7. Kenyataan

133 17 6
                                    

Rika menguap lebar pagi itu. Ia tak cukup tidur berkat tugas dari sekolahnya. Ia buru-buru bersiap dan menuju lantai bawah untuk sarapan bersama keluarga barunya.

"Pagi." Ucap Rika sambil duduk di kirsinya seperti biasa. Anehnya kali ini tak ada yang membalasnya. Rika mengerutkan keningnya dan mengangkat kepalanya.

Ada atmosfer aneh disekitarnya. Rian dan Rin terlihat biasa saja dalam menikmati roti panggang mereka. Hanya saja, aura yang mengelilingi mereka terlihat aneh.

"Kalian berkelahi?" Tebak Rika sambil memakan roti bagiannya.

"Tidak." Jawab Rian dan Rin bebarengan. Rika tercenggang. Ada yang aneh.

Rian dan Rin saling tatap. Rin menatapnya kesal sedangkan Rian menghindari tatapan itu. Rika diam.

"Aku berangkat." Rin bangkit dari kursinya bersama dengan ranselnya.

Rian tak membalasnya.

"Hati-hati kak." Ucap Rika.

Rin menoleh sebentar dan membalas ucapan Rika dengan sebuah senyuman hangat. Rin lalu melangkah keluar rumah dengan sepati hitamnya.

Setelah suara pintu tertutup terdengar, rika menatap Rian penuh keheranan.

"Rian, ada apa?"

"Apanya?"

"Sikapmu. Dan sikap Rin. Kalian menyembunyikan sesuatu?" Tanya Rika.

Rian diam. Ia tak menatapa Rika sama sekali. Ia justru menghela nafas panjang. "Rika, ayo kita selesaikan saja."

"Eh? Apa?"

"Permainan ini." Rian mengangkat pandangannya. "Kita selesaikan saja. Kita jelaskan semua padanya. Kita ceritakan saja padanya!" Seru Rian.

Rika berdenyit. Ia terdiam mendengar seruan itu. "Ke-kenapa?"

"Kenapa katamu? Ini tidak benar Rika! Menyembunyikan kebenaran dan membuatnya tersiksa seperti ini?!" Emosi Rian mulai tak terkendali.

Rika diam lagi. Terpaku dalam waktu yang lama.

Rian menghela nafas. "Pikirkan itu Rika. Aku duluan." Ujarnya lalu bangkit meninggalkan Rika.

Rika masih di tempatnya. Duduk dalam keheningan panjang. Ia memejamkan matanya sambil menghela nafas panjang. "Lagi-lagi salah.."

_____

"jadi bagaimana? hari ini mau jalan-jalan lagi?" Tanya Viri saat jam istirahat.

Rin menggeleng pelan. "Sepertinya tidak."

"Kamu sudah ingat semuanya?" Tanya Viri lagi.

Rin diam sebentar. "Tidak semua. Tapi aku ingat kalau semua terjadi sejak ada pak Rian." Terangnya.

"Rin, boleh aku bertanya?" Tanya Viri pelan.

"Ya?"

"Apa yang akan kamu lakukan kalau kamu sudah mengingat segalanya?" Tanya Viri.

Rin terpana. Ia tercenggang mendengar pertanyaan itu. Ia diam dalam waktu yang lama.

"Erina," Rin menoleh. Rian berdiri di dekatnya. "Bisa temui bapak di ruang seni?"

Rin mengangguk pelan.

"Aku ikut." Sahut Viri.

Rian membuka mulutnya ingin menolak, tapi Rin menyelanya. "Biarkan saja."

Ruang seni tentu sepi saat itu. Hanya ada mereka bertiga di sana. Duduk dalam kecanggungan yang ada.

"Aku akan jelaskan semuanya." Ucap Rian.

Rin tak menjawab.

"Jelaskan apa?" Tanya Viri penasaran.

"Semuanya." Jawab Rian. "Semua yang terjadi." Ada sebuah senyuman tipis disana.

"Aku anak seorang konglomerat. Hidupku benar-benar tercukupi." Rian memulai ceritanya.

"Pada satu waktu aku mengamuk di dalam mobil karena ayahku membatalkan janjinya denganku. Karenaku, terjadi kecelakaan mobil."

Rian memgangkat pandangannya dan menatap Rin yang terpana.

"Aku menabrak mobil yang kalian kendarai Rin.

Aku bertanggung jawab dengan membiayai segala kebutuhan kalian. Tapi saat di rumah sakit, Rika memintaku untuk menerimanya. Dia memaksaku untuk bisa menerimanya sebagai adik." Jelas Rian.

"Selanjutnya seperti yang kau tahu. Ibumu dan kehidupanmu. Tentang Rika yang menghindarimu." Tambah Rian.

Rin tak memberi respon. Viri sendiri hanya diam karena hanya dia yang tak mengerti permasalahannya.

"Lalu apa?" Tanya Rin.

"Eh?"

"Lalu apa yang selanjutnya akan kau lakukan?" Tanya Rin lagi.

Rian diam sebentar. "Aku minta maaf. Aku akan lakukan apapun yang kau minta." Rian menundukkan kepalanya.

Rin diam, sedangkan Viri menelan ludah merasa canggung.

Come up to meet you, tell you I need you.

Tell you I set you apart.

Ada melodi mengalun di kepala Rin. Melodi yang ia mainkan saat bertemu dengan Rian. Ia ingat tatapan iba yang ditujukan padanya. Rin tahu lelaki itu tak mempunyai maksud buruk.

"Aku ingin kembali seperti sebelumnya. Tinggal di rumah kontrakanku. Hidup sendiri seperti biasanya." Ujar Rin. Rian terpana. Ia memgangkat kepalanya terkejut.

"Tapi kenapa? Kenapa kau tak mau tinggal bersamaku dan Rika?"

"Kalian hanya masalah bagiku. Kalian berdua hanya akan mengingatkanku pada hal buruk." Rin menatap Rian dingin. "Maka menjauhlah dari hadapanku."

Rian terpana. Sebenci itukah gadis ini padanya?

Rin bangkit dari kursinya. "Viri, ayo." Ajaknya. Viri tersadar dan bangkit dari tempatnya. Mengikuti Rin.

Rian sendiri masih duduk dalam diam. Memikirkan kesalahannya.

Ia tidak yakin. Tapi ia merasa air matanya baru saja menetes untuk gadis itu.

"Ah, jangan bilang aku benar-benar jatuh cinta pada muridku sendiri?" Rian bergumam lalu tertawa sendiri.

"Tidak, tidak. Apa artinya aku ditolak karena kesalahanku?" Rian berbicara sendiri.

"Kh..."

_____

Sirius : Remember Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang