Sembilan

2.2K 220 14
                                    

Darling You

"Ketika seseorang berhenti menangis karenanya, maka beberapa saat kemudian, tentu saja airmatanya akan kering di pipi, isaknya akan hilang disenyap, seperti tidak ada lagi sisa tangisnya di wajah. Tetapi tangisan itu tetap tertinggal di hati. Kesedihan, rasa sakit, kesendirian, beban yang membekas. Boleh jadi sebentar, boleh jadi selamanya."
-Tere Liye

Deeva keluar dari ruang UKS dengan menggunakan masker diwajahnya. Ia tidak mau mengambil resiko menjadi pusat perhatian karena pipinya yang tiba-tiba memar. Bunyi bel yang nenandakan jam pulang sekolah, sudah berbunyi sejak 10 menit yang lalu.

Tapi, sekolah masih cukup ramai. Kebanyakan adalah siswa siswi yang aktif dalam organisasi.

Kelas XI IPA 3 sudah sepi. Deeva memasuki kelasnya, untuk mengambil tas sekolahnya yang masih tertinggal di kelas.

"Deeva!"

Deeva menoleh. Walaupun sempat terkejut, tapi cewek itu segera menormalkan lagi ekpresinya. Lalu berjalan menghampiri Anna yang memanggilnya.

"Hei, kalian belum pulang?" tanya Deeva.

Anna, Raka, Dimas dan Ben yang kebetulan memang sengaja menunggu cewek itu di kelasnya karena tidak berhasil menemukan keberadaan Deeva. Menatap Deeva tajam. Apalagi Dimas dan Ben yang memang dipaksa Raka untuk menemaninya.

"Lo dari mana aja?" tanya Anna, "Kenapa sih, akhir-akhir ini hobi lo ilang-ilangan."

Deeva meremas jemarinya, gugup. Ia belum menyiapkan jawaban untuk semua pertanyaan yang kemungkinan akan ditanyakan Anna. Karena Deeva pikir, mereka sudah pulang.

Raka yang dari tadi hanya diam. Kini cowok itu berjalan menghampiri Deeva. Tepat setelah ia berada di depan Deeva. Raka mendekap cewek itu dengan sebelah tangannya.

Tubuh Deeva menegang. Raka menyadari itu, tapi ia tidak perduli. Karena Raka tahu, Deeva membutuhkan sandaran sekarang. Dan entah dorongan dari mana, cowok itu merasa bahwa dirinya harus melakukan itu.

Terlebih rasa khawatir yang sejak tadi memenuhi benaknya.

Anna yang hendak protes akan tindakan Raka, segera ditahan oleh Dimas. Cowok itu mengisyaratkan Anna untuk diam.

Kemudian, isak tangis terdengar memenuhi ruangan ini. Deeva menangis dipelukan Raka. Menumpahkan semua rasa sakitnya yang sedari tadi ia tahan. Deeva tidak mengerti, mengapa berada dipelukan Raka terasa begitu nyaman.

Seperti berada dipelukan Kak Fin atau Ayahnya.

Untuk kali ini, biarlah seperti itu. Karena setelah ini, Deeva harus benar-benar menjauhi Raka.

Raka melepaskan pelukannya tepat setelah tangis Deeva berhenti dan cewek itu kembali tenang.

"Segitu kangennya ya sama gue, sampe nangis gitu."

Deeva memukul pelan bahu Raka. "Apaan sih!"

Walaupun tertutup masker, tapi Deeva tetap tidak bisa menyembunyikan rona merah diwajahnya.

Raka mengulurkan tangannya, lalu menarik lepas masker yang ada di wajah Deeva.

"Noh kan pipi lo mer-" ucapan Raka terhenti saat melihat memar yang ada di wajah Deeva, "Ini kenapa?"

Deeva menunduk. Tidak berani menatap Raka atau yang lainnya.

Sedangkan Anna segera berdiri menghampiri Deeva, disusul oleh Dimas dan Ben.

"Pipi lo kenapa Dee?" tanya Anna khawatir.

"Mmm ... duh gimana ya jelasinnya," Deeva mengangkat wajahnya, matanya menari-nari agar tidak bertubrukan dengan salah satu diantar mereka, yang kini tengah menatapnya tajam. "Tadi tuh aku jatuh-"

Raka menaikan satu alisnya. "Jatuh?"

"Dari pada karena jatuh, luka lo lebih mirip sama orang yang abis kena bogem," sindir Ben.

Deeva bungkam, ucapan Ben sama sekali tidak salah. Memang benar, luka ini karena seseorang menamparnya.

"Jawab gue!"

Raka kehilangan kesabarannya. Ia menyentuh dagu Deeva. Menyuruh cewek itu untuk menatap matanya.

Deeva sedikit meringis. Terasa sekali suasana berubah menjadi lebih menegangkan untuk Deeva. Ia berharap, Anna mau menolongnya kali ini. Tapi, cewek itu bungkam. Hanya menatap Deeva tajam, walaupun ada sorot khawatir dimatanya.

Bunyi ponsel memecahkan ketegangan yang terjadi.

"Ah ... handphone aku bunyi. Pasti Kak Fin udah jemput," ucap Deeva.

Deeva melepaskan tangan Raka dari dagunya, lalu beranjak mengambil tasnya.

"Aku duluan ya semua."

Tidak ada yang mencegah kepergian Deeva. Semuanya tetap diam di tempat. Sibuk dengan pikiran dan emosi mereka masing-masing.

Sedangkan Deeva menghela nafas lega seraya berlari ke arah parkiran. Takut-takut salah satu diantara mereka mengejarnya.

Raka mengepalkan kedua tangannya. Ia marah, Deeva senang sekali bermain-main dengannya. Tidak tahu'kah Deeva bahwa Raka benar-benar cemas.

***

"Ahh ... pelan-pelan Kak," ucap Deeva.

Cewek itu meringis setiap kali Dhafin menyentuh memar di wajahnya. Padahal, Dhafin sudah berusaha selembut mungkin mengobati memar di wajah Adiknya.

Dhafin menghela nafas. "Kalo kamu tetep gak mau cerita, yaudah terserah. Kakak gak akan maksa kamu lagi."

Akhirnya cowok itu menyerah. Percuma memaksa Deeva untuk bercerita tentang penyebab munculnya memar diwajah Deeva, karena pada akhirnya Deeva akan tetap diam. Mungkin Adiknya belum siap untuk bercerita.

Mata Deeva berkaca-kaca. Pelupuk matanya dipenuhi cairan bening. Sekali kedip, maka cairan bening itu akan jatuh.

Dipeluknya tubuh Dhafin dengan erat. Bersamaan dengan itu, cairan bening yang sedari tadi memenuhi matanya, tumpah sudah.

Hangat dan nyaman. Itulah yang selalu Deeva rasakan setiap kali dirinya berada dipelukan Dhafin.

"Aku kangen Mama ...," ucap Deeva parau.

Dhafin mengeratkan pelukannya. Diusapnya punggung Deeva yang bergetar. Hatinya sakit mendengar kata-kata itu keluar dari mulut mungil Adiknya.

Sudah sejak lama, Deeva tak pernah seperti ini. Terakhir kali adalah saat peringatan hari Ibu satu tahun lalu.

"Mama jauh lebih kangen kamu. Tapi, Mama gak akan bahagia liat anak-anaknya sedih."

Deeva mengangguk dalam tangisnya. "Aku masih punya Kak Fin dan Papa. Walaupun Papa jarang di rumah."

Dhafin melepaskan pelukan Deeva. Di tangkupnya wajah tirus Deeva dengan kedua tangannya. Perlahan, kedua ibu jari Dhafin, menghapus cairan bening yang mengalir dari kedua mata Deeva.

Senyum manis terukir di wajah tampan Dhafin. "Makannya, kamu harus kuat. Karena masih banyak orang yang sayang sama kamu."

Deeva mengangguk lagi, diiringi senyum tulus yang membuat hati Dhafin menghangat.

"Aku sayang sama Kak Fin."

Dhafin terkekeh. "Yes, I know."

***

Pagi guys ...

Akhirnya Dhafin muncul. Walaupun cuma sedikit, haha.

Sorry kalo ada typo dsb.

Vote dan comment yaa^^

Thank's.

Tbc ...

11 Juli 2016
By,

Dewifebr

Darling YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang