3. Now: What The Fuck, Ian!

130 13 0
                                    

Aku mengecup satu-persatu kening milik anak-anak. Begitu juga dengan Ian. Setelah selesai aku keluar dan duduk pada sofa hendak menonton film sebelum tidur. Tiba-tiba Ian datang dan tidur diatas pangkuanku. Aku sudah terbiasa dengan hal ini. Ian sangat suka tidur diatas pangkuanku seperti ini kalau ia ingin berbicara serius denganku. Aku memainkan rambutnya dan Ian hanya menatap kosong langit-langit ruangan.

"Kenapa Yan? Ada masalah?" tanyaku langsung pada topiknya. Ian pasti akan bercerita serius padaku seperti biasanya. Entah tentang pekerjaannya atau masalahnya dengan kekasihnya.

"Gue putus." jawab Ian singkat dan jelas. Tenyata kali ini masalah dengan kekasihnya.

"Kali ini ada apa?" tanyaku lembut pada Ian masih dengan memainkan rambutya.

"Selalu sama. Gue ga dapet chemistry setelah pacaran berbulan-bulan." jawab Ian

Ian memang seperti itu. Entah mengapa ia selalu mencari kekasih, berpacaran selama kurang dari 3 bulan dan memutuskannya karena ia merasa tidak cocok. "Gue yakin pasti ada kok cewe yang cocok sama lo suatu saat nanti." kataku mencoba menenangkannya.

Ian hanya mendengus pelan dan memilih bungkam. Aku masih memainkan rambutnya yang lembut seperti bulu anak anjing. Kami tetap seperti ini selama beberapa menit. Sampai Ian bangun dan duduk mengambil tangan kiriku untuk digenggamnya. Ia menyematkan jari-jari kami. Mungkin ia mencari ketenangan dari genggamanku. Matanya sayu, raut wajahnya menunjukkan satu kepedihan namun ia hanya menatap tangan kami yang bertautan.

"M, I've never met anyone like you before." gumamnya pelan namun aku masih bisa menangkap ucapannya.

" gumamnya pelan namun aku masih bisa menangkap ucapannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku hanya terdiam kebingungan dengan tingkahnya. Aku menatap mata Ian mencoba mencari jawaban, namun ia hanya membalas menatapku dengan tatapan sedih.

Aku terus menatapnya mencoba menyelami matanya berharap hatinya menuliskan jawaban pada mata indahnya. Namun, nihil. Aku tidak tahu mengapa aku merasa aku butuh jawaban. Aku benci otakku yang terus bertanya seakan aku tidak pernah tahu apa yang terjadi. Hingga aku merasa air sudah membendung mataku berusaha meluncur melewati wajahku.

Tanpa aku sadari, tangan Ian sudah berpindah ke belakang tengkukku dan kepalanya terus maju. Aku hanya diam menunggunya. Aku berharap dengan ciumannya, aku mendapatkan jawaban. Aku menutup mataku dan menunggu Ian menciumku. Aku mengintip melalui mataku dan melihat Ian yang berhenti hanya beberapa senti di depanku seperti ragu untuk melakukannya. Baiklah, aku saja yang menciumnya.

Saat aku baru akan mendekatkan bibir kami, Ian langsung menyosor dan mencium bibirku lembut. Ciumannya sarat akan kepedihan. Lambat dan penuh arti. Setelah beberapa detik aku membalas ciumannya dan membuka mulutku untuk mempersilahkan lidahnya masuk. Ian langsung saja menggunakan kesempatan itu dan memasukkan lidahnya pada mulutku. Ciuman kami dalam dan lembut namun berlangsung lama.

Aku merasa kehabisan nafas dan mendorong Ian untuk berhenti. Ia mundur beberapa senti untuk mempersilahkan ku bernafas, namun kembali menciumku. Kali ini dengan lebih kasar. Bahkan ia malah meraba punggungku mengusapnya naik turun agar aku bergairah sepertinya.

"I-Ian Stop." kataku disela-sela ciuman kami. Ian tidak menuruti dan terus menciumku, dan kini malah mencoba membuka jaketku.

"Stop Ian." ia masih terus menciumku dengan bergairah dan terus berusaha membuka jaketku.

"STOP!" teriakku padanya dan Ian akhirnya menarik dirinya. Ia nampak terkejut. Bibirnya sedikit bengkak dan mengilap karena basah. Tatapannya yang tadinya penuh gairah, kini berubah menjadi tatapan yang kembali seperti sebelum kami berciuman. Mata yang penuh kepedihan.

"Kita seharusnya ngga gini." kataku menggeleng pelan dan tertunduk karena tidak mau melihat kepedihan di mata Ian.

"Kenapa? Kenapa, M? Karena Rey? Iya? Karena kamu masih cinta sama Rey?" tanya Ian membentakku frustasi.

"What the Fuck"

Aku menatapnya marah dan mendapati mata Ian yang berkaca-kaca. Melihatnya seperti itu, air mataku meluncur setetes. Aku buru-buru menghapusnya karena tahu Ian pasti akan melakukannya kalau aku tidak cepat. Aku tidak mau disentuhnya terlebih dahulu. Aku berjalan menuju kamarku dan menutupnya pelan, tidak ingin membangunkan anak-anak. Walaupun aku ingin sekali membantingnya, melampiaskan amarahku.

Ian tentu tahu bahwa aku masih saja mencintai Rey. Dan berani-beraninya ia menciumku. Padahal ia baru putus dengan kekasihnya. Dan bodohnya aku malah terbawa suasana.

Aku hanya terbawa suasana tadi, okay?

Dan aku hanya butuh jawaban.

Namun, malah mendapatkan makin banyak pertanyaan dalam otakku.

The AnswerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang