9. Then: Nicknames

74 3 0
                                    

Beberapa hari berlalu setelah Ryan menghiburku akibat Reynold. Semakin hari, Ryan semakin sering menegurku walau hanya sekilas. Ia pun tak segan untuk menegurku di depan teman-temanku. Sedangkan Rey, semakin jauh saja.

Perbincanganku dengan Ryan makin hari makin panjang. Ia bahkan meninggalkan bangkunya yang di sebelah Darren dan duduk di sebelahku beberapa hari belakangan ini. Hanya pelajaran tertentu. Pelajaran yang bisa dimanfaatkan untuk bersenda gurau dengan teman sebangkumu.

"Bahkan dulu gue gak pernah ngelirik lo!" bisik Ryan agak kencang.

"Karna setiap kursus lo selalu duduk di depan, bodoh. Mana bisa lo ngelirik ke belakang lo sendiri" jawabku kesal dengan nada yang sedikit di tekankan.

Kami sedang membahas masa lalu kami saat masih di satu tempat khursus yang sama. Ingat? Kami pernah berada di tempat kursus yang sama.

"Kalau gue tau, gue pasti sering noleh ke belakang" gumamnya. Aku masih bisa menangkap kalimatnya namun tak mengerti maksud Ryan mengatakannya.

"Hah? Tau apaan?" tanyaku penasaran sambil meneruskan kegiatan 'pura-pura mencatat' kami.

"MADISON! RYAN! CEPAT KELUAR DARI KELAS INI! SAYA TIDAK MENERIMA TUKANG GOSSIP!" Mrs. Lily berteriak kencang dan menatap tajam ke arah kami. Terdengar suara cekikikan dari arah bangku di belakang. Pasti Darren.

Dengan kepala tertunduk dan langkah perlahan, aku meninggalkan ruang kelas bersama Ryan.

Sesampainya di luar, Ryan tertawa keras selama beberapa saat kemudian digantikan dengan cekikikan. Wajahnya memerah karena tawanya. Apa yang lucu?

"M, gue geli lo dipanggil Madison. Lo gak risih apa?" tanya Ryan masih dengan kekehannya.

"Ya emang nama gue Madison, goblok." balasku dengan sedikit kesal karena perkataannya.

"Maksud gue bukan gitu" elak Ryan.

Aku menaikkan kedua alisku dan melipat tanganku di depan dada, menunggu alibinya.

"Gue sama Darren pernah ngebayangin kalau salah satu dari kita punya anak perempuan namanya ditambahin 'girl' atau 'daughter'. Nah kalau laki-laki namanya ditambahin 'boy' atau 'son' gitu"

Aku menyipitkan mataku mencoba mencerna perkataannya. Lalu apa hubungannya dengan namaku?

"Ya hubungannya nama lo itu harusnya buat cowok, karena belakangnya 'son'." tambah Ryan seperti mengerti apa yang aku pikirkan. Sesaat kemudian aku memutar kedua bola mataku karena kesal dengan leluconnya yang sama sekali tidak lucu.

"Ryan, please. If you're-"

"Ian. Just call me Ian" Ryan memotong kalimatku.

"Ian? Gimana bisa Ryan jadi Ian?" tanyaku penasaran.

"Ya, singkatnya nama gue kan 'Yan', temen-temen gue suka manggilnya Ian biar ga ribet. 'Rayen' dibanding Ian, lebih simple Ian. Gitu aja" jelasnya.

"Okay, Ian" kataku sambil tersenyum dan mengangguk ramah

"Okay, M." balasnya mengikuti tindakanku.

Entah mengapa dari hati kecilku yang terdalam, aku merasa bahwa Ian adalah orang yang baik hati walaupun kelakuannya nakal. Aku merasa Ian adalah orang yang bisa dipercaya dan ia mengerti dengan keadaanku. Terasa nyaman berada di sekitarnya.

Ya, terasa nyaman.

The AnswerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang