredibilitas perusahaan.." tanya wartawan lainnya.

MC menoleh menatap kak Bian. Kak Bian tersenyum "Nickita tumbuh besar di keluarga kami. Dia dididik dengan baik oleh nyonya Helena Jayanata yang tak lain adalah mama saya. Baik dan buruknya Nickita kami sudah mengetahui. Tentang skandal itu adalah masa lalu dan kami tidak pernah menoleh ke belakang. Tentang nama baik perusahaan. Jayanata adalah perusahaan yang profesional, kami tidak mencampur adukkan persoalan keluarga dan perusahaan. Dalam silsilah keluarga Jayanata, tidak ada satupun pernikahan di dasarkan untuk kepentingan perusahaan.."
Selanjutnya cercaan pertanyaan berputar pada hubunganku yang dikaitkan dengan skandal yang terjadi 20 tahun lalu. Oh, aku ingat sekarang. Saat papa menyebut kejadian 20 tahun lalu, ayah langsung patuh. Seperti apa kejadian itu, mengapa ayah menutupinya dariku.

"Saya mencintai Nickita murni dan tulus. Soal ibu Nickita saya tidak mau tahu. Bila anda mengatakan saya di butakan cinta, saya memang dibutakan cinta. Namun saya sangat mengenal watak Nickita begitu pula sebaliknya, kami saling mencintai dan itu cukup bagi kami menuju jenjang selanjutnya.." kata kak Bian.

Para pemburu berita semakin gencar bertanya. Ah, pekerjaan kalian sungguh menyebalkan namun jika aku jadi wartawan aku yakin aku juga harus mencerca pertanyaan seperti kalian.

"Seorang janin tidak bisa memilih dari benih siapa dan dari rahim mana ia dilahirkan. Namun, seorang bayi bisa dibentuk menjadi seperti apa sesuai dengan siapa yang membentuknya. Saya rasa bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian memahami maksud saya.." kataku akhirnya.

Kasak kusuk wartawan terus terngiang bahkan setelah MC menutup acara. Wartawan mengerubuti kami seperti koloni lebah. 8 bodyguard menjaga kami keluar ruangan hingga kami masuk ke dalam mobil.

Kak Bian menghembuskan nafas berat "itulah kenapa aku tak suka berhadapan dengan media. Kalo urusan kapal, aku bisa jelasin sampai detail detailnya.."
Aku terkikik geli melihat kak Bian. Sedari kecil dia memang tidak suka berada di khalayak umum kecuali dengan para pekerja. Kak Bian, kak Bian kamu selalu lucu.

Kak Bian menatapku dengan seringaian lalu mencondongkan tubuhnya mendekatiku. Aku melirik ke mang Asep yang aku yakin melirik kami melalui pentulan kaca.

"Mang lihat depan. Jangan lihat kami apalagi sampai bergosip, aku pecat kamu kalo sampai ada gosip gak bener keluar dari mulutmu.." ancam kak Bian.

Kak Bian kembali menatapku dan mencondongkan badannya padaku. Aku tersenyum geli, melihat ekspresinya yang semakin lama semakin memburam.

Kulingkarkan kedua tanganku ke lehernya dan memiringkan kepalaku membuat ciumannya semakin dalam. Kak Bian, aku rela berbagi hidup denganmu selamanya. Sepanjang perjalanan, kami habiskan dengan ciuman panas. Maaf mang Asep, bukan maksudku. Ah, kak Bian kamu membuatku mabuk kepayang.
Hari ini tak ada jadwal kuliah, kuputuskan ke kantor mengantarkan makan siang untuk papa, ayah dan kak Bian. Aku membawa satu tas tupperware berisi aneka sushi kesukaan papa dan kak Bian juga nasi padang untuk ayah dan aku sendiri.

Wanita yang beberapa hari lalu berada di depan pagar kini berdiri di tempat yang sama dan melihatku dengan tatapan yang tak kusangka-sangka. Dengan perlahan aku berjalan mendekatinya, wajahnya menegang dan dua tangannya bertautan gemetar.

Aku berdiri di depan wanita itu, kepalanya semakin menunduk, kedua airmatanya mengalir membuatku seperti seseorang yang berlaku jahat. "Apakah. Kamu Nickita Rahardian.." tanyanya lirih dan bergetar.

Tiba tiba saja dadaku terasa sakit seperti di remas, kata hatiku mengatakan wanita inilah ibuku. Orang yang menyakiti hati keluargaku. "Aku Nickita Rahardian. Siapa anda.." tanyaku.

Wanita itu mulai menengadah menatapku takut takut. Sungguh siapapun yang melihat kami, aku pasti terlihat seperti nona besar menghardik pengemis, secara aku mengenakan pakaian mahal sementara wanita di depanku memakai pakaian lusuh. Wanita itu masih menatapku dengan kedua matanya berkaca kaca.
"Kamu sudah dewasa nak. Kamu tampak cantik.." kata wanita itu.

"Apa anda mengenalku.."

Wanita itu menunduk kembali sambil mengangguk angguk bersimpuh di depanku. "Apa yang anda lakukan.."pekikku sambil mundur beberapa langkah.

Tangisnya pecah membuatku bingung sendiri. "Maafkan ibu nak. Maafkan ibu.."katanya diantara tangisnya.

Aku berdiri tak tahu harus bagaimana, aku tidak bisa memaafkannya begitu saja terutama setelah tahu kejahatannya pada papa, mama, ayah dan padaku. "Kamu bukan ibuku. Ibuku sudah meninggal.." kataku akhirnya yang segera berlari masuk pagar rumah.

Sepanjang perjalanan ke kantor aku menangis, tak pernah membayangkan aku memiliki ibu sepertinya. Bagaimana ia bisa melakukan hal yang sangat memalukan.

"Nick, kamu kenapa.." tanya Mang Asep.

Kuhapus airmataku dan berusaha tersenyum "gak papa, Mang.."

"Pasti karena wanita tadi. Kamu ini mirip sama nyonya besar, gampang terenyuh. Tapi, wanita itu beberapa hari ke rumah dan anehnya sikap nyonya terhadapnya seperti tidak suka padahal nyonya biasanya sangat ramah.." kata Mang Asep.

*****
Buat yang cantik2x dan yang ganteng2x next part ya.

Luv im vote and coment.

RAINBOW AFTER STROMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang