Veela masih mengenakan stelan kantornya, dress selutut warna ungu dan blazer warna cream dengan tas tangan warna senada, saat ia memasuki lapangan olahraga rumah sakit itu. Dilihatnya di lapangan basket, dua orang pria bertubuh sama tingginya, yang satu mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam dan sepatu yang tampak tak cocok dengan lapangan, sementara yang satu mengenakan seragam operasi untuk staf medis di rumah sakit dan sepatu yang lebih nyaman.
Beberapa pasien rumah sakit bahkan tampak asyik menonton pertandingan basket kedua pria itu dari luar lapangan olahraga yang dibatasi dengan pagar kawat. Beberapa pasien anak-anak kecil bahkan menyoraki kedua pria itu. Sementara kedua pria itu masih begitu larut dalam permainan basket mereka, tak peduli jika pakaian mereka sudah basah oleh keringat.
Ketika Veela sudah berdiri di tepi lapangan, bola oranye di tangan salah satu pria itu terjatuh karena serangan dari lawannya dan menggelinding hingga di dekat kakinya. Si pria yang mengenakan kemeja putih seketika menyerukan namanya,
"Veela!"
Pria itu berlari ke arah Veela dan hendak memeluk Veela, tapi Veela menahan dada pria itu. Veela mengedik ke arah kemejanya yang sudah kuyup oleh keringatnya. Pria itu meringis meminta maaf.
Veela mendengus kesal ketika mengeluarkan tissue dari tasnya dan mengusap keringat di wajah pria itu. Ia benar-benar tampak seperti habis mandi.
"Twin, lo tuh emang hobi banget ganggu kesenengan orang, ya?" suara penuh tuduhan itu tentu saja datang dari adik kembarnya yang menyebalkan. Vano.
"Lo nggak kerja?" Veela balik menuduh pada adiknya yang sudah membungkuk untuk memungut bola di bawah Veela.
"Baru keluar dari OR (Operation Room) dan ini lagi refreshing ama Ryo. Dan voila! Lo ganggu acara refreshing gue," ucap Vano bahkan tanpa rasa bersalah.
"Emang Ryo nggak bilang kalo sore ini dia ada kencan ama gue?" Veela menatap kedua pria itu dengan tatapan sengit.
Vano terkekeh. "Selamat kencan dengan cowok lo yang bau keringet," Vano berkata dengan menyebalkannya sebelum dia berlari pergi, tapi berhenti saat mendengar panggilan anak-anak kecil dari luar pagar lapangan olahraga itu.
"Dokter Vano keren, deh!" seru salah seorang anak laki-laki.
"Dokter emang keren!" Vano membalas bahkan tanpa ragu. "Danu suka main basket juga, kan?"
Anak laki-laki di depan Vano itu mengangguk. "Tapi aku nggak boleh main kalo belum sembuh, Dok."
"Kalo gitu, kamu harus rajin minum obat dan makan yang banyak biar cepet sembuh dan bisa main basket lagi. Nanti kita tanding basket, oke?" Vano berjanji pada anak itu.
Anak itu bersorak dan tersenyum gembira. Di depannya, Vano juga tersenyum, tampak sama gembiranya.
"Dia populer ya, di kalangan anak-anak?" tanya Veela.
Ryo mengangguk. "Tapi dia juga idolanya perawat-perawat di rumah sakit, lho," katanya. "Kata mereka, dia keliatan penyayang anak banget."
Veela tersenyum. Dulu saat mendengar Vano ingin menjadi dokter anak, Veela sempat bingung. Tapi Ryo lah yang memberi tahunya tentang alasan keputusan adik kembarnya itu. Hantu anak kecil yang pernah dilihatnya di sekolah dulu, Adi. Dialah alasan Vano mematok impiannya sebagai dokter anak. Dia ingin membantu anak-anak kecil itu hidup lebih lama untuk mewujudkan impian mereka.
"Ini kita jadi jalan?" tanya Ryo kemudian.
Veela memperhatikan pakaian Ryo dan mendesah berat. "Jalan-jalan ke taman depan rumah sakit aja," ia berkata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Over The Dream (End)
Teen FictionBagi Veela, impian adalah hal yang harus dia perjuangkan. Namun tidak begitu bagi Ryo, yang berpendapat bahwa hidup ini bukanlah hanya tentang impian. Sama seperti Veela mencintai jurnalistik, Ryo juga mencintai basket. Tapi keduanya mengambil kepu...