Aku Dalam Cermin

132 7 9
                                    




Aku dalam cermin

" Ah, dia memang orang kotor. Lihat saja bajunya yang compang camping tak karuan. Sungguh tak sudi jika dia menjadi bagian dari keluargaku, cih." Pak Bambang, pedagang asongan yang duduk setengah sila menghembuskan asap rokok kreteknya.

" Bah, kemarin aku lihat dia memakan pasir sebagaimana makanan pokok. Jijik aku! Sungguh bila aku seperti ia pun, aku takkan melakukannya." Perkataan Bu Noura membuat Pak Sutoso memincingkan matanya ke arahku. Jijik!

" Nanti akan aku laporkan ke kepala desa, agar ia di buang dari desa ini. Ia hanya akan membuat contoh yang buruk sebagai manusia untuk anak-anak kita!" Pak Sutoso menambahkan omongan untuk meyakinkan tetangga yang berkumpul.

Mereka semua berbicara tentangku. Memincingkan mata seperti tatapan yang sangat merendahkan. Emang aku ini siapa? Aku hanya orang biasa-biasa saja, sama seperti mereka. Hanya saja aku merasa bahwa akulah yang lebih sempurna dari mereka semua.

Pak Bambang bilang kalau pakaianku compang-camping? Bah! Ia buta! Setiap hari aku memakai pakaian bagus yang di beri ibuku. Bahkan sampai semua orang melihatku. Pak Bambang sialan! Memangnya aku tak tahu apa tentang pakaian yang di pakainya. Aku sering melihat ia mencuri kemeja, jas, bahkan pakaian dalam dari kampung sebelah ketika purnama datang. Orang bejat!

Bu Noura kata aku makan pasir? Bodoh! Aku takkan melakukan hal itu. Memangnya aku gila apa? Dia saja yang buta! Padahal ketika Bu Noura melihatku makan, makanan yang sedang aku makan adalah nasi dengan rendang yang sudah tersaji hangat di depanku. Memangnya aku tak tahu apa tentang dirinya yang sering keluar malam dengan lelaki lain. Hampir setiap malam mungkin bercinta dengan lelaki berbeda. Dasar pelacur!

Ah tentang Pak Sutoso si pengurus panti asuhan. Tua bangka yang serakah! Uang bantuan untuk pantipun sering ia pakai untuk membeli baju baru. Tidak sadarkah ia? Sangat bodoh, apakah benar orang sepertiku tidak berguna di desa ini?

Adalah aku orang yang sering memberi makan ternak desa. Adalah aku orang yang membangunkan warga di setiap fajar. Adalah aku orang menghibur orang di desa. Ah, tak mungkin kepala desa akan membuangku.

Huh! Biarlah mereka berkata apa tentangku. Sudah biasa. Tak ada rasa sakitpun dalam hatiku akibat perkataan mereka. Mungkin memang inilah hidup. Atau mungkin hanya hidupku saja yang seperti ini? Entahlah.

Sore ini begitu indah, langit berwarna jingga ke emasan. Semburat ratusan cahaya mulai meredup. Siapa yang membuatnya? Orang besarkah? Pasti sang raksasa yang tingginya melebihi gunung. Aku bertanya pada kumpulan capung berwarna merah di taman " ini ciptaan tuhan." Siapa tuhan?  Aku bertanya pada rumput yang bergoyang " ini ciptaan tuhan." Siapa tuhan? Raksasa yang aku fikirkan kah? Entah.

Aku kembali ke rumah sederhana. Dua lilin yang menggantung tersenyum ria melihat kehadiranku, terlihat dari api mereka yang bergoyang layaknya dua bocah yang meloncat-loncat. Aku pulang dengan menenteng 2 bungkusan plastik berisi gorengan yang masih hangat. Ingin rasanya memakan gorengan itu, tapi nanti ayah dan ibu makan apa? Bisa-bisa mereka kelaparan hari ini. Tak apalah aku membawa sedikit makanan, yang penting perut mereka terisi.

Lihat! Ayah dan ibu datang. Mereka datang lewat atap rumah dengan melayang. Terbang. " Hai ayah, Hai ibu. Aku membawa 2 bungkusan plastik berisi gorengan. Makanlah." Mereka berdua tersenyum. Melihat senyum mereka seperti ada kehangatan tersendiri dalam diriku. Jika aku mati nanti pun, senyum mereka akan abadi untukku. Mereka berdua terlihat rapi. Ayah memakai jubah putih yang terlihat halus, mungkin dari benang sutra. Ibu memakai gaun putih juga dengan bahan yang sama seperti pakaian ayah.

Negeri Tanpa JamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang