This Feeling
Dan aku sadar
Satu hal yang mengikatku padamu
Adalah apa yang kurasakan untukmu
Setelah melewati long weekend di rumah sakit, akhirnya Senin itu Ryo bisa pergi ke sekolah juga. Meski untuk sementara waktu ia tidak bisa bermain basket. Dan sebenarnya, itu membuatnya sedikit frustasi. Tidak hanya sedikit, sebenarnya. Yah, setidaknya ia sudah beruntung karena tidak perlu menghabiskan waktu berminggu-minggu di ranjang rumah sakit. Itu juga ia perlu meminta pada nenek Veela dengan putus asa.
Meski begitu, sore ini ia hanya duduk di sisi lapangan dan melihat teman-temannya berlatih. Ia tak bisa mencegah iri di benaknya saat melihat teman-temannya itu tampak gembira bermain basket di hadapannya.
"Lagian, siapa suruh lo sakit," suara Indra di sebelahnya membuat Ryo mendengus. "Demi cewek lo itu, lo sampe ngerelain aktivitas favorit lo. Salut gue, Kak."
"Jangan bawel dan pergi aja, deh," usir Ryo. "Atau perlu gue panggilin Veela ke sini?" ancamnya.
"Lo tuh nggak ada makasih-makasihnya. Tadi udah gue kasih info tentang dia di klubnya itu. Dan sekarang lo udah berani ngancem gue," kesal Indra. "Panggilin aja, gih. Kayak lo berani aja manggil dia ke sini," cibirnya. "Elo aja ngawasin dianya ngumpet-ngumpet. Mana berani lo..."
"Kayaknya kalian berdua ngefans banget ama gue," suara Veela itu membuat Indra terlonjak. Ia menoleh panik ke arah Veela yang mengambil tempat di sebelah Ryo. "Di mana-mana, yang jadi topik obrolan kalian itu selalu gue, ya?"
Indra meringis, sebelum tiba-tiba menghilang. Kabur.
"Gue baru tau hantu-hantu di sekolah ini suka ngebully elo. Yang tadi pagi, si hantu cewek itu, Indri-Indri itu juga," ungkit Veela.
Ryo tersenyum kecut. Memangnya gara-gara siapa sekarang ia menjadi objek bullyan anak-anak itu?
"Ekskuk jurnalistiknya udah kelar?" tanya Ryo, tak menanggapi kalimat Veela sebelumnya.
"Kalo belum, mana mungkin gue bisa ada di sini? Bisa habis disemprot Kak Saras yang ada," dengus Veela.
"Bahkan meski dia sering marahin lo dengan alasan nggak jelas dan ngasih lo tugas yang nggak masuk akal, lo masih aja betah di klub itu?" singgung Ryo.
Veela menoleh, menatap Ryo dengan kening berkerut, tampak berpikir. Bukan hal bagus.
"Sebenernya sejak kapan sih, lo merhatiin gue? Beneran cuma gara-gara mereka yang ngincer tubuh gue, kan?" selidik cewek itu.
Ryo berdehem. "Emangnya ada alasan lain?"
Veela tidak langsung menjawab. Tapi jawaban "Oke," nya kemudian membuat Ryo mengangkat alis.
Veela menatap ke depan. "Gue bakal jadi cewek yang jahat banget kalo sampe gue ngebully elo juga setelah apa yang lo lakuin buat gue." Cewek itu menyebutkan alasannya.
Ryo mendengus pelan.
"Dan tentang Kak Saras, gue nggak peduli dia mau gimana juga. Gue suka jurnalistik. Gue suka nulis. Dan itu udah cukup. Jadi dia mau ngapain juga, nggak bakal mengaruhin gue," Veela berkata. "Dan lagi, dia bentar lagi keluar dari klub, kok. Waktunya ganti generasi." Veela tersenyum lebar, tampak benar-benar senang dengan itu.
Ryo tanpa sadar ikut tersenyum juga, yang langsung dilenyapkannya saat Veela kembali menoleh ke arahnya.
"Tapi lo juga, sekarang lo nggak bisa main basket, kan?" ucap cewek itu. "Tapi emang harusnya lo tuh sekarang masih istirahat di rumah sakit, tau," desisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Over The Dream (End)
Teen FictionBagi Veela, impian adalah hal yang harus dia perjuangkan. Namun tidak begitu bagi Ryo, yang berpendapat bahwa hidup ini bukanlah hanya tentang impian. Sama seperti Veela mencintai jurnalistik, Ryo juga mencintai basket. Tapi keduanya mengambil kepu...