6. Now: Was it a Dream?

87 13 4
                                    

Alarm di sebelah kasurku berbunyi membuatku bagun dan terduduk secara tiba-tiba. Aku mematikan alarm dan segera bangkit menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi.

Aku berkaca selama beberapa saat, mengamati setiap inci wajahku dan pandanganku terhenti pada bibirku. Aku teringat akan kejadian semalam. Aku meraba bibirku dan mendapati bahwa permukaannya sedikit bengkak. Jadi itu nyata? Bukan mimpi?

Tidak habis pikir. Mengapa Ian melakukan itu padahal ia baru saja putus dengan kekasihnya? Apa Ian sadar saat menciumku?

"Mungkin dia mabuk" gumamku meyakinkan diriku sendiri padahal tadi malam, aku yakin betul Ian tidak berbau alkohol.

Aku membuka pintu kamar Ian dan mendapati pemandangan yang sudah biasa aku lihat setiap pagi. Ian yang masih tertidur dengan Baby Lee di dalam dekapannya padahal ia sudah terbangun dan merasa risih dengan tindihan tangan Ian. Aku menyingkirkan tangan Ian untuk meraih Baby Lee dan menggendongnya. Ian memutar posisinya menjadi telentang dengan mata yang masih tertutup.

"Ian bangun. Kau harus kerja" kataku tegas sambil membuka selimutnya dan mencubit tangannya. "Ian! Ian! IIAAANNNN!!" kesabaranku mulai habis. Namun ia tetap diam tak bergeming.

"Stop being creepy and let me sleep" gumamnya.

Aku memilih untuk meninggalkannya saja. Aku akan turun ke bawah untuk membuat sarapan. Setelah membangunkan masing-masing dari mereka, aku segera memasak pancake dan membuat susu hangat.

Baby Lee sudah aku tempatkan di baby seatnya. Ia aku berikan beberapa butir sereal dalam mangkuknya. Hanya untuk membuatnya sibuk melakukan sesuatu hingga tak harus menggangguku dalam memasak. Setelah selesai, aku meletakkan pancakes tersebut ke atas 13 piring beserta 12 susu dan satu greentea.

"Morning, Mom" sapa Jimmy lalu disusul dengan yang lainnya. Mereka sudah rapih dengan pakaian mereka. Tentunya untuk bersekolah. Kecuali Lucy dan Garry, mereka masih mengenakan baju tidur mereka.

"Morning. Dadda masih tidur?" tanyaku pada mereka.

"Terakhir kulihat ia masih tidur, Mom. Perlu aku bangunkan?" tanya Valerie sambil mengunyah pancakenya.

"Ga usah, Val. Biarkan saja Dadda telat. Tadi sudah Momma bangunin, kok" jawabku enteng dan dijawab dengan kekehan khas anak-anak dari mereka.

Beberapa menit setelah selesai makan, Bis Sekolah mereka tiba didepan rumah. Aku langsung membukakan pintu beserta pagar untuk mereka dan merunduk untuk mendapat ciuman dari mereka.

"Bye! Belajar yang serius, ya! Dan Casey, semoga beruntung dalam ujian menarimu ya!" aku melambaikan tanganku dan memberikan ciuman di udara pada mereka yang masih melambai ke arahku dari dalam Bis.

Setelah Bis Sekolah mereka menghilang di tikungan, aku kembali masuk ke dalam rumah. Saat aku kembali ke dapur, aku melihat tiga makhluk manis yang masih tetap pada posisinya semula sambil menyantap sarapan mereka. Tanpa Ian tentunya.

"Momma, kapan aku boleh ke sekolah? Aku sudah ga sabal" celetuk Lucy disela-sela kegiatan makannya.

Aku membalikkan tubuhku dan berjalan ke arahnya sambil berkata, "Tahun depan, sayang. Kamu pasti ke sekolah tahun depan" aku tersenyum lembut dan mengelus kepalanya pelan.

"Tahun depan itu lama ya?" tanyanya lagi.

"Enggak. Momma janji, pasti ga kerasa deh. Sama kayak tidur semalaman, pasti cepat rasanya" jawabku asal. Sesaat kemudian aku mengernyit heran menyadari kalimat yang baru saja kukatakan. Mana mungkin satu tahun serasa seperti semalam?

"Tapi aku susah tidul Momma. Apalagi Soph nangis semalaman. Aku ga ngelti kenapa dia nangis. Padahal Momma dan Dadda udah bacain bedtime stories dan ngasih goodnight kisses" oceh Lucy dan membuatku termenung. Sophie menangis semalaman? Mengapa ia seperti itu? Apa yang membuatnya menangis hingga mengakibatkan Lucy tidak bisa tidur?

"Soph pasti rindu sama Mommy dan Daddy nya. Makanya dia nangis" kataku lembut pada Lucy.

"Tapi kan Momma sama Dadda selalu disini. Trus, kenapa dia butuh Mommy dan Daddy?" tanya Lucy polos. Pertanyaan yang ini sulit kujawab. Aku tidak mau menyinggung perasaan mereka. Aku tidak bisa mengatakan bahwa kehadiran kami hanya sementara saja sampai mereka menemukan orang tua yang tepat. Lucy belum bisa mencerna itu semua. Aku takut ia akan bersedih mendengar bahwa kelak ia akan menemukan orang tua baru baginya.

"M? Jam berapa sekarang?" suara serak Ian membuat aku, Lucy dan Garry menoleh ke arah pintu ruang makan. Ian masih dengan baju tidurnya sambil mengusap matanya berkali-kali, berdiri di pintu yang memisahkan dapur dan ruang keluarga sambil bersandar.

"Pokoknya lo telat" jawabku enteng. Namun Ian hanya mengangguk enteng dan bergabung bersama kami di ruang makan dan menyantap pancakenya. Aku menatapnya heran, ia tidak bekerja hari ini? Kenapa ia begitu santai?

"Apa? Aku libur hari ini. Hari ini awal bulan. Kalian lupa kalau seminggu di awal bulan aku pasti meliburkan diri?" kata Ian sambil mengunyah makanannya membuat makanan yang berada di mulutnya menyembur keluar. Ian menggunakan aku-kamu? Dia biasa seperti itu. Terkadang gue-lo dan terkadang aku-kamu.

"Dadda jolok!"

"Ew!"

Protes Garry dan Lucy bersamaan. Mereka segera turun dari kursinya dan berlarian menuju ruang TV. Aku hanya menggelengkan kepalaku dan mengambil piring-piring kotor untuk kucuci.

Namun saat aku baru meletakkan piring-piring kotor itu ke dalam wastafel, tangan Ian mencegatku dan ia berkata, "Gue aja yang nyuci. Lo sarapan sana. Belom sarapan kan?" aku menatap ke arah meja makan dan mendapati piring dan cangkir Ian yang sudah bersih.

Aku mengedikkan bahu dan duduk di meja makan untuk sarapan setelah menyeduh greentea. Ian memang kebagian tugas bersih-bersih kalau ia sedang di rumah. Tetapi kalau aku yang di rumah, tentu saja semuanya aku yang menyelesaikan. Terkadang, Lucy dan Garry dengan senang hati membantuku untuk menyedot debu atau merapihkan kamar.

Saat hendak memakan lembar pancake yang ketiga, Ian tiba-tiba duduk dan menyantap pancake terakhirku. "Hey!" protesku sambil memukul lengannya.

"Lama banget sih. Gue mau nyuci piringnya sekalian" kata Ian dengan cengiran khasnya. Ia mengangkat piringku dan aku segera meminum greentea yang sudah dingin itu sampai habis sebelum Ian mengambilnya dariku.

Aku bangkit berdiri dan membuatkan susu untuk Baby Lee. Ia tampak kegirangan saat aku memberikannya sebotol susu. Aku menggendong Baby Lee untuk menuju ke ruang keluarga untuk menonton TV bersama Lucy dan Garry.

Ian tiba-tiba duduk disebelahku dan mengambil alih Baby Lee dari pangkuanku. Rupanya ia sudah selesai mencuci piring. Aku terlarut dalam tayangan 'Phineas and Ferb' dan tersadar bahwa aku belum mandi.

Aku berdiri hendak mandi, namun tangan kecil Baby Lee menepuk bokongku. "Lee! That's rude!" kataku sambil terkekeh pada bayi kecil itu. Namun, Baby Lee tertidur di pangkuan Ian. Jadi ini ulahnya.

"Pervert!" kataku sambil mencubit betisnya dan ia mengaduh kesakitan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Pervert!" kataku sambil mencubit betisnya dan ia mengaduh kesakitan.

"Hey! Itu beneran Lee! Tadi dia kayak gini" Ian memegang lengan Lee dan mengayunkannya untuk memukul bokongku sekali lagi. Lucy dan Garry melihat kejadian itu dan malah tertawa dengan tingkah Ian.

"Ugh. Whatever." gumamku sambil memutar kedua bola mataku. Ian mengejekku dengan mengikuti gaya dan kata-kataku namun dengan tampilan yang lebih menyebalkan. Aku berjalan meninggalkan mereka menuju kamarku untuk mandi.

Ian yang kukenal masih seperti biasanya.

Lantas, siapa orang yang tadi malam menciumku?

Was it a dream?

The AnswerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang