brooklyn

103 6 0
                                    

LILY

"Lily!"

Refleks aku menoleh kearah sumber suara dan kulihat Jeanine berjalan kearahku sambil tersenyum kagum. "Luke is damn hot. Look at his back," ia menunjuk Luke yang berjalan semakin menjauh dengan dagunya, matanya berbinar-binar kagum. Ternyata dia tahu kalau aku baru saja mengobrol dengan Luke. Atau mungkin 'berdebat' lebih tepat.

"Hot my ass. Kau tidak akan bilang begitu setelah kau tahu sifatnya," cibirku. Sahabatku yang satu ini memang tidak pernah bisa berhenti memuji laki-laki tampan. "You have Ashton, remember?" aku mengingatkannya. Aku akan jadi orang pertama yang tidak setuju kalau dia rela meninggalkan lelaki baik seperti Ashton hanya untuk mengejar-ngejar lelaki brengsek seperti Luke.

"Not yet," Jeanine mengoreksi kalimat terakhirku kemudian kami berjalan meninggalkan koridor dan menuju parkiran. Sepertinya aku akan langsung pulang setelah ini karena kepalaku rasanya mau pecah, mungkin efek samping dari perdebatanku dengan Luke tadi.

Kuhentikan langkahku saat melihat bahwa ternyata Jeanine sudah membawa tas di tangannya. Aku baru sadar kalau seharusnya gadis itu ada mata kuliah sekarang. "Bukannya kau bilang kalau ada kelas? Kenapa kau malah mengikutiku ke parkiran?" tanyaku bingung. Tadi kukira dia hanya sekedar ijin ke toilet agar bisa menemuiku, tapi nyatanya ia datang dengan membawa tas.

Kulihat Jeanine tersenyum penuh arti, membuatku mengerti bagaimana caranya dia bisa disini. Ia pasti sudah memprovokasi teman-temannya untuk kabur. "Menurutku, kalau dosen tidak kunjung datang dalam waktu dua puluh menit itu tandanya kelas ditiadakan, so here I am."

Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat ulah gila sahabatku ini. But what I like about her is that she can enjoy her life and she will do anything to make it. Berbeda denganku yang lebih memilih duduk manis di bangku kelas dan mengikuti materi daripada harus dipanggil dosen karena berani melarikan diri dari mata kuliah. Dan tidak seperti Jeanine yang bisa melakukan apapun sesukanya, aku lebih berhati-hati dalam bertindak dan memikirkan segalanya baik-baik.

Hal yang tidak pernah lepas dari diriku adalah aku lebih sering memikirkan perasaan orang lain daripada perasaanku sendiri. Jeanine yang seringkali kesal dengan sifatku itu biasanya berkata, "Life isn't about what people think about you, Li. You need to think about yourself sometimes by do something that makes you happy."

Setibanya didepan mobil segera kulepas backpack Michael Kors dari bahuku untuk mengambil kunci mobil yang tadi pagi langsung kulempar sembarangan. Natural habit. Dan aku spontan terkejut melihat isi tasku yang ternyata lumayan banyak. Ada ponsel, dompet Coach kado ulang tahun dari Mom dua bulan yang lalu, notes kecil yang kadang kupakai untuk mencatat materi saat sedang malas mengetik, bedak, lipstick, sisir, cermin kecil, kotak pensil, headset, karet rambut, permen karet (tentu saja yang masih belum dimakan), hard disk untuk menyimpan data-data penting, beberapa lembar paper work, dan yang terakhir adalah kunci mobil.

Butuh sekitar lima menit bagiku untuk akhirnya berhasil menemukan kunci mobilku yang ternyata, entah bagaimana caranya, berada di dasar tas. Kubuka kuncinya lalu masuk kedalam mobil.

"What are you doing here?" tanyaku saat melihat Jeanine dengan wajah tak berdosa masuk seenaknya kedalam mobilku. Apa dia tidak bawa kendaraan sendiri?

Jeanine tersenyum bodoh. "Aku malas bawa mobil hari ini."

"Lalu apa urusanku kalau kau tidak bawa mobil sendiri, huh?" aku kembali bertanya sambil memindahkan tasku ke jok belakang.

"Tentu saja itu urusanmu juga," Jeanine ikut-ikut melempar tasnya ke kursi belakang. Ia memakai seat belt-nya lalu menoleh ke arahku. "Brooklyn?"

Dirty Blonde | L.H.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang