JESS - Sebuah Penyesalan

84.6K 5.8K 657
                                    

Aku membuka mata perlahan, merasakan sebelah tangan menangkup salah satu dadaku, sementara satu tangan lain berada di perut telanjangku. Entah kapan terakhir kali aku terbangun dengan posisi tidak senonoh seperti ini.

Menyingkirkan kedua tangan itu, aku mencoba bangkit duduk. Rasa pening khas hangover langsung menyerbu kepalaku, ditambah ngilu di sekujur tubuh, seperti baru saja mendapat serangan pukulan bertubi-tubi. Aku memang baru diserang habis-habisan, tapi bukan dalam bentuk pemukulan.

Sambil meringis, aku turun dari kasur, memungut pakaian yang berserakan di lantai dan masuk ke kamar mandi.

Penampilanku kacau balau. Rambutku berantakan, make up sudah kacau, dan yang paling membuatku ingin mengutuk diri sendiri, bercak kebiruan dan bekas gigitan memenuhi leher, pundak, juga dadaku.

Siapa yang baru meniduriku semalam? Vampir?

Aku memakai pakaian dengan cepat, lalu keluar dari kamar mandi tanpa suara. Mataku mencari sepatu, mengabaikan Gio yang masih pulas di kasur. Aku menemukan benda itu di samping sisi tempat tidur Gio. Sekilas, aku melihat bekas kebiruan dan gigitan yang sama seperti milikku juga memenuhi dada dan leher lelaki itu.

Segila apa percintaan kami semalam?

Rasa ngilu berdenyut di antara kedua paha setiap kali aku melangkah, seolah menjawab pertanyaan itu.

Aku meraih sepatu, bergegas pergi dari sana. Saat membuka pintu, apa yang menunggu di baliknya sontak membuatku mengumpat dalam hati.

Rian berdiri dengan posisi tangan siap mengetuk pintu. Saat melihatku, dia hanya menaikkan sebelah alis, tidak berkomentar. Dengan wajah memanas, aku buru-buru menyingkir pergi dari sana, menuju kamarku.

Aku membersihkan diri lebih lama dari biasa, membasuh tiap sudut badanku sedetail mungkin. Sebanyak apa pun sabun yang kuhabiskan, sekeras apa pun aku menggosok badan, tetap saja rasanya kurang. Aku menyerah, mematikan shower dan mengeringkan badanku dengan handuk.

Aku meraih foundation, berusaha menutupi seluruh bercak di leherku sebisanya. Gio benar-benar menyebalkan. Mengapa dia tidak bisa menahan diri dan tidak meninggalkan bekas apa pun di badanku? Benar-benar memalukan kalau bekas sialan ini terlihat oleh klien kami nanti.

Entah setebal apa krim yang kuoles, tidak terlalu berhasil menutupi semuanya. Aku menghela napas kesal. Tidak ada turtleneck yang bisa kupakai, jadi aku memilih mengenakan scarf untuk menutupi leherku.

Gio juga baru meninggalkan kamarnya saat aku menuju lift. Rian tidak terlihat bersamanya. Kami berdiri bersebelahan, menunggu lift.

Baru kali ini aku merasa canggung berasa di dekat Gio. Setelah apa yang kami lakukan semalam, seharusnya tidak sekaku ini, kan? Aku tidak pernah ONS, jadi tidak tahu sikap seperti apa yang normal.

"Masih sakit?" Gio akhirnya bersuara. "Semalam lo bilang ada yang sakit."

"Biasa aja," jawabku.

"Baguslah," balasnya.

Lift berhenti di depan kami. Aku melangkah masuk lebih dulu. Sekilas bayangan apa yang kami lakukan di ruang sempit ini semalam, kembali melintas. Membuat pipiku sontak memerah.

"Rian bilang lusa mau pulang duluan. Lo..."

"Pulang juga," ucapku, cepat. Berada di sini hanya berdua dengannya adalah keputusan bodoh. Aku tidak akan mengulang kesalahan yang sama lagi.

"Nggak mau liburan?"

Aku menggeleng.

Dia berdecak. "Sayang tahu. Kalau lo tinggal, kita bisa..."

Untied (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang