4

84 16 0
                                    

Sudah pukul 10, Ji Hae pasti sudah tidur.

Klik.
Aku membuka pintu.

"Josh? Itu kau?" suaranya terdengar gemetar.

"Ya ini aku, dimana kau?" aku mulai panik.

"Dapur," aku datang menuju kearah suara dan melihat ia berbaring di lantai memegangi perutnya.

Darah berceceran di mana-mana, aku merasa kakiku melemas saking terkejutnya.

"Apa yang terjadi? Apakah kau baik-baik saja? Ya tuhan, biar aku membawamu ke rumah sakit."

Aku mengangkatnya ke dalam pelukanku dan membawanya ke rumah sakit.

-----------

Aku sudah menunggu selama 30 menit, dokter akhirnya keluar dari UGD.

"Apakah anda keluarganya?" tanyanya.

"Benar," aku mengangguk. "Apa yang terjadi padanya? Apakah dia baik-baik saja?" aku langsung menghujaninya pertanyaan.

"Dia baik-baik saja, tapi aku minta maaf," ia diam kali ini tak melanjutkan.

"Apa? Apa yang terjadi?" aku mulai panik.

"Kami kehilangan bayinya."

Aku terduduk di kursi yang berada di belakangku. Tidak percaya apa yang baru saja kudengar.

"Anda serius?" aku mengulang pertanyaanku lagi.

Sang dokter hanya mengangguk dan mengangkat wajahnya merasa menyesal atas apa yang terjadi.

"Dia harus beristirahat sekarang, tapi anda bisa datang ke tempat ia dirawat untuk melihatnya."

"Terima kasih."

Dokter mengangguk dan meninggalkanku sendirian.

Kegembiraan itu hanya berlangsung selama 10 jam, tapi kemudian aku harus menghadapi kenyataan bahwa aku harus kehilangan ia—calon anakku.

Aku pergi menuju ruangannya, mengintipnya dari luar melalui dibalik kaca kecil pada pintu. Ia sedang tidur sekarang. Aku masuk ke dalam membuat suara klik pada pintu.

"Josh? Apa itu kau?"
Suaranya bertanya padaku, mungkin aku terlalu berisik sehingga membuat ia terbangun.

"Aku di sini sayang," aku mendekat dan duduk di sampingnya, memegang tangannya.

"Maafkan aku Josh, aku kehilangan dia. Aku tidak bisa merawatnya, bahkan sebelum ia lahir. Betapa bodohnya aku melakukan hal itu padanya," dia tidak bisa menahannya kemudian menangis.

Aku menggigit bibirku, tak juga bisa menahan air mata yang mencoba menerobos keluar.

"Tidak apa-apa Ji Hae, aku merasa lega sekarang mengetahui kalau kau baik-baik saja. Jangan menyalahkan diri sendiri, aku mencintaimu, aku tidak akan pernah meninggalkanmu."

Aku mencium pundak tangannya, membuatnya yakin kalau itu bukan kesalahannya.

"Aku berjanji hal ini tidak akan terjadi lagi," ia mengeratkan pegangan tangannya di tanganku.
"Its okay," aku mencium keningnya.

Aku tidak tahu apakah aku tertidur di kursi. Ah, rasanya badanku sakit semua.

"Selamat pagi, Josh," suaranya mengingatkanku akan rumah. Aku membalas tersenyum kepadanya.

"Selamat pagi, apakah kau merasa lebih baik?"

"Bisakah kau kesini, ke sebelahku?" pintanya.
"Memang muat?" aku mencoba berbaring disebelahnya.

Ia langsung memelukku begitu aku selesai memperbaiki posisi disampingny diatas tempat tidur.

"Aku tidak bisa tidur Josh," katanya padaku.

"Ada apa? Kau butuh tidur untuk memulihkan keadaanmu," aku mencium puncak kepalanya.

"Aku tidak tahu, itu tidak berhasil semalam. Aku berpikir tentang banyak hal Josh," keluhnya.

"Dan tentang apakah itu?" tanyaku masih sambil memeluknya.

"Benar-benar banyak astaga, kau tak bisa membayangkannya. Aku bahkan bisa membuat presentasi tentang hal itu sebagai topik utama," katanya.

Aku tertawa mendengarnya sisipan joke konyol nya.

"Kau harus mengistirahatkan isi kepalamu juga. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan sekarang. Aku baik-baik saja dengan apa yang sudah terjadi kemarin. Masih ada hari lain, bisakah kita move on?"

Dia hanya diam mendengar ucapanku.

---------

Hari masih pagi, aku tidak bisa tidur semalaman dan merasa sangat lelah. Aku mengambil ponsel dari dalam saku, menekan tombol nomor di layar ponsel.

Ia mengangkat teleponku.

"Di mana kau?" tanyaku.
"Dorm, apa yang terjadi hyung?"
"Aku kehilangan dia," aku menghela napas.
"Siapa? Kehilangan siapa?" aku bisa mendengar ia panik.
"Calon anakku," jawabku.
"Dimana kau sekarang?" tanyanya.
"Rumah sakit, kau bisa kesini?"
"Oke, tunggu aku, aku akan sampai disana dalam 10 menit," ia menutup telepon.

Tak lama ia datang, kami duduk di dalam kafe—ia memesankan beberapa makanan tapi aku menolak karena tidak memiliki nafsu makan.

"Apakah kau baik-baik saja hyung?" ia melambaikan tangannya di depan wajahku.
"Tidak," jawabku.
"Bisakah kau menceritakan apa yang terjadi?" tanyanya.
"Ji Hae memiliki bayi, hampir, tapi kemudian aku pulang dan menemukan ia berbaring di lantai tampak ketakutan tadi malam."

Aku menatap dengan tatapan kosong.

"Hyung? Kau di sana?" ia memanggil pelan.

"Mingyu, apa yang harus aku lakukan? Aku merasa sangat tidak berguna sekarang," kataku padanya.

"Jangan menyalahkan diri sendiri," ia menepuk bahuku pelan.

"Memiliki banyak masalah seperti ini membuatku lelah. Masalahku dengan agensi belum usai, lalu aku melihat Ji Hae terbaring lemah di tempat tidur seperti itu. Bagaimana aku bisa melewati ini? Aku pikir aku akan gila," aku menarik rambutku dengan frustrasi.

"Hyung, aku tahu kau benar-benar mencintainya. Apakah itu berarti kau harus menyalahkan semuanya pada diri sendiri setiap kali ia melakukan kesalahan? Tidak. Cinta berarti melakukan segala sesuatu bersama-sama dalam cara yang benar. Tidak seperti ini," suaranya meninggi. "Dan jika dia melakukan kesalahan, kalian berdualah yang memperbaikinya bersama-sama. Bukan hanya kau," tambahnya.

Aku menatapnya, merasa sangat lemah.

"Terima kasih Mingyu, aku tidak tahu harus berkata apa. Aku merasa begitu bingung sekarang. Kau pasti membenciku karena aku sudah memutuskan untuk meninggalkan Seventeen dan masih meminta bantuanmu."

"Tidak, aku tidak pernah membencimu hyung. Aku tahu suatu hari nanti itu akan berarti sesuatu. Aku berharap Ji Hae segera sembuh, aku harus kembali ke studio sekarang. Maafkan aku hyung," ia meminta maaf.

Aku mengangguk, "Tidak apa-apa, terima kasih telah datang."

Dia berdiri, menepuk bahuku, kemudian berjalan keluar dari cafe meninggalkanku sendirian.

-----

A/n:
Jangan lupa ⭐️, juseiyyo.

Seize Her.Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin