Here She Comes
Berada di sisinya
Mungkin tak selalu seburuk itu
"Van," Veela duduk di sofa ruang tengah rumahnya, di sebelah Vano yang tampak tenggelam dengan game di ponselnya. "Vano," Veela memanggil lagi ketika adiknya itu tampaknya tak mendengarnya.
Veela kesal juga ketika Vano masih tak mendengarnya. Ia mengangkat kakinya ke sofa untuk menendang kaki Vano yang bersila di atas sofa. Kali ini usahanya berhasil, terbukti dari teriakan kesal Vano dan tatapan jengkelnya pada Veela.
"Lo tuh kenapa, sih? Gue udah mau menang tadi! Gara-gara lo kalah, nih!" serunya kesal.
"Makanya, elo tuh kalo dipanggil jawab," balas Veela, tak sedikitpun merasa bersalah.
Vano mendesis kesal. "Kenapa, kenapa?" akhirnya ia menjawab, meski tatapannya sudah kembali ke ponselnya.
"Lo..." Veela sedikit ragu, tapi ia tahu ia tidak akan bisa tidur nyenyak malam ini jika tidak bertanya. "Besok lo ada pertandingan basket?"
"Iya," jawab Vano ketus, tanpa menatap Veela.
"Ama siapa aja?" tanya Veela lagi.
"Ferdy, Alan, Bimo, Stevan, Ryo," Vano menyebutkan nama-nama itu, masih tak menatap Veela.
Veela mengangguk-angguk. "Ryo bukannya tadi kakinya sakit? Dia tadi baliknya gimana? Elo nganterin dia balik, ya? Tadi si Bimo tuh yang nganterin motor lo ke sini. Trus tadi dari rumah Ryo lo naik apa? Sama Ferdy? Atau..."
"Ya ampun, Veel!" gusar Vano seraya menatap Veela galak. "Lo tuh mau ngapain, sih?"
Veela berdehem. "Gue kan cuma tanya. Lagian, elo tuh kalo ditanya, jawab yang sopan!" Veela malah melemparkan kesalahan pada Vano.
Vano mendesis kesal, tapi ia lantas meletakkan ponselnya ke meja di depannya dan memutar tubuhnya menghadap Veela.
"Lima menit. Abis itu kalo lo gangguin gue lagi, gue hapus semua data di laptop lo," ancam Vano, satu-satunya ancaman yang ditakuti Veela.
"Oke, oke," Veela mengalah. "Lima menit."
Vano mengangguk, lalu menunggu.
Veela ikut mengangguk, dan ia mendadak ragu untuk bertanya lagi.
Vano mengangkat alis. "Setengah menit, nih," ia mengingatkan.
Veela berdehem. "Besok lo tanding basket di mana? Di sekolah?" tanyanya.
"Di lapangan basket di taman yang dulu lo ada pemotretan," jawab Vano tanpa emosi.
"Oke," Veela mengangguk. Lalu terdiam.
"Udah? Itu doang?" dengus Vano tak percaya.
Veela kontan menggeleng. "Ryo juga ikut main? Bukannya tadi kakinya sakit, ya? Emang bisa?" cibirnya.
"Emangnya gara-gara siapa kakinya cedera?" Vano kesal juga.
"Emangnya siapa yang nyuruh dia ada di sana? Gue ada minta dia nolongin gue? Gue ada minta dia buat cedera? Nggak, kan?" Veela membela diri.
Vano menghela napas berat. "Dan gue nggak ngerti kenapa gue mesti ngomongin ini ama lo."
Veela kembali berdehem. "Gue cuma mau negasin. Kaki dia kayak gitu, bukan salah gue."
Vano menatap Veela tak setuju, tapi tak mengatakan apapun.
"Dan asal lo tau, ya, dia tadi ada di sana mungkin emang buat gangguin gue, atau bikin gue kesel. Gue nggak tau apa masalah dia ama gue, tapi kayaknya dia emang ada dendam deh ama gue, makanya dia selalu berusaha buat bikin gue kesel. Dan tadi juga. Cuma aja, emang tadi dia lagi sial kali, makanya sampe jatuh ketabrak gue gitu," jelas Veela.
KAMU SEDANG MEMBACA
Over The Dream (End)
Novela JuvenilBagi Veela, impian adalah hal yang harus dia perjuangkan. Namun tidak begitu bagi Ryo, yang berpendapat bahwa hidup ini bukanlah hanya tentang impian. Sama seperti Veela mencintai jurnalistik, Ryo juga mencintai basket. Tapi keduanya mengambil kepu...