8. Then: The Truth

82 4 1
                                    

"Maddie!" aku menoleh ke depan pintu kelas dan mendapati Gigi sedang berjalan terburu-buru ke arahku. Raut wajahnya tidak biasa. Ada percampuran antara sedih-khawatri-merasa bersalah? Ada apa ini?

"Is there any problem?" tanyaku khawatir saat ia sudah sampai di sebelahku. Ia duduk di kursi yang sudah kosong dan mengatur nafasnya agar lebih baik.

"Ini soal Rey." jelas Gigi singkat. Mendengar nama Rey disebut, aku menegang seketika. Pasti ini berita buruk. Aku tidak menjawab dan mengisyaratkan Gigi untuk bercerita.

Gigi bercerita dengan suara gemetar. Sarat akan rasa bersalah dan simpati yang mendalam. Semakin banyak kata yang terucap olehnya, semakin memburam pandanganku.

"Gue gatau lagi harus gimana. Gue udah kode-kode ke dia soal perasaan lo. Tapi dia tetep ga percaya, Maddie. I'm sorry" ucapnya tulus.

Aku tidak mengeluarkan sepatah katapun. Perlahan tapi pasti, aku berdiri dari kursiku dan berjalan menuju toilet yang berada tepat di sebelah kelasku. Untuk menangis tentu saja.

Aku terus menangis dalam diam hingga jam istirahat selesai, mengabaikan sahabat-sahabatku yang memanggilku dari luar. Saat aku membuka pintu dan hendak berjalan menuju kelasku, mereka langsung memelukku dengan perasaan iba. Aku melepaskan pelukan mereka dan menghapus air mataku, mencoba tersenyum walaupun masih tidak berkata apa-apa. Sulit rasanya untuk berbicara pada siapapun termasuk sahabatku seperti saat ini.

Aku masuk ke dalam kelas dan mendapati bahwa tidak ada guru yang mengajar. Kelas menjadi ricuh. Aku masuk dengan langkah perlahan. Saking ricuhnya kelas ini, mereka sampai tidak sadar dengan kedatanganku.

Tidak adanya guru mata pelajaran malah membuat pikiranku kembali pada Rey dan mulai menangis lagi tentu saja.

Avelyn mencoba menenangkanku dan menanyakan keadaanku. Namun aku memilih bungkam dan terus menangis dalam diam. Beberapa teman sekelasku memperhatikanku menangis. Hanya Avelyn yang datang dan menanyakan keadaanku. Tentu saja, hanya karena formalitas belaka. Hanya sekedar rasa simpati yang ditujukan oleh teman yang mengenal satu sama lain. Hanya Avelyn.

Aku mengangkat kepalaku dan mendapati Ryan dan Darren yang sedang menatap iba ke arahku dari pintu kelas. Sepertinya mereka baru saja masuk ruang kelas dan mendapati diriku yang sedang menangis seperti bayi.

Saat mataku bertemu dengan Darren, ia langsung mengalihkan pandangannya. Namun saat bertemu dengan Ryan, ia sedikit terkejut dan berkedip beberapa kali.

Perlahan tapi pasti, Ryan datang menghampiri mejaku. Melihat itu, Avelyn kemudian meninggalkanku. Lihat? Formalitas.

"Jangan bilang 'I'm fine', gue yakin lo nangis karena sesuatu. Sekarang ceritain." Ryan berjalan dan duduk ke bangku yang diduduki oleh Avelyn sebelumnya. Di sebelahku.

Berbeda dengan Avelyn, Ryan tidak mencoba untuk memberikan dukungan fisik seperti usapan dipunggung atau sebagainya. Ia melipat tangannya di depan dadanya menungguku bicara.

Aku merasa Ryan mengerti perasaanku dan melakukan tepat seperti yang aku butuhkan. Sebagai pendengar yang baik.

"Lo-Ehem" aku baru mencoba membuka pembicaraan namun suaraku terdengar serak. Tenggorokkanku lelah karena aku menangis dalam diam dan menahan tangisanku.

