3. Siapa?

125 15 0
                                    

Rin duduk di kursinya. Diujung belakang kelas. Di dekat jendela. Ia memperhatikan teman-temannya yang sibuk sendiri sebelum bel berbunyi. Rin tahu mereka mmbicarakannya.

Suara bel terdengar, membuat Rin terkesiap. Ia segera duduk menegap saat semua teman-temannya pun telah duduk rapi ditempat masing-masing.

Suara langkah terdengar mendekat. Hingga akhirnya seorang pria yang dikenal Rin masuk kedalam dengan buku ditangannya. Rian masuk dan menaruh bukunya di atas meja.

"Tetep ganteng ya." Bisik seseorang di sebelah kanan Rin.

Rin menutup mulutnya menahan tawa. Mata Rin dan Rian sempat bertemu. Rin tersenyum saja.

"Erina, berdiri dan perkenalkan dirimu." Kata Rian langsung.

Rin menelan ludah. Ada rasa menyesal karena sudah tersenyum. Semua mata kini tertuju padanya.

Rin berdiri dengan gelagapan dan gugup.

"A,anu. Namaku Erina Liliana Franz. Biasa dipanggil Rin." Ujarnya memperkenalkan. Suasana hening. Masih menunggu kelanjutannya.

"Aku sebenarnya kakak kelas kalian, tapi karena aku mengalami kecelakaan, akhirnya seperti ini."

"Dan aku mengalami sedikit amnesia karena kejadian itu." Ujar Rin menutup prakata.

Suasana masih hening. Rin diam kebingungan. Ia melirik Rian meminta bantuan.

"Ada yang mau bertanya pada Erina?" Tanya Rian memecah keheningan.

Seseorang mengangkat tangannya. "Apa kami harus memanggilmu kak Rin?" Tanyanya.

"Ah tidak, panggil saja Rin. Sekarang aku adalah teman sekelas kalian." Ujarnya.

Yang lain mengangguk saja.

Ada seorang lagi yang mengangkat tangannya. "Rin, memangnya dulu kecelakaan apa yang menimpamu?"

"Eh, aku juga lupa, tapi kata adikku, aku tertabrak truk saat akan menyebrang." Jawab Rin.

Yang lainnya mulai mengangguk paham.

"Sudah, ayo kita mulai pelajaran!" Seru Rian. "Kita ke ruang musik sekarang."

Semua lagi-lagi hanya mengangguk dan beranjak pergi menuju ruang musik. Begitu Rin berdiri, seseorang menghampirinya.

"Pergi bareng yuk?" Ajaknya.

Rin menoleh. Ia kemudian tersenyum lebar. "Ayo."

gadis yang mengajaknya itu tersenyum membalasnya. "Aku Nilam." Ujarnya.

"namamu bagus." Puji Rin. mereka berdua berjalan beriringan.

"Namamu juga lucu." Balas Nilam sambil tertawa kecil.

Rian berjalan dibelakang mereka memperhatikan semuanya. Ia tersenyum sendu melihatnya.

"Bahagialah,..Rin."

rin dan Nilam duduk di kursi yang bersebelahan. Rian segera berdiri di samping piano.

"Nah, kaliam sudah siap untuk praktek hari ini kan?" Tanya Rian.

"Sudah pakk." Jawab mereka

Rin menarik lengan Nilam.

"Prakteknya apa?"

"Oh iya. Prakteknya memainkan alat musik biasa kok. Temanya 'ingatan'." Jelas Nilam.

Rin menaikkan sebelah alisnya. "Ingatan..?"

"Bahasa inggrisnya 'memory' kan? Nah, pak Rian tidak suka menggunakan bahasa inggris disini." Terangnya.

Rin mengangguk. "Lagu yang dimainkan itu lagu klasik? Atau apa?"

"Itu sesukamu. Yang penting lagu itu mengandung makna ingatan berharga untukmu."

Rin terdiam.

"ah, tapi pasti hari ini bukan giliranmu kok. Tenang saja."

Rin mengangguk saja. Ada yang mengganggu pikirannya.

I had to find you, tell you I need you.

Rin terhenyak. Ia menoleh ke arah depan. Seorang anak lelaki tengah menekan tuts piano sambil memainkan sebuah lagu.

"Ini...."

"Oh, ini kan lagunya Coldplay. The Scientist. Kamu pernah dengar Rin?" Tanya Nilam. Rin tak menjawab.

Tell you I set you apart.

Suaranya jernih. Permainannya pun bagus. Semua mata tertuju pada anak lelaki itu. Termasuk Rin. Tidak. Tatapan Rin berbeda. Saat semuanya memandang kagum, Rin memberi tatapan terkejut.

Rian terkesiap. Ia mengingat lagu ini. Lagu pertama yang Rin mainkan di kelasnya. Rian menoleh cepat pada Rin.

Benar saja. Gadis itu tercenggang lama. Rian mendengus kesal.

"Azka, berhenti!" Seru Rian.

Azka menghentikan permainannya terkejut. Yang lainnya menoleh pada Rian heran.

"Mainkan lain kali saja." Ujar Rian. "Lanjut."

Azka tercenggang. "Tapi pak,"

"Sekarang giliran Cecile." Rian mengabaikan Protes dari Azka.

Cecil mulai maju kedepan, sedangkan Azka yang masih terkejut segera kembali ke bangkunya. Semua murid mulai berbisik.

"Pak Rian kenapa ya?" Bisik Nilam.

Rin masih tercenggang. Ia ingat lagu itu. "...entah ya." Jawab Rin pelan.

sebuah memori terlintas begitu saja dalam benaknya. Bayangan saat dirinya memainkan piano itu. Dan saat Rian berdiri di sisi lain dari piano, menatapnya dengan rasa kasihan.

Ada yang aneh. Rin menatap Rian lama. Ia mengabaikan semua penampilan teman-temannya.

"Nilam, pak Rian itu punya saudara gak sih?" Tanya Rin berbisik.

Nilam tersentak. "Lah? Jangan-jangan kamu mau PDKT sama adiknya gitu?"

"Apaan sih. Ya nggak lah..." ujar Rin menghela nafas.

Nilam terkekeh pelan. "Pak Rian itu sebenarnya anak konglomerat loh. Dia penerus perusahaan. Dia itu pintar banget, dengar-dengar katanya umurnya sekarang baru sekitar 20-an. Dia anak tunggal. Itu yang kutahu. Jadi kamu gak bisa embat adiknya ya." Jelas Nilam panjang lebar sambil sesekali tertawa.

Rin tersrntak mendengar bagian akhir.

"Anak tunggal?"

"Iya, ada infonya di majalah waktu itu. Sudah lama sih, aku juga tidak simpan artikelnya." Lanjut Nilam.

Nafas Rin tercekat. Wajahnya memucat seketika. Jantungnya berdebar cepat. Ia menoleh lagi ke arah Rian yang masih berdiri menilai penampilan murid-muridnya.

Laki-laki itu berdiri tegap sambil memangku dagunya. Pandangan matanya tak juga lepas dari muridnya yang masih memainkan gitar akustik.

Rin menelan ludah. Semua perkataan Rian saat ia terbangun dari komanya terputar kembali.

"Dia sebenarnya siapa?"

_____

Sirius : Remember Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang