Aku mengusap wajah, menatap layar laptop sambil berusaha menahan kantuk. Pekerjaan ini harus kuselesaikan sebelum tidur, atau aku tidak akan nyenyak. Aku meraih gelas kopi, yang ternyata sudah kosong. Menghela napas pelan, aku beranjak ke dapur. Perutku ikut bergemuruh, mengeluarkan alarm lapar. Aku baru ingat belum makan malam. Stok mi kosong. Makanan lain juga tidak ada. Dengan pasrah, aku menyambar jaket, ponsel, dan kunci apartemen, memilih ke mini market di seberang gedung apartemenku.
Aku baru selesai menyeduh Popmie, ketika melihat sosok yang kukenal melewati pintu, langsung berjalan ke arah rak minuman. Aku tersenyum miris melihat penampilannya. Rambut berantakan, mata mengantuk, hanya memakai boxer dan kaus. Menunjukkan dia baru bangun tidur dan langsung ke sini. Jenis penampilan yang sangat kusukai dan kunikmati. Dulu.
Aku menghampirinya. Dia sudah memegang dua kaleng rootbeer, tapi sekarang terlihat bingung. Aku menepuk bahunya pelan. "Yan?"
Dia menoleh. "Jess," balasnya, sebelum kembali memandangi rak minuman. Lalu dia beralih ke lemari pendingin.
Aku mengikutinya, entah untuk apa. "Lo kayak zombie."
"Dee ngidam," gumamnya, mengambil dua kaleng lagi rootbeer dingin.
Dua kata itu sanggup membuat jantungku seolah berhenti berdetak.
Dee ngidam. Ngidam adalah pertanda hamil. Jadi, istrinya sudah... hamil?
"Oh, udah isi?"
Dia tersenyum, terlihat jelas binar senang di wajah mengantuknya, pertanda dia menerima hal itu. Bukan bentuk 'kecelakaan'. "Udah, alhamdulillah. Jalan sembilan minggu. Gue belum cerita ya?"
"Belum," jawabku. "Selamat deh. Calon bapak dong lo?"
Seringainya melebar. "Iya..." balasnya, seraya berjalan ke kasir.
Aku kembali mengekorinya.
Aku tahu Rian bukan jenis laki-laki yang tergila-gila dengan anak kecil. Bukan juga termasuk yang antipati. Biasa saja. Aku kadang melihatnya ikut main dengan Gio dan Alistair, anak bos, tapi tidak seluwes Gio. Jujur saja, aku kesulitan membayangkannya menjadi seorang ayah. Kami dulu pernah membahas itu, saat masih pacaran, dan sepakat untuk menunda kalaupun nanti kami menikah.
Pembicaraan konyol, yang masih saja sering kuputar dalam ingatan hingga saat ini.
Tapi, sekarang, bukan Rian lima tahun lalu yang berdiri di depanku. Dia terlihat tenang, lebih dewasa dan matang, seolah sudah siap menerima apa pun kejutan dalam hidupnya. Dia banyak berubah sejak menikah. Mau mengakui atau tidak, ke arah yang lebih baik.
"Lo ngapain?" Pertanyaannya membuyarkan lamunanku.
"Laper," aku menunjukkan Popmie di tanganku. "Mau tidur, teman kencan gue ngorok kenceng banget."
Aku tidak tahu mengapa harus berbohong. Kalimat itu meluncur keluar begitu saja.
"Another ONS, hm?"
Aku ingin tertawa, tapi menahan diri. Apa yang akan dikatakannya kalau segala ONS yang kusiratkan memang kulakukan itu hanya kebohongan? Dan terakhir kalinya aku melakukan itu adalah lima tahun lalu, dengannya? Dia tidak akan percaya.
Jadi aku meneruskan kebohonganku. "Yap. I have no time for a real relationship."
Dia hanya mengangguk kecil.
"Lo nggak kangen?"
Dia menatapku. "Kangen apa? ONS?"
"Freedom."
"Nggak. Gue punya yang halal di rumah. Ngapain kangen dosa?"
Ouch. Strike one.
Aku geleng-geleng kepala. "Gue nggak pernah ngira kalau lo beneran bisa nikmatin kehidupan nikah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Untied (SUDAH TERBIT)
Ficción General[Sebagian besar part sudah unpublished] #4 The Tied Series Tanpa ikatan, Tanpa aturan, Tanpa perasaan...