Seorang wanita berjalan menyusuri jalanan suatu perumahan di kota Surabaya. Setiap langkah yang dia ambil terlihat berat padahal dia tidak membawa apa pun kecuali mantel laboratorium berwarna putih yang tergantung di lengan kirinya.
Dia tampak seperti tak dapat berjalan lurus. Sesekali ke kanan, sesekali ke kiri. Rambutnya yang hitam dan panjang sepinggang tampak berayun-ayun setiap kali wanita itu melangkah.
Bola matanya merah dan kantung matanya tampak hitam. Sesekali matanya terpejam dan terbelalak seperti orang kaget. Wajahnya tampak kusam karena selama beberapa hari ini dia tidak sempat mandi.
Wanita itu menghentikan langkahnya begitu sampai di persimpangan jalan. Dia menoleh ke kanan dan kiri. Jari tangannya kemudian mengetuk-ketuk pelipisnya pelan.
"Hm... Coba kuingat-ingat lagi. Rumahku itu arahnya ke kanan atau ke kiri ya...?" gumamnya. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri perlahan.
Meski diperhatikan oleh banyak orang di sekitarnya, tetapi wanita tersebut tampak sangat cuek. Dia kemudian menyentuh dahinya dengan jari telunjuk. Wanita itu memejamkan mata sambil bergumam pelan, berpikir keras.
Tiba-tiba, telepon genggam di dalam saku kemeja wanita tersebut bergetar. Wanita tersebut dengan malas mengambil telepon genggamnya.
"Halo? Dengan Mileva Aldebaran di sini," ucap wanita tersebut, "Ada yang bisa saya bantu? Ah, tunggu dulu... Aku sedang tak bekerja saat ini..."
"Hahaha... Kau kurang tidur lagi ya, Mileva?" ucap seorang laki-laki dari seberang telepon.
Mendengar suara tersebut, kedua bola mata Mileva membundar. Wajahnya tiba-tiba menjadi penuh dengan energi, rasa kantuknya menghilang entah kemana.
"Stein...," Mileva memicingkan matanya, "Terimakasih gara-gara kau yang tiba-tiba mengirimi 'paket' aneh ke Bumi selama beberapa hari belakangan ini aku tak bisa tidur."
"Jangan bilang paket aneh, dong! Itu kan—"
"Paket aneh berisi alien aneh berkuping lancip maniak kekerasan," potong Mileva.
"Hei, yang kau ajak bicara saat ini juga alien..."
"Ya, ya, ya, terserah! Pokoknya gara-gara kalian para Constellar, aku dan rekan-rekan kerjaku jadi super sibuk beberapa hari belakangan ini di Verksted. Kita harus memberi mereka identitas sebagai penduduk Bumi, memperbaiki segala kerusakan yang mereka timbulkan, dan mencegah penyebaran informasi mengenai Constellar! Dua hari yang lalu kita bahkan harus memperbaiki sekolah dan menghilangkan ingatan murid-murid di sana!"
Mileva cemberut.
"..."
"..."
"Kau masih marah kepadaku, Mileva?"
"Pertanyaanmu aneh, Stein. Tentu saja aku masih marah padamu! Kau tak pernah datang berkunjung sekalipun! Menghubungiku pun sama sekali tak pernah!
"Satu-satunya komunikasi yang kau buat hanyalah 'muncul' dalam kepala Peter semenjak dia masih kecil! Tak tahukah kau kalau hal itu bisa berpengaruh pada psikologinya!? Dia tampak aneh bagi orang-orang sekitarnya!"
Mileva tampak tercekat. Semua emosinya tertahan di tenggorokan. Tubuhnya gemetaran menahan marah.
Stein terdiam untuk sesaat. Kemudian berkata, "Maaf... Kau tahu 'kan kalau aku tidak bisa seenaknya pergi dan pulang begitu saja?"
"Ya, ya, ya... Kau dan sumpah setia bodohmu kepada kerajaan. Kalau tahu begini, kita tak seharusnya menikah! Arrgh!!"
Mileva mengacak-acak rambutnya.
"Jadi, mau apa kau meneleponku?"
"Situasi di kerajaan sudah semakin kacau. Kau tahu 'kan kalau kerajaan Taurus kini berperang demi mengumpulkan Dark Matter sebanyak-banyaknya? Hanya tinggal menunggu waktu hingga seluruh perhatian kerajaan Taurus tertuju ke Bumi. Berhati-hatilah, kau dan juga Peter."
Mileva memasang raut wajah serius.
"Karena 'itu' ya?"
"Ya."
"Sudah, itu saja?"
"Eh?"
"Kalau sudah biar aku tutup telepon ini."
"T-Tunggu dulu! Tentu saja aku tidak meneleponmu hanya untuk memperingatkanmu. Kau tahu, mungkin ini adalah terakhir kalinya aku bisa mendengarkan suaramu?"
"Jangan berbicara seakan-akan sebentar lagi kau mati, Stein! Yah, tapi aku tidak keberatan sih kalau kau mau mati..."
"..."
Mileva tak dapat melihat wajah Stein. Tetapi keheningan itu meyakinkan Mileva kalau di seberang sana Stein sedang tersenyum.
"Kau benar-benar wanita yang luar biasa, Mileva," ucap Stein kemudian.
"..."
"Bagaikan sebuah matahari dalam sebuah sistem tata surya, kau menarik, mengendalikan, dan menerangi hidupku. Terima kasih karena sudah melengkapi hidupku. Aku mencin—"
Mileva menutup telepon sebelum Stein sempat menyelesaikan kalimatnya.
"Huh! Kau dan kalimat gombalmu, Stein. Kalau mau mati, mati saja sana."
Mileva menatap layar telepon genggamnya sambil cemberut dan menggerutu. Meski begitu, wajahnya terlihat tersipu. Lalu, sebuah senyum kecil menghiasi wajahnya.
Mileva kemudian menarik nafas dalam-dalam hingga kepalanya mendongak menghadap langit biru. Wanita itu terdiam sesaat sambil memperhatikan kumpulan awan-awan putih yang bergerak pelan. Dia kemudian menghembuskan nafas lewat mulutnya.
"Nah, sekarang ke arah mana ruma—"
"Tante Mileva?" panggil seseorang.
"Ng? Oh, kau Karen! Sedang apa kau di sini? Bukankah seharusnya kau berada di sekolah ya?"
"Umm... Hari ini pulang pagi. Aku baru saja dari rumah Lena untuk mengerjakan PR bersama dan sekarang sedang dalam perjalanan pulang."
"Oh, kebetulan sekali! Karena rumah kita bersebelahan, bisa kita pulang bersama? Aku agak bingung dengan jalan di perumahan kita ini. Seingatku, enam hari yang lalu jalannya tidak seperti ini dan seharusnya ada sungai di dekat gerbang masuk. Kenapa tiba-tiba bisa berubah, ya?"
Mileva menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Umm... A-Anu, maaf tapi rumah kita bukan di perumahan ini."
"Eh?"
<Prelude> END/Continue to <Howling>
KAMU SEDANG MEMBACA
Constellation #1 - Prelude
Ciencia FicciónSepulang sekolah, Peter Aldebaran selalu mendapati sebuah kotak kardus misterus di dalam kamarnya. Siapa yang mengirimnya dan bagaimana kotak tersebut berada di sana, Peter sama sekali tidak tahu. Yang dia tahu, kotak kardus itu berisikan komponen...