"Lo tau kan, gimana rasanya terjebak di friendzone?" tanyaku setelah berhasil membersihkan suaraku walaupun masih terdengar serak dan menyedihkan. Ryan nampak terkejut. Sesaat kemudian ia mengangguk yakin.

"Well, itu aja sih" kataku bercanda. Ryan nampak terkejut dan sesaat kemudian ia terkekeh sambil berkata "Apaan cerita cuma gitu. I need a real talk. Come on, M. Gue yakin lo pasti lega abis ini" celoteh Ryan.

"Whoa! Did you just call me M?" aku menyipitkan mataku yang nampak berlainan dengan Ryan yang nampak membesarkan matanya, melotot.

"Wha-that's, uhh-I mean Uhmm-"

"I think it's kinda cute" potongku cepat.

Ryan menarik nafasnya panjang dan sesaat kemudian ia seperti tersadar akan sesuatu. "Lo ngalihin pembicaraan nih?" tanyanya sambil menyipitkan kedua matanya curiga.

Aku terkekeh dan sesaat kemudian berkata, "Nope. Okay, gini. There are two kinds of people in this world. Hopeless romantic and realists. Tapi gue, gue adalah tipe orang yang ketiga. Gue itu realists yang hopeless romantic. Lo ngerti nggak?"

"Yayayaya gue ngerti. Lanjut!" perintah Ryan.

"Bisa dibilang, gue kejebak friendzone. Mungkin cliché, tapi yang bikin gue sedih adalah penyesalan. Gue terlalu lama ngebohongin perasaan gue dan tentunya dia. Sampai akhirnya, gue tau kalau dia itu ternyata emang nunggu gue. Dan gue ngapain? Gue bilang ke dia kalo gue suka sama cowok lain. Pas gue sadar gue ada rasa sama dia, semuanya terlambat. Dia udah gamau lagi berlarut-larut karena gue." kataku cepat dengan satu tarikan nafas.

Ryan diam selama lima detik dan tatapannya kosong. Ia seperti mencerna hal yang baru aku katakan padanya. "Reynold kan?" tanyanya hampir seperti gumaman namun aku masih bisa menangkap perkataannya.

Mataku melotot dan mulutku menganga selama beberapa detik. Kehabisan kata-kata. Saat merasakan cairan mengalir dari hidungku, aku langsung menghapusnya. Ryan memberikan tissue kepadaku.

"I'm sorry that's gross. Hold on a sec. How do you kno-"

"Yaelah, M. Siapa yang ga sadar liat lo selalu berdiri di depan pintu kelas, nungguin Rey keluar dari kelasnya? Liat lo di kantin makan sambil ngeliatin Rey? Atau nyamperin kelas temen-temen lo itu demi ngeliat dia? I saw you, M."

Penjelasan Ryan membuatku tercengang. Bukan tentang persoalan 'sok tau'nya yang akurat. Namun fakta bahwa ia selama ini memperhatikanku, membuatku heran setengah mati. Ryan bukan tipe orang pemerhati. Ia adalah sosok yang selalu masa bodoh dalam segala hal. Dan ia memperhatikanku?

Aku mengabaikan semua pertanyaan yang ada di otakku dan malah berkata, "Intinya gue cuma mau minta maaf. Karena udah nyakitin dia selama ini. Gue salah." Aku menunduk pelan dan memerhatikan sepatu bootsku.

Di sudut mataku, aku dapat melihat Ryan menggeleng. Sesaat kemudian ia berkata "Jangan pernah lo minta maaf kalau emang sebenernya dia juga ga pernah usaha. Lo ga salah. Lo ga tau"

'Ada benernya juga' batinku.

Sesaat kemudian Ryan berdiri dan meninggalkanku sendiri. Aku terus memperhatikannya hingga ia duduk di bangkunya di bagian belakang, menampakkan raut wajahnya.

Datar.

Raut wajahnya datar.

The AnswerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang