Aku benar-benar takut. Seseorang kumohon tolong aku. Hentikan tatapan nya padaku.
"Jessy, liurmu menetes" seseorang memegang daguku. Spontan aku menengok padanya. Ternyata Vanilla.
Aku menyeka mulutku. Tidak ada air liur. Aku menatapnya bingung.
"Hahaha aku bercanda Jessy. Apa segitu terpikatnya kau hingga menatapnya tanpa berkedip? Ingat aku juga menginginkannya" dia menekankan kalimat terakhir seolah-olah memperingatiku. Yah tapi aku tahu dia tidak seserius itu karena dia tertawa di akhir kalimat.
"Aku tidak terpikat padanya" jawabku. Apa tampangku seperti sangat terpikat padanya? Oh tidak mungkin. Aku justru merasa takut entah kenapa.
Setelah acara selesai kami diperbolehkan untuk pulang.
Hari sudah sangat sore saat aku pulang. Tadi setelah acara selesai aku berbincang-bincang dahulu dengan mahasiswa baru yang lain. Dan aku senang. Mereka semua baik dan menyenangkan.
Aku sangat lelah dan ingin segera sampai rumah. Aku memutuskan untuk lewat jalan pintas. Ya melewati jalan tempat ayah ku terbunuh oleh monster bernama Vampire.
Entah kenapa aku tak dapat ingat wajah monster itu, tapi satu yang pasti dan tidak akan pernah aku lupakan yaitu mata merah nya. Mata merah semerah darah itu. Mata seorang monster tanpa hati.
Sore ini jalan begitu sepi, biasanya ada satu atau dua orang yang berpapasan dengan ku. Tapi ini tidak. Sama sekali tidak ada yang lain selain aku.
Angin bertiup cukup kencang. Suara angin yang menyusup lewat dedauan jelas terdengar. Membuat aku merinding. Membuatku semakin mengingat kejadian malam itu.
Sret...sret...sret... suara gesekan daun itu semakin jelas. Tapi tidak sejalan dengan hembusan angin. Seperti seseorang atau sesuatu yang menggeseknya.
Aku mempercepat langkahku. Setengah berlari. Aku melihat kebelang, tak ada siapa pun. Aku mengencangkan syal yang menutupi leherku. Mencoba menutupi aroma tubuhku dari monster itu.
Bugh... aku menubruk sesuatu. Tidak, bukan sesuatu tapi seseorang. Seorang pria tinggi dengan rambut coklat gelapnya. Aroma mush menyeruak dalam indra penciumanku.
"Apa kau tak menggunakan matamu saat berjalan?" Ucapnya sangat dingin.
"Maaf sir, aku tak sengaja" aku tertunduk merasa bersalah.
"Apa aku terlihat setua itu hingga kau memanggil ku 'sir'? Kurasa kita seumuran" ucapnya sinis. Dan dari yang kulihat dari arah kakinya saat aku menunduk, dia sudah menghadap pada ku.
Perlahan-lahan aku mengangkat wajahku untuk melihat siapa yang ku tabrak tadi.
"KAU..." teriakku terkejut. Dia mahasiswa baru yang pidato di acara penyambutan mahasiswa baru. Dia yang membuatku takut dengan tatapannya. Dia, dia sekarang ada di depanku. Dan menatap lekat padaku.
Lagi, lagi-lagi tubuhku kaku. Keringat dingin mulai keluar dari tubuhku. Aku takut. Aku harus menjauh.
----------
Damian POV
Hari ini lagi dan lagi aku mengikuti acara penyambutan mahasiswa baru dikampus. Dan untuk kesekian kali aku dipilih untuk berpido sebagai mahasiswa dengan nilai tes tertinggi.
Sejujurnya aku tak suka menjadi pusat perhatian. Karna itu akan sangat bahaya untuk ku dan keluargaku. Tapi entah mengapa takdir selalu membuatku menjadi perhatian para manusia itu. Aku sudah sengaja mengisi lembar tes dengan asal agar nilai ku tidak terlalu bagus. Tapi entah aku yang terlalu pandai atau para manusia ini yang terlalu bodoh.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love My Vampire
Vampiros"Aku benar-benar benci dengan makhluk bernama Vampire. Bagiku meraka hanya monster yang tak punya hati yang telah membunuh ayahku" ~Jessica Pears~