Aku mengendarai mobilku menuju pantai. Udaranya sangat dingin, tapi aku bahkan tidak bisa merasakannya—karena rasa sakit terasa lebih nyata. Kulitku semakin pucat tapi aku tidak peduli.
Melihat pemandangan pantai membuatku bernapas lebih mudah. Aku bahkan tidak bisa menghriup oksigen dengan benar sebelumnya—terasa menyedihkan dan juga sulit mendengar kenyataan yang sebenarnya seperti itu.
Aku mengeluarkan rokok dari sakuku. Ini untuk yang kedua kalinya sekarang aku memerlukan benda ini karena masalah yang sedang kuhadapi.
Aku tidak pernah menyentuh benda ini sebelum orangtuaku mulai bertengkar 5 tahun yang lalu, membuat mereka memilih untuk memiliki jalan mereka sendiri dan meninggalkan satu sama lain.
Aku merasa lelah.
Ponselku berdering, aku mengeluarkannya dan melihat layar siapa yang menelepon—Mingyu.
Aku menggeser layarnya untuk menjawab."Apa?" kataku.
"Dimana kau hyung? Aku dengar dari Jun hyung, kau bertengkar dengan Scoups hyung dan Ji Hae," tanyanya.
Aku bisa mendengar suaranya menggema, ia pasti menyalakan loudspeaker. Mungkin semua anggota juga ingin tahu apa yang terjadi.
"Tidak ada, kami hanya memperjelas situasi," jawabku.
"Tolong jangan berbohong kepada kami, maksudku, aku. Apakah kau baik-baik saja sekarang?"
"Haha aku baik-baik saja, pergi lah latihan. Semua akan baik-baik saja sekarang, aku pergi," aku menutup telepon.
Aku membakar rokok yang kupegang dengan korek. Menghisapnya lalu menghembuskan asap ke udara.
Aku memejamkan mata sejenak, dan berharap pada saat aku membukanya, semuanya menghilang.
-------
Flashback.
Aku bisa merasakan selimut hangat menutupi tubuhku.
Sedang bersalju saat ini diluar, eomma belum kembali dari kerja, padahal ini hari Sabtu.
Aku bangkit, menggosok gigi dan mencuci muka dengan air dingin. Aku langsung pergi ke dapur mencari sesuatu yang bisa di makan.
Klik.
Aku mendengar pintu terbuka."Eomma!" aku memanggilnya.
"Di sini, sayang," jawabnya.
Ia memelukku."Kenapa kau terlambat? Besok ulangtahunku," aku merasa ia hampir lupa akan hal itu.
"Maaf, eomma harus menyelesaikan beberapa pekerjaan karena tak ingin kehilangan kesempatan denganmu besok," ia membelai rambutku.Aku membuka kotak sereal, menuangkannya ke mangkuk dan menambahkan susu.
"Di mana appa?"
Dia berdiri, tampak beku.
"Ia perlu melakukan pekerjaannya. Josh, aku harap kau bisa mengerti," jawabnya.Aku tahu ia berbohong.
Dia menarik lengan bajunya untuk mencuci piring, aku tidak memperhatikannya—sampai aku melihat bekas memar di lengannya.
"Mom?" aku memanggilnya.
"Ya?" ia menjawab sambil masih mencuci piring.
"Apa kau baik-baik saja?" tanyaku.
Dia berhenti dan menyentuh memarnya."Josh," dia berbalik dan menatapku.
"Aku harap itu bukanlah hal yang sedang aku pikirkan," kataku.
"Tolong, jangan membencinya," ia mulai terisak.Aku berdiri meninggalkan dapur, dan mengambil ponselku. Mencoba menghubungi appa.
"Ada apa Josh?" jawabnya dari ujung telepon.
Aku bisa mendengar beberapa suara perempuan di belakangnya.
"Di mana kau brengsek?" aku tidak tahu kalau aku meneriakkan kata itu dari mulutku.
"Josh!" ibuku berteriak padaku.
"Hati-hati Josh, aku akan mengajarkanmu bagaimana cara berbicara dengan orangtua," ia langsung menutup telepon.
Aku membencinya. Dan aku tidak akan pernah meninggalkan pemikiran bahwa ia melakukan itu padanya—pada ibuku.
-----
Tbc.

ŞİMDİ OKUDUĞUN
Seize Her.
Short Story"Aku memejamkan mata sejenak, dan berharap pada saat aku membukanya, semuanya menghilang." -Joshua, merasa frustasi. Saat seorang lelaki broken-home mengejar wanita yang ia pikir cinta sejatinya dan mencoba melupakan masa lalu, ia tidak pernah sadar...