Tadinya ini mau buat di versi cetak aja.. Tapi kasian yang baru mau baca, ntar ga nyambung sama bab lanjutnya.
Jadi yowes... Prolognya juga di-republish nyoohh...
Wkwkwk
Happy reading!
(ps: lihat keterangan tahunnya yeah... 😈)
***
Dua belas tahun yang lalu...
Gue menarik napas perlahan, mencoba menenangkan diri, sementara perempuan di depan gue sekarang melontarkan berbagai kalimat pembelaan, berusaha memperlembut caranya menginjak hati gue, sejak hampir satu jam yang lalu.
Gue paling malas dengar pembelaan. Gue bukan hakim. Nggak usah banyak basa-basi sama gue. Nggak suka, bilang nggak suka. Nggak perlu pakai alasan, "Lo baik sih... tapi..."
Bullshit.
Gitu juga kalau sudah nggak suka sama gue, mau putus ya bilang putus. Nggak perlu banyak ngoceh, "Kamu terlalu baik buat aku... blablabla..." eek kebo.
Selembut apa pun cara lo mutusin orang, yang terasa di hati tetap nyeri. Sakit, kampret.
"Gi... ngomong dong..." perempuan itu kembali bersuara.
Gue manarik tangan dari genggamannya. Nggak usah pegang-pegang kalau niat lo masih tetap pergi dari gue. Rasanya gue pengin banget teriak di depan mukanya.
"Aku harus ngomong apa biar kamu nggak pergi?" tanya gue, akhirnya.
Tara, perempuan itu, cinta gue selama tiga tahun ini, yang gue pikir bakal jadi perempuan pertama sekaligus terakhir buat gue, menatap gue dengan pandangan... entahlah. Wajahnya sudah dipenuhi air mata. Seharusnya gue yang nangis sekarang. Bukan dia. Gue korban di sini. Gue yang diputusin dengan alasan yang nggak gue pahami.
Katanya, gue nggak bisa diajak komitmen. Terus tiga tahun ini gue ngapain kalau bukan komitmen? Gue nggak pernah lirik-lirik perempuan lain. Gue rela jadi tukang ojek dia, antar-jemput les, sampai nungguin dia tiap ada kegiatan klub di sekolah. TIGA TAHUN KAMPRET, dan dia bilang gue nggak bisa komitmen?
ARE YOU FUCKING KIDDING ME, LADY?
Begitu gue lontarkan kalimat itu ke dia, dia ganti pakai alasan kuliah jauhan. Bandung-Jogja sejauh apa sih? Selemparan kolor naik pesawat juga sampai. Baru beda kota. Belum beda alam.
Terus alasannya ganti lagi. Kuliah Kedokteran itu sibuk. Jangka waktunya panjang. Dia nggak mau gue nunggu dia, dan blabla lainnya.
Gue capek, muak, sakit hati. Intinya dia mau putus dari gue. Titik.
"Kalau nggak ada, berarti aku juga nggak perlu ngomong apa-apa."
"Maafin aku..." ucapnya.
"Buat?" Gue menatap matanya, setajam yang gue bisa. Ini juga mungkin terakhir kalinya gue bisa memandangi mata cokelat gelapnya yang bikin gue jatuh cinta dari pas MOS tiga tahun lalu.
Gue nggak percaya itu mata yang sama, yang dulu berbinar pas gue bilang kalau gue cinta dia. Mata yang senyum malu-malu pas pertama kali gue curi ciuman pertamanya. Yang masih tetap malu-malu setelah puluhan ciuman lain yang kami lakukan. Pemilik mata yang sama dengan yang sekarang...
Ah, sudahlah. Males gue mellow-mellow.
"Aku nggak bermaksud nyakitin kamu..."
"Kamu nyakitin aku," ucap gue. "But, it's ok. I'm fine." Kemudian gue berdiri. "Udah, kan? Hati-hati ya di Jogja nanti. Bye."
KAMU SEDANG MEMBACA
Untied (SUDAH TERBIT)
Ficción General[Sebagian besar part sudah unpublished] #4 The Tied Series Tanpa ikatan, Tanpa aturan, Tanpa perasaan